CILUK... BA! Kasus 'Papa Minta Saham' Dianggap SELESAI, Riza Chalid Muncul di Hadapan Jaksa Agung


[PORTAL-ISLAM.ID]  Nama pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid kembali mendapatkan sorotan publik setelah wajahnya terlihat menghadiri acara kuliah umum Akademi Bela Negara Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.

Riza pernah disorot publik saat kasus dugaan pelanggaran etika yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto terkait pencatutan nama Jokowi saat negoisasi dengan Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mencuat pada tahun 2015 silam.

Ia bersama Setya diduga meminta saham PT Freeport Indonesia sebesar 20 persen untuk diserahkan kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai kompensasi bila perpanjangan kontrak perusahaan asal Amerika Serikat yang akan habis pada tahun 2021 itu berjalan mulus.

Riza disebut pernah menguasai bisnis impor minyak Indonesia via Petral. Petral, perusahaan milik Pertamina yang berbasis di Singapura disebut bertanggung jawab dalam memasok minyak mentah dan BBM dengan harga yang tidak kompetitif itu akhirnya dibubarkan di rezim Jokowi pada tahun 2005 lalu.

Kiprah pria kelahiran 1960 berdarah Arab ini itu dapat dilihat lewat sejumlah literatur yang telah mengungkapkan kejayaan serta kiprah Riza di sektor bisnis.
Mantan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, lewat bukunya yang berjudul Menentukan Jalan Baru Indonesia (April 2009), menyebut Riza sebagai Teo Dollar karena pendapatan per harinya mencapai US$600 ribu.

Tak hanya itu, aktivis sekaligus peneliti George Aditjondro juga pernah mengungkap kiprah Riza lewat buku Cikeas Makin Menggurita, buku yang mengulas tentang bisnis keluarga Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Riza pernah menorehkan prestasi setelah dinobatkan oleh Globe Asia sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia dengan menduduki peringkat ke-88 dalam 150 Richest Indonesian. Kekayaannya kala itu ditaksir mencapai US$415 juta lewat perusahaan Global Energy Resources.

Meski demikian, perjalanan karier Riza tak lepas dari catatan miring. Ia pernah tersandung kasus impor 600 ribu barel minyak mentah ramuan Zatapi oleh Pertamina. Kala itu, Pertamina Energy Trading Limited (Petral) membeli minyak campuran - diberi nama Zatapi - lewat Global Resouces Energy dan Gold Manor, dua perusahaan yang terafiliasi dengan Riza.

Kemudian, impor minyak mentah jenis Zatapi itu memicu kontroversi dan sempat dipersoalkan oleh Komisi VII DPR RII dalam rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kala itu, Pramono Yusgiantoro pada Februari 2008.

DPR dan pemerintah meributkan impor minyak 600 ribu barel jenis tersebut, dan mempertanyakan sejumlah kejanggalan di balik tender tersebut. Dalam dugaan impor 600 ribu barel minyak mentah Zatapi, Pertamina diperkirakan tekor Rp 65 miliar hanya pada satu transaksi.

Namun kasus ini dihentikan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri karena dianggap tidak merugikan negara. Saat itu, muncul julukan untuk Riza yaitu The Gasoline Godfather atau yang berarti rajanya raja minyak.

Selain berkiprah di dunia perminyakan, Riza juga disebut memiliki unit usaha lain yakni pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Pusat, Sudirman Central Business District (SCBD) dan fasilitas hiburan bagi anak-anak, KidZania di pusat perbelanjaan tersebut.

Sayap bisnis Riza pun disebut pernah melebar ke transportasi udara. Ia memiliki saham di maskapai penerbangan AirAsia Indonesia, melalui PT Fersindo Nusaperkasa.

Kini, Riza telah terbebas dari kasus hukum. Ancaman pidana yang lahir dari kasus 'papa minta saham' pun tidak ada lagi. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan penyelidikan terkait kasus tersebut telah selesai.

Menurutnya, pihaknya tidak bisa melanjutkan penyelidikan kasus tersebut lantaran terkendala ketiadaan barang bukti.

Prasetyo berkata, rekaman suara pertemuan antara Setya, Riza, dan Maroef yang sebelumnya diyakini bisa menjadi barang bukti, kini sudah tak bisa digunakan lagi setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan terhadap Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Jadi bukti-bukti yang tadinya kami anggap bisa melengkapi, ternyata oleh Mahakamah Konstitusi dinyatakan tidak sah sebagai barang bukti," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan pada Kamis 19 Juli 2018.

Sumber: CNN

Share Artikel: