[PORTAL-ISLAM.ID] Bersinerginya parpol-parpol dari kutub yang berbeda dalam ajang Pilkada Serentak 2018 mengatakan faktor Jokowi bukanlah elemen penting.
Kenyataan itu menciptakan kemungkinan Jokowi hanya hingga 2019 membesar, apalagi ada tokoh yang masih kuat secara terbuka mengirimkan pesan biar Jokowi meninggalkan "legacy" (warisan) yang positif berupa penyelenggaraan Pemilu yang baik (saja).
Jokowi terlihat sangat jauh dari peran-peran penentuan sesiapa saja yang diberi tiket bertarung dalam ajang Pilkada Serentak. Momen mana akan memilih siapa pengendali-pengendali kekuatan di daerah, yang yakni kunci utama meraih kemenangan bagi siapa pun yang hendak bertarung dalam Pilpres 2019.
"Bubar"nya Koalisi Merah Putih (KMP) tempo hari bukannya berdampak melemahkan kekuatan di balik KMP itu. Ternyata, alih-alih berstatus "bubar", kini pelan namun niscaya terlihat bahwa KMP ternyata "menyusup" ke dalam lingkar kekuasaan Jokowi dan membaca "peta" yang ada di dalam. Dan kini KMP bergerilya ke daerah, "mengamankan" Pilkada.
Paling banter Jokowi sejauh ini hanya dapat "memegang" parpol yang ada "masalah"nya, terutama menyangkut hukum. Apakah personal petinggi partai yang terbelit, atau partainya yang terbelit duduk masalah legalitas kepengurusan (yang mana Jokowi sebagai sang empunya kabinet tentu punya susukan ke pengaturan legalitas tersebut). Dalam hal ini, Jokowi hanya "mengamankan" tiket untuk ikut Pilpres. Sementara kemenangan sejati bergantung pada susukan ke basis-basis bunyi di daerah. (NB: Nggak boleh pake mesin "penyedot suara").
Melihat fakta perpolitikan Indonesia masih sangat cair (belum begitu kuat pertarungannya berbasis "ideological battle"), maka sangat mungkin parpol yang di"pegang" Jokowi dikala ini pun bersayonara padanya tahun depan. Dan akan menjadi catatan sejarah kedua sehabis kepresidenan Habibie, di mana Pilpres berlangsung tanpa petahana, kecuali pada kepresidenan Yudhoyono. Itu pun alasannya yakni Yudhoyono sudah tak boleh lagi mencalonkan diri.
#JanganTensi
(by Canny Watae)
Sumber: fb