Jurnalis Senior: Beri Kartu Kuning Ke Jokowi, Zaadit Baik Budi. Seharusnya Kartu Merah
[PORTAL-ISLAM.ID] Ketua BEM UI Zaadit Taqwa boleh dikatakan sangat “dermawan” saat memperlihatkan kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia bukan “musuh” Jokowi, bahkan dapat disebut “pendukung”. Keliru besar kalau Zaadit dipandang sebagai lawan. Kalau warna kuning itu dimaksudkan sebagai simbol penilaian Zaadit terhadap kinerja Presiden, sangat baik sekali mahasiswa ini.
Kalau saya ada di posisi Pak Jokowi, saya ajak Zaadit tiba ke Istana untuk memberikan terima kasih atas warna kuning itu. Sebab, saya akan bersyukur sekali tidak ditunjukkan kartu merah. Saya akan membaiki Zaadit. Karena dia telah berbaik hati memperlihatkan nilai kinerja yang tidak buruk untuk saya.
Saya akan perintahkan Kantor Staf Presiden semoga menjaga Zaadit; mengajak dia berdiskusi. Saya suruh Kepala Staf semoga berusaha meyakinkan ketua BEM itu supaya mengajak teman-teman dari kampus lain untuk mensosialisasikan warna kuning sebagai gradasi kinerja Presiden.
Nilai kuning masih sangat OK. Kenapa tidak? Sebab, warna yang viral di masyarakat kini ini untuk kinerja Jokowi ialah merah. Tiba-tiba tiba Zaadit dengan warna kuning, tentu alhamdulillah. Boleh dibentuk program syukuran bersama anak yatim. Dengan memperlihatkan warna kuning, Zaadit mewakili mahasiswa UI untuk mengkaunter penilaian merah dari masyarakat. Sungguh tidak ternilai kebaikan anak UI ini.
Jadi, Zaadit ialah orang yang sangat diharapkan oleh Pak Jokowi. Kalau ketua BEM UI itu dapat dibujuk untuk menyebarluaskan warna kuning di kampus-kampung di seluruh Indonesia, berarti Pak Jokowi berpeluang besar untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa dia telah bekerja maksimal dengan hasil yang “sangat baik”. Maksudnya, sangat baik bila dibandingkan dengan warna merah yang beredar di masyarakat.
Sekarang, tim pencitraan Pak Jokowi berkurang bebannya sesudah kartu kuning yang dipajangkan oleh Zaadit. Bisa sedikit bernapas. Selama ini, mereka jungkir balik untuk mengolah warna merah menjadi warna kuning. Bagi tim pencitraan, penilaian kuning dari ketua BEM UI sungguh di luar dugaan. Pak Jokowi kini “back on track”. Kembali ke jalur.
Untuk Pak Rektor, Anda sangat beruntung alasannya ialah Zaadit tidak memperlihatkan kartu merah. Sangat hiperbola kalau Anda murka kepadanya. Dia ialah sosok mahasiswa milenial yang baik budi. Anda pantas mengklaim bahwa bawah umur UI sangat pro-Jokowi.
Kalau ditanya wartawan, Anda dapat menyampaikan sambil tersenyum lebar bahwa Anda gembira pada mahasiswa UI yang telah menyambut Pak Jokowi dengan marna kuning. Pak Rektor dapat juga mengklaim bahwa, dengan memajangkan kartu kuning, bawah umur UI masih menginginkan Pak Jokowi menjadi presiden. Kalau Anda, Pak Rektor, dapat mengolah warna kuning ini, saya yakin Anda akan membuka terusan ke bangku Mendiktiristek.
Menurut ekonomis saya, Rektor UI berhasil menjinakkan mahasiswa semoga tidak keluar dari penilaian kuning untuk Pak Jokowi. Bisa disebut sebagai prestasi yang sangat membantu Presiden. Kepala Staf Presiden perlu berguru dari Rektor UI perihal kiat membina mahasiswa supaya menjadi para intelektual yang “mandiri” alias “memikirkan diri sendiri”.
Lantas, bagaimana dengan penilaian masyarakat terhadap tindakan Zaadit Taqwa sendiri? Di media umum (medsos), kebanggaan selangit diarahkan kepada ketua BEM. Dia dianggap berani di tengah suasana melempem di kalangan mahasiswa. Dia dianggap jagoan di tengah kemandulan mahasiswa. Zaadit dianggap “Hariman Siregar” di tengah kebancian mahasiswa Indonesia belakangan ini.
Di medsos, masyarakat bertepuk tangan melihat keberanian Zaadit. Ini dapat dipahami. Sebab, sudah usang sekali rakyat merindukan perilaku kritis mahasiswa terhadap kesewenangan penguasa dan terhadap kondisi negara yang sedang gonjang-ganjing. Jadi, begitu menyaksikan adegan tiup pluit dan angkat kartu kuning di depan Pak Jokowi, terasa menyerupai akan mendapat air segar di tengah gurun tandus yang terik.
Padahal, tindakan yang dilakukan oleh Zaadit justru “mendukung” Pak Jokowi. Bukan kritikan, apalagi kebangkitan. Sekadar perlawanan edisi fatamorgana.
Penulis: Asyari Usman