Telat Memahami Anis Matta & Fahri Hamzah


Catatan: Herry Cahyadi
(Mahasiswa Doktoral di International Relations Istanbul University Turki)

FYI, di Turki partai yang secara ideologi paling akrab dengan PKS yaitu Saadet Partisi, bukan AKP. Erdogan yaitu kader terbaik mereka (Saadet Partisi). Tapi, Erdogan paham, kalau model politik Saadet dipertahankan, tak akan ada kemajuan. Susah mengubah dari dalam, karenanya dia hengkang mendirikan AKP.

Erdogan disebut pembangkang, pengkhianat, bahkan kadang dimusuhi oleh kader “tarbiyah” Saadet. Ia “mengkhianati” harapan Erbakan, sang mahaguru bagi Erdogan, berdasarkan kader Saadet. Tapi Erdogan justru tetap melenggang dengan visinya yang dia mencar ilmu banyak dari Erbakan.

Saadet Partisi, yang kental Islamisnya, yang merupakan metamorfosis dari Fezilet Partisi dan sebelumnya Refah Partisi, tak mengalami perubahan signifikan sejak pembubaran pada 1998 dan 2001. Justru AKP yang merupakan belahan kedua dari Fezilet Partisi yang dominan. Bukankah ini gebrakan?

Sampai sekarang, dengan model politik AKP yang berubah menjadi menjadi rezim berpengaruh hampir 2 dekade, seharusnya parpol itu (PKS -red) mencar ilmu bahwa politisi yang bisa membawa gebrakan harus difasilitasi, bukan dikebiri. Politisi yang bisa membaca zaman harus menjadi ujung tombak perubahan.

Dalam badan PKS dulu, ada dua anak muda yang progresif dan bisa membaca zaman; Anis Matta dan Fahri Hamzah. Keduanya ulung dalam politik, banyak baca, dan bisa mentranslasi sejarah menjadi modal gerakan. Kita mencicipi gebrakan yang menggigit kala itu. Masa depan itu cerah. Biru.

Dulu, saya pun kesulitan memahami cara berpikir mereka berdua di tengah doktrinasi holistik yang jumud dan kaku. Saya pikir mereka ini mau ngapain dengan gagasan-gagasan yang tak lagi normatif. Baru belakangan saya paham bahwa perubahan itu perlu. Sejarah itu berulang tapi pembacaannya yang penting.

Jujur, saya gres benar-benar memahami semangat mereka sehabis mempelajari AKP dari akrab di sini, di Turki. Luar biasa, ini bukan perubahan tanpa arah, ini grand design yang rapih dan paham medan. Saya menyesal telat memahami gagasan Anis Matta dan Fahri Hamzah waktu itu.

Jelas saya telat, wong mereka sudah lebih dulu membaca; lebih dulu bisa menerjemahkan sejarah. Sebab itu, justru ketika ini saya mencicipi kehilangan ruh pembaruan. Di ketika saya memahami maksud mereka dulu, di situlah orang-orang menyerupai mereka tak lagi diberi panggung.

Mungkin banyak juga yang mencicipi menyerupai saya. Benar bahwa kita yaitu panah-panah terbujur yang siap dilepaskan dari busur. Tapi kita mau pemanahnya tahu kemana target yang hendak dituju. Masalah sempurna atau tidak, tak masalah. Yang penting dia tahu mau menembak ke mana.

(Dari twitter @herricahyadi 05-01-2018)


Share Artikel: