Ngeri! Indonesia Dalam Kekuasaan Berhala


[PORTAL-ISLAM.ID]  Pada puncak kemusyrikan warga Arab Quraish pada zaman jahiliyah, kota Makkah ialah kota berhala. Kala itu, orang Quraish dan aneka macam puak Arab lainnya “kehilangan akal” ihwal eksistensi Tuhan. Ketauhidan (pure theology), yang ribuan tahun sebelumnya diajarkan dan didakwahkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan para nabi sesudahnya, lenyap tak berbekas. Kecerdasan spiritual orang Arab sirna.

Di zaman itu, selama ratusan tahun sebelum kedatangan Baginda Rasulullah Muhammad SAW, mereka menjadi tolol hingga kandas. Berhala-berhala yang mereka buat sendiri kemudian disembah sebagai tuhan. Tidak hanya satu-dua berhala, melainkan ratusan. Ada yang diletakkan di dalam Ka’bah, banyak pula yang di luar.

Berhala-berhala itu menjadi sangat “berkuasa” di Makkah. Semua orang tunduk kepada berhala. Para pembesar Quraish termasuk ke dalam golongan orang yang “kehilangan akal”. Mereka menyerahkan diri kepada berhala. Mereka menyembahnya. Baginda Rasul diutus Tuhan untuk meluruskan itu, untuk mengembalikan nalar orang Arab. Dalam rentang 23 tahun saja, Alhamdulillah, ketauhidan orang Arab menjadi murni kembali.

Di Indonesia, akhir-akhir ini ada tanda-tanda kebangkitan berhala. Gejala “hilang akal”. Tanpa sadar, para pembesar politik -- khususnya dari parpol-parpol besar-- berama-ramai melaksanakan pendewaan dan pemujaan terhadap penguasa. Sehingga, kini ini penguasa negara berkembang menjadi berhala. Ada berhala besar, ada berhala kecil.

Jadi, jikalau di zaman jahiliyah Arab dahulu para penguasalah yang menyembah berhala, di Indonesia hari ini para penguasa yang dijadikan sembahan sebagai berhala. Kesamaannya ialah bahwa para pemuja berhala Indonesia juga ingin mendapat “berkah” dan “manfaat” dari berhala-berhala mereka, terutama dari Berhala Besar yang mempunyai kuasa besar pula.

Dalam tahun politik ini, pemujaan kepada berhala-berhala, khususnya Berhala Besar, akan semakin tinggi intensitasnya. Di mana-mana para pemuja Berhala Besar akan menceritakan kepada rakyat ihwal kehebatan pujaan mereka. Akan mendakwahkan ihwal kemampuan Berhala Besar untuk memperlihatkan manfaat. Meskipun, dalam kenyataannya, Berhala Besar tidak berbeda dengan berhala Quraish yang hanya bisa bergerak jikalau ada yang menggerakkan.

Berhala Besar akan dicitrakan sebagai sumber gagasan pembangunan, dielu-elukan sebagai pembela rakyat. Pencitraan ini ialah “pembohongan publik”. Sebab, berhala sepenuhnya bergantung pada kaum pemuja.

Para pemuja bagaikan lupa bahwa berhala terbuat dari benda mati. Berhala Besar pun juga dipahat-pahat dan diukir-ukir untuk kemudian dituhankan sebagai Sim-Salabim pembangunan. Padahal, Berhala Besar diatur gerak langkahnya oleh para pemujanya sendiri.

Sebagian pemuja berhala ialah rombongan syaithon (setan) ekonomi dan keuangan. Berhala dan syaithon sebetulnya saling memerlukan secara spiritual. Sebab, syaithon ialah “ruh” berhala. Sebaliknya, Berhala ialah daerah syaithon bersarang. Syaithon merasa sangat nyaman dan bahagia dekat-dekat dengan Berhala.

Syaithon ekonomi-keuangan ialah barisan pemuja berhala yang menyiapkan sesajen. Setelah menyediakan sesajen, para pemuja tentu menuntut restu dari berhala. Karena sangat bergantung pada kelompok khusus pemujanya ini, Berhala pun selalu memperturutkan cita-cita syaithon.

Dahulu, lebih-kurang ibarat inilah korelasi antara berhala-berhala Makkah dan pemujanya, yakni kaum Quraish dan marga-marga Arab lainnya, yang waktu itu masih berstatus “hilang akal”. Masih jahiliyah.

Sekarang ini giliran orang Indonesia, khsusunya para pemuja berhala, yang dilanda kejahiliyahan. Semua orang yang “belum kehilangan akal”, memikul kewajiban untuk meluruskan “kesyirikan” di negeri ini. Sudah saatnya Anda semua menjadi “para nabi” untuk menyadarkan kembali rakyat yang terlanjur menjadi pemuja berhala.

Yang berilmu dan yang bisa berfikir harus berjuang sebenarnya untuk menyelamatkan bangsa dari cengkeraman kekuasaan Berhala Besar dan berhala kecil.

Penulis: Asyari Usman (Wartawan Senior)


Share Artikel: