Pilgub Sumut: Ada Pesan Semoga Prabowo Hati-Hati Dengan Edy Rahmayadi
[PORTAL-ISLAM.ID] Edy Rahmayadi (ER) diperkirakan akan menang dengan gampang di pilgub Sumetara Utara (Sumut). Tidak hanya alasannya yakni ia didukung oleh banyak partai, tetapi juga alasannya yakni kuatnya “politik sentimen” yang telah berlangsung usang di provinsi ini. Sentimen lebih banyak didominasi menawarkan bahwa ER yakni satu-satunya pilihan rakyat Sumut.
Secara resmi, ER yakni calon dari koalisi opsisi yang mencakup Gerindra-PKS-PAN. Tapi, agak mengherankan, koalisi ini membesar dalam waktu sekejap dengan proses yang cukup aneh. Setelah ketiga partai oposisi kompak itu mengusung ER, masuk lalu Golkar dan Nasdem yang disusul Hanura. Yang paling asing yakni derma Nasdem. Sebab, partai ini dengan kasarnya membuang begitu saja kadernya yang juga petahana yaitu Tengku Erry Nuradi. Akhirnya, petahana yang dijuluki “Paten” (Pak Tengku Erry Nuradi) itu tak jadi maju di pilkada 2018 ini.
Pertambahan kilat derma tiga partai penguasa ke dalam koalisi oposisi, yang akan menciptakan ER semakin mulus menuju Sumut 1 itu, memunculkan pertanyaan yang sangat masuk akal untuk dibicarakan. Yaitu, mengapa tiga partai penguasa mendukung calon yang diusung koalisi oposisi?
Salah satu teori menyebutkan bahwa ketiga partai penguasa (Golkar, Nasdem, Hanura) hanya menjalankan “perintah” dari sentrum kekuasaan semoga mendukung ER. Tujuannya, ER harus menang. Terus, mengapa ER harus menang? Karena, berdasarkan teori ini, ER sesungguhnya yakni orang yang akan menyukseskan misi Jokowi di Pilpres 2019. Teori ini memang sempat ditunjukkan oleh Golkar lewat motonya “Jokowi 2 Periode” yang dipamerkan kepada publik segera sehabis mendaklarasikan derma kepada ER.
Teori ini didukung oleh langkah Nasdem yang meninggalkan Erry Nuradi. Nasdem sebenarnya melaksanakan pengkhianatan besar terhadap Tengku Erry. Tetapi, anehnya, Pak Tengku “tak banyak cerita”. Bahkan cenderung akan ikut menyukseskan ER yang menjadi penyebab pengkhianatan Nasdem itu. Kok bisa?
Banyak yang menduga bahwa Pak Tengku telah menerima pesan (mungkin lebih sempurna “tekanan”) dari sentra kekuasan tertinggi supaya legowo membiarkan ER menjadi gubernur.
Seperti disebut tadi, ER akan menjadi Sumut 1 dengan mudah. Keyakinan menang dengan gampang ini diperkuat oleh teori lain: bahwa penugasan Djarot-Sitorus sebagai paslon PDIP bertujuan untuk membulatkan bunyi pemilih Sumut kepada ER. Penjelasan begini. PDIP paham betul bahwa Djarot-Sitorus tak akan diterima oleh sentimen lebih banyak didominasi di Sumut.
Cagub bekas Jakarta yang masih segar dalam ingatan khalayak sebagai cuilan dari insiden Ahok, hampir niscaya akan tenggelam. Apalagi dipasangkan dengan Sihar Sitorus yang dipandang sebagai “kartu mati” di kalangan sentimen mayoritas. Tidak besar peluang paslon ini untuk menang.
Dengan demikian, sangat pantas dikatakan bahwa penugasan Djarot ke Sumut merupakan cuilan dari seni administrasi untuk memenangkan ER. Artinya, ada skenario konspiratif antara PDIP dan Istana untuk memuluskan mantan Pangkostrad itu. Konspirasi ini dipastikan akan menghasilkan gubernur yang pro-Jokowi, siapa pun yang terpilih diantara ER dan Djarot.
Gubernur Djarot susah niscaya pro-Jokowi. Bagaimana mungkin Gubernur Edy Rahmayadi juga pro-Presiden? Kita cermati beberapa hal berikut ini.
Pertama, seorang jenderal hampir niscaya akan bersikap pragmatis. Dia akan mengikuti keadaan dengan ralitas yang ada di sekitarnya. Jenderal tidak akan mau terjebak dalam konflik yang merugikan dirinya. Yang mau berkonflik adalan orang yang berideologi. Ada satu-dua jenderal yang sangat ideologis. Umumnya prgmatis. Bekerja sesuai kepentingan dikala itu.
Kedua, ER sebagai Pangkostrad telah menikmati hubungan “chain of command” (rantai komando) yang menyenangkan dengan Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi TNI. ER tidak sama dengan Jenderal (Purn) Sudrajat yang juga didukung koalisi Gerindra-PKS-PAN di pilgub Jawa Barat. Sudrajat tidak punya sentuhan Jokowi. Dia sudah usang pensiun. Berbeda dengan ER.
Nah, bisakah kita menyampaikan secara niscaya bahwa ER akan meninggalkan koalisi oposisi? Mungkinkah ia meninggalkan Prabowo Subianto?
Wallahu a’lam. Yang jelas, koalisi yang mendukung ER tidak sanggup disebut sebagai koalisi oposisi. Kalau ER menang, Gerindra-PKS-PAN tidak sanggup mengklaim bundar bahwa ER yakni milik mereka. Sebab, akan ada Golkar, Nasdem dan Hanura yang akan membantahnya. Tiga partai pro-Jokowi ini sanggup saja mengklaim ER menang terutama alasannya yakni kerja mesin politik mereka.
Jika situasi menyerupai ini terjadi, ER mustahil pula mengesampingkan ketiga partai pro-Jokowi itu. Bahkan, ER punya alasan untuk membalas jasa mereka dengan cara lebih bersahabat dengan mereka dan lebih bersahabat dengan Jokowi sebagai panutan mereka.
Karena itu, banyak pendukung Prabowo dan koalisi oposisi yang ingin memberikan pesan semoga berhati-hatilah mengelola Edy Rahmayadi.
Penulis: Asyari Usman