Koalisi Istana Akan Pecah
[PORTAL-ISLAM.ID] Sejumlah partai telah buat pernyataan. Dukung Jokowi capres 2019. Nasdem, Hanura, PKB, PPP, PDIP, juga Golkar. Beberapa partai gurem ikut dukung. Ada 10 partai. Solid? Nanti dulu. Jangan buru-buru membuat kesimpulan.
Mari kita bedah. Dukungan kepada Jokowi menguat. Mengapa? Pertama, Jokowi penguasa. Siapapun penguasa, pasti kuat logistiknya. Untuk operasi lapangan, partai butuh logistik. Apalagi pilpres bareng sama pileg. Partai butuh logistik besar. Penguasa paling siap memenuhi kebutuhan logistik itu.
Kedua, penguasa bisa melakukan apa saja, termasuk copot para menteri jika partainya tak mendukung. Belum lagi jabatan-jabatan setingkat di bawah menteri, seperti komisaris, duta besar, dirjen, dst. Setoran buat logistik partai bisa terganggu jika mereka dicopot. Sumbangan, bahasa moralnya, zakat, bahasa agamanya, urgen buat operasional partai. Dari mana? Yang jelas bukan dari kotak amal masjid atau gereja.
Ketiga, penguasa, siapapun penguasa itu, dari zaman ke zaman, dan di negara manapun, biasanya juga punya data kriminal kader-kader partai. Mau macam-macam? Masih ingat ketika Amin Rais digertkak seorang menteri mau dicari kesalahannya? Karenanya, kardus duren dan sejenisnya jadi populer. Apa itu? Jangan pura-pura pilon. Berarti, dukungannya terpaksa dong? Tidak. Terlalu kasar bahasanya. Jawaban yang indah: Itu seni bermain politik. Enak didengar bukan?
Keempat, partai masih punya harapan untuk dapat jatah cawapres. Cak Imin tidak jawab dengan tegas, alias menghindar, ketika wartawan nanya: apakah tetap dukung Jokowi jika tak jadi cawapres? Nah… Ada tanda-tanda untuk hengkang. Jika Puan Maharani yang akan dicawapreskan Jokowi, apakah Golkar dan partai-partai koalisi akan tetap dukung Jokowi? Apakah jika Airlangga Hartarto dipilih jadi cawapres Jokowi, apakah PDIP tetap bertahan di koalisi? Jawabnya, belum tentu. Bergantung hasil nego. Berapa menteri, komisaris, dan bla…bla… Kok pragmatis banget? Itu logika partai. Tentu tak sama dengan logika ulama, akademisi dan rasio relawan.
Kelima, belum muncul calon yang kuat sebagai lawan Jokowi. Jika calon lawan Jokowi itu hanya satu, dan itu adalah Prabowo, maka koalisi istana diprediksi akan utuh dan kompak. Karena Jokowi dianggap masih tangguh untuk memenangkan pertarungan lawan Prabowo. Tapi, jika calon lawan Jokowi itu Anies Baswedan atau Gatot Nurmantyo? Peluang pecah bisa terjadi. Apalagi jika ada tiga pasang calon, dan calon lawan Jokowi potensial menang, maka kongsi istana sangat mungkin retak dan akhirnya pecah.
Tak ada teman dan lawan abadi dalam politik. Itu prinsipnya. Parpol di Indonesia “secara umum” itu pragmatis. Siapa yang membawa angin segar dan memberi harapan buat masa depan partai, mereka akan dukung. Ideologi dan platform? Itu bahasa _dewa_ yang seringkali tak terjangkau oleh otak kebanyakan kader partai. Sesekali dibuat branding untuk menghipnotis pemilih.
Kalau kebutuhan pragmatis partai koalisi, terutama untuk deal posisi dan harapan menang tak terpenuhi dari Jokowi, hampir dipastikan partai akan tarik dukungan. Kapan? Sesaat menjelang pendaftaran. Sebaliknya, jika posisi Jokowi menguat karena oposisi tak mampu siapkan lawan yang tangguh, maka Demokrat dan PAN bisa bergabung dengan Jokowi. Asyik bukan? Itulah seninya berpolitik.
Soal logistik, istana paling siap diantara bakal capres yang ada. Tak ada masalah. Tapi posisioning? Bergantung jatah politik yang diterima partai. Puas, akan lanjut. Tidak puas, akan bermanuver. Ada kesempatan lepas, akan lari dan dukung yang lain. Yang beginian, publik sudah hafal. Meski kadang-kadang lupa juga.
Harapan menang? Bergantung siapa yang akan jadi lawan Jokowi. Lawan lebih kuat? Sangat mungkin ke lain hati. Terutama Golkar, PDIP dan PKB. PDIP? Iya. Kalau jatah cawapres gak dapat, menjadikan Jokowi sebagai petugas partai tak berhasil, atur jabatan-jabatan strategis tak diberi akses, lalu ada calon lain yang surveinya lebih kuat, negonya lebih menjanjikan, tak mustahil akan pindah ke lain hati. Meninggalkan Jokowi sebagai kader? Ada yang bertanya: apakah Jokowi kader loyal?
Belum lagi manuver Golkar dan PKB. Kita sulit mengkaitkan ideologi dan platform Golkar-PKB dengan Jokowi. Lalu, ikatannya apa selama ini? Kebutuhan politik. Kalau kebutuhan itu tak lagi ada, apa alasan untuk bertahan? Kebutuhan yang dimaksud adalah posisioning dan potensi kemenangan. Logistik? Jika lawan Jokowi bisa menyanggupi, goodby. Siapapun calon yang berpotensi menang akan jadi magnet para bohir untuk menanam modalnya. Soal logistik, terbuka dari jalur lain. Kardus duren? Nah, soal ini butuh adu nyali. Injury time, yakin Jokowi kalah, kemungkinan PKB hengkang lebih besar.
Kalau begitu, Jokowi belum aman? Tentu. Sebagai incumbent, elektabilitas Jokowi pas-pasan. Di bawah 50%. Pendukung loyalnya di angka 32%. Ini lemah. Karena itu, tim istana menerapkan strategi pertama, mengupayakan calon tunggal. Nampaknya plan A ini gagal. Oposisi terus berupaya bentuk koalisi, meski masih carut marut. Satu sama lain saling mengunci. Belum deal. Setidaknya hingga tulisan ini diturunkan. Kedua, dorong munculnya calon yang lemah. Calon yang mudah dikalahkan. Menghalangi munculnya calon yang kuat. Hal biasa, dan sah-sah saja untuk memudahkan pertarungan. Ini masih dalam proses. Ketiga, memperbanyak jumlah partai pendukung. Logistik dan posisioning bisa jadi daya tawar.
Apakah istana akan mampu mempertahankan partai-partai koalisi hingga akhir pendaftaran pilpres tanggal 10 Agustus tahun ini? Apakah koalisi istana makin kokoh, atau justru retak dan akhirnya bubar? Kita tunggu, siapa cawapres Jokowi, dan siapa lawan Jokowi. Dua variable utama yang berpengaruh pada kokoh atau pecahnya koalisi istana.
Penulis: Tony Rosyid