Pembuatan Vaksin Coronavirus untuk Siapa?


Pembuatan Vaksin Coronavirus untuk Siapa?

Dari data WHO per tanggal 22 Mei 2020 disebutkan bahwa 126 kandidat vaksin dari Perusahaan Big Pharma dan komunitas kesehatan di banyak negara berlomba mengembangkan vaksin untuk coronavirus. 12 diantaranya tengah pada tahap uji klinis.

Dari 12 kandidat vaksin, hanya tersisa 7 kandidat yang masih dalam proses sementara 5 lainnya menghentikan pengujiannya. Sementara 114  kandidat lainnya baru memasuki tahap uji klinis pendahuluan.

Secara umum pengembangan vaksin yang diuji coba melalui empat basis cara yang berbeda:

1. Percobaan berbasis Vaksin mRNA

Vaksin ini menggunakan sesuatu yang disebut pendekatan messenger RNA untuk membangun respon imunitas. Cara ini tidak memerlukan virus untuk membuat vaksin.

Para ilmuwan mengidentifikasi urutan untuk protein utama pada permukaan virus SARS, yang disebut lonjakan protein. Protein ini adalah kunci untuk memungkinkan virus memasuki sel ketika seseorang terinfeksi. Instruksi untuk membuat lonjakan protein yang dikodekan menjadi molekul instruksi yang disebut mRNA.

Ketika vaksin yang mengandung molekul instruksi disuntikkan, ia bergerak ke sel-sel kekebalan dan memicu mereka untuk membuat salinan protein lonjakan seolah-olah sel-sel telah terinfeksi dengan virus corona.

Sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh kemudian belajar tentang lonjakan protein  dan dapat menawarkan kekebalan jika mereka bersentuhan dengan coronavirus.

Salah satu contoh cara ini dikembangkan oleh Moderna bekerjasama dengan National Institutes of Health USA

2. Percobaan berbasis Vaksin DNA

Teknologi ini menggunakan DNA yang dirancang untuk menghasilkan respons imun yang spesifik.

Perangkat pintar genggam yang menggunakan pulse listrik singkat untuk membuka pori-pori kecil di kulit memberikan vaksin.

Ketika DNA berada di dalam sel, ia memerintahkan sel untuk memproduksi banyak salinan DNA buatan, yang merangsang respons alami tubuh.

Contoh pengembangan cara ini dilakukan antara lain oleh Inovio, perusahaan bioteknologi AS

3. Percobaan berbasis Vaksin Adenovirus

Vaksinnya yang dibuat dari versi lemah virus flu biasa, adenovirus, yang diambil dari simpanse.

Adenovirus diubah secara genetis sehingga tidak mampu mereproduksi dirinya sendiri. Vaksin ini dikombinasikan dengan gen untuk memicu antibodi yang memungkinkan sistem kekebalan untuk menghancurkan virus.

Jenis uji klinis tersebut memungkinkan para peneliti menguji keamanan dan seberapa baik kerjanya pada saat yang sama

Cara ini dikembangkan CanSino Biologics di Tianjin, Cina.

4. Percobaan berbasis Virus yang dilemahkan langsung dan vaksin dari virus yang tidak aktif

Dua dari jenis vaksin yang paling tradisional yang sedang dikerjakan laboratorium menggunakan coronavirus itu sendiri untuk memperoleh respons kekebalan.

Vaksin baik menggunakan virus yang "dilemahkan", yang merupakan bentuk lemah, atau virus "tidak aktif", yang telah dibunuh, untuk menginduksi spektrum penuh antibodi untuk menetralkan virus.

***

Lepas dari  usaha keras yang dilakukan para ilmuwan kesehatan dan perusahaan Big Pharma ini  perlu disadari bahwa bilapun ada sebuah perusahaan Big Pharma atau  satu komunitas kesehatan  swasta ataupun yang didukung suatu negara berhasil sukses menciptakan vaksin, maka stok yang dikembangkan dipastikan tidak akan bisa mencukupi kebutuhan pasokan untuk 8 Milyar warga dunia dalam waktu dekat.

Dr . Moshe Arditi, MD, direktur akademik Penyakit Infeksi Pediatrik dan Imunologi di Cedars-Sinai mengungkap sulitnya memproduksi vaksin dan mendistribusikan secara luas.

Dia mengatakan bahwa para peneliti perlu mencari tahu tidak hanya antibodi yang melindungi terhadap virus selama tanggapan kekebalan alami, tetapi juga tingkat antibodi apa yang diperlukan untuk mendapatkan kekebalan.

Mereka juga perlu menguji vaksin di antara populasi yang berbeda - orang muda, wanita hamil dan orang tua, dan menyelesaikan semua uji keamanan.

Itulah sebabnya vaksin biasanya membutuhkan lebih dari satu miliar dolar untuk dibuat dan lebih dari satu dekade untuk dikembangkan dan didistribusikan.

Ini artinya bahwa bilapun ada sebuah perusahaan Big Pharma atau satu komunitas kesehatan swasta ataupun yang didukung suatu negara berhasil sukses menciptakan vaksin, maka stok yang dikembangkan dipastikan tidak akan bisa mencukupi kebutuhan pasokan untuk 8 Milyar warga dunia dalam waktu dekat.

Perlu berbulan bulan bahkan bertahun tahun untuk mencukupi stok kebutuhan dimaksud.

Pertanyaannya selanjutnya adalah, bila kurangnya pasokan menjadi masalah, tidak bisakah para peneliti yang misalnya telah berhasil membuat vaksin pertama kemudian membagikan resep secara online? Tindakan yang bisa jadi diangggap suatu tindakan kepahlawanan, sehingga produsen di seluruh dunia dapat meningkatkan produksi, memastikan seluruh dunia mendapatkan vaksinasi sesegera mungkin.

"Tidak bisa," demikian dikatakan Gerdts, periset Universitas Saskatchewan, “karena seluruh proses pengembangan vaksin dikontrol secara ketat oleh pihak berwenang [nasional].”

Tentu hal ini berkait dengan masalah kualitas dan akuntabilitas.

Gerds menerangkan bahwa perusahaan dan peneliti harus menunjukkan bagaimana dan di mana mereka membuatnya; proses dan fermentor apa yang mereka gunakan; bahan apa yang mereka gunakan; dari mana mereka berasal; bagaimana itu dirumuskan; bagaimana itu dimasukkan ke dalam botol kaca; yang menyegel botol dan berhenti di sepanjang perjalanan.

"Jika seseorang yang kemudian memproduksi dan tidak mengindahkan quality control dan ada potensi kontaminasi, siapa yang bertanggung jawab untuk itu?"

Cara yang pernah dilakukan pada pembuatan vaksin Ebola bisa jadi saat ini tidak dapat digunakan lagi untuk menangani Coronavirus Wuhan.

Pada kasus vaksin Ebola, pada tahun 2014, Gary Kobinger, dari Laboratorium Winnipieg, Kanada  mempelopori pengobatan inovatif untuk Ebola. Vaksin ini terdiri dari campuran tiga antibodi, yang dikenal sebagai ZMapp, yang menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk menyelamatkan nyawa di tengah wabah virus mematikan di Afrika Barat.

Laboratorium ini adalah laboratorium kerjasama antara AS dan Kanada. Kobinger, yang pada waktu itu adalah kepala patogen khusus di laboratorium mikrobiologi Badan Kesehatan

Masyarakat Kanada di Winnipeg, ingin membantu sebanyak mungkin orang.

Dari hasil laboratorium ini kemudaian perusahaan yang berbasis di AS, Mapp Biopharmaceutical mengembangkan vaksin Ebola yang dinamakan ZMapp.

Namun, karena obat itu diproduksi melalui sel tembakau menyebabkan produksinya menjadi lambat, dan dengan fasilitas terbatas, maka perusahaan hanya punya stok obat rendah.

Proses inipun makin melambat karena datangnya musim gugur 2014 dan selama uji klinis dan uji keamanan yang diperlukan oleh Makanan dan Obat AS Administrasi (FDA).

ZMapp kemudian diuji di AS dan Inggris, dan pada Januari 2015 pengujian dimulai di Sierra Leone, Guinea, dan Liberia.

Selanjutnya Akademi Ilmu Kedokteran Militer PLA dan perusahaan Cina Beijing Mabworks menggunakan informasi dalam paten ZMapp yang disebarkan secara online untuk membuat MIL-77, obat vaksin Ebola lainnya.

Kepala eksekutif PT Beijing Mabworks Feng Li mengatakan bahwa perusahaannya memiliki perjanjian lisensi dengan intelektual ZMapp, pemegang properti dan memiliki keinginan kuat untuk melawan keadaan darurat Ebola.

Agak berbeda pernyataan itu dengan pernyataan Kobinger sendiri yang mengatakan bahwa Beijing Mabworks memberi tahunya bahwa para peneliti perusahaan telah mengambil informasi langsung dari paten ZMapp, yang terdaftar secara online, dan menggunakannya untuk mengkloning bahan-bahan aktif.

“Pria itu mengatakan kepada saya bahwa mereka hanya ingin mencoba teknologi mereka dan tidak ingin menggunakan obat di klinik, atau melemahkan kami. Itu adalah panggilan kehormatan.”

Pihak Mabworks kemudian memodifikasi obat sehingga dapat diproduksi menggunakan sel mamalia, bukan sel tembakau. Ini yang kemudian menghasilkan produksi yang lebih cepat, sehingga Mabworks dapat dengan cepat menghasilkan sekitar 100 dosis MIL-77.

Pejabat AS menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran hak paten pembuatan MIL-77.

Z Mapp terdiri dari tiga antibodi monoklonal chimeric, dan AS dan Pemerintah Kanada memegang paten untuk dua dari paten  ketika kemudian Zmapp mereka dimodiikasi   China .

Akhirnya Pada 2015,  Beijing Mabworks (China) dan Mapp Biopharmaceutical (AS) menandatangani perjanjian kerjasama pemberian vaksin dimana menetapkan kedua perusahaan berhak untuk  memasarkan MIL-77 di mana saja di dunia kecuali di Cina.

Bagaimana Sekarang?

Di masa kini, dimana persaingan untuk menjadi yang terdepan makin ketat, trik minta tolong, pinjam, atau curi model China yang kemudian dikomersilkan semacam ini mungkin akan mendapat tentangan keras terutama dari pihak yang dirugikan. Apalagi dalam kasus Coronavirus Wuhan ini dimana AS dan China terjadi konflik.

Pertanyaan selanjutnya, terlepas dari sikap sinis pada WHO yang dilontarkan banyak pihak, telah merubah diri menjadi Organisasi Kesehatan China, apakah WHO bisa berperan mengatur distribusi vaksin coronavirus bila sudah ditemukan? 

"WHO tidak mempunyai wewenang untuk memberi tahu suatu negara, apa yang harus dilakukan dengan pasokan vaksin," kata David Fidler, mantan konsultan hukum untuk badan kesehatan PBB.

Memang, sebagian besar negara tidak memiliki kapasitas produksi untuk distribusi vaksin global, itulah sebabnya mereka yang mendanai penelitiannya akan memastikan kontrak akan memberi mereka kendali atas distribusi.

Artinya misalnya Bill and Melinda Gates mendanai penelitian coronavirus maka vaksin yang dihasilkan dan didistribusikan harus ikut aturan mereka.

Bilapun negara yang membiayai penelitian coronavirus maka dapat dipastikan bahwa vaksin akan didahulukan untuk warga negara setempat.

Maka tak heran AS meluncurkan Operation Warp Speed untuk mengoordinasikan semua upaya vaksinnya untuk orang Amerika.

Ketika Welt Am Sonntag dari Jerman memberitakan bahwa Presiden Trump menawarkan $ 1 miliar untuk akses AS eksklusif ke penelitian vaksin di CureVac, sebuah perusahaan biofarma yang berlokasi di Tübingen, Jerman, maka pihak pemerintah Jerman marah. Jerman takut bahwa tawaran ini akan mengganggu keamanan dalam negeri. Berita ini akhirnya dibantah.

Atau seperti Pemerintah Inggris yang menjanjikan £ 84 juta untuk meningkatkan kerja di ChAdOx1 nCoV-19 Universitas Oxford dan vaksin RNA Imperial College London.

Oxford University menyetujui kesepakatan dengan AstraZeneca yang berbasis di Inggris di mana, jika vaksin berfungsi, Inggris mendapat akses pertama ke 30 juta dari 100 juta dosis yang diproduksi AstraZeneca.

Di Prancis, Presiden Macron dilaporkan marah dengan CEO Sanofi kelahiran Inggris, Paul Hudson, atas pernyataan di email menunjukkan bahwa pasar AS dapat diprioritaskan untuk vaksin perusahaan farmasi Prancis.

Di China, Presiden Xi Jin Ping mengatakan kepada elit penguasa negaranya pada bulan Februari untuk berbagi data yang relevan 'dengan kalangan ilmiah dan teknologi China'. Yang perlu diperhatikan: 'China'. Pada bulan Maret, media juru bicara Beijing, Global Times, melaporkan 'tidak ada cara bagi China untuk bergantung pada Eropa atau AS dalam pengembangan vaksin. Cina harus dengan sendirinya di bidang yang penting ini'.

Bagaimana dengan vaksin untuk pasien dan stok di negara negara berkembang atau miskin? 

Seperti yang dikatakan Rebecca Weintraub, direktur fakultas di proyek kesehatan global di Universitas Harvard, akan sama halnya dengan kasus H1N1 tahun 2009 pada akhirnya negara-negara kaya memborong dengan pesanan dimuka mengalahkan negara miskin.

Memang ada kemudian entitas yang memfasilitasi untuk negara miskin seperti:

1. Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI – The Global Alliance for Vaccines and Immunizations) didirikan pada tahun 2000 - dengan Melinda dan Bill Gates di antara pendukung pertamanya - untuk mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk vaksin untuk menjangkau negara-negara berkembang yang mmbutuhkan.

Ini dilakukan sebagian dengan mendorong produsen untuk menurunkan biaya vaksin untuk negara-negara termiskin.

Tapi tentu saja pembeli vaksin harus mengikuti aturan mereka termasuk di dalamnya kompensasi yang ditujukan untuk GAVI.

Juga dana yang dibutuhkan terlalu besar.

2. Koalisi untuk Kesiapsiagaan Epidemi Inovasi (CEPI – The Coalition for Epidemic Preparedness Innovations), kemitraan publik-swasta global, diluncurkan di Forum Ekonomi Dunia 2017 dengan tujuan mengembangkan vaksin untuk menghentikan epidemi di masa depan.

Lembaga nirlaba yang bermarkas di Norwegia sejak itu telah mengumpulkan US $ 690 juta dari pemerintah nasional. Kanada baru-baru ini menjanjikan $ 40 juta, tetapi masih jauh dari $ 2 miliar yang katanya dibutuhkan untuk menaklukkan Coronavirus.

Yang  perlu dicatat disini adalah bahwa perusahaan farmasi besar, tidak selalu tertarik untuk mendanai penelitian untuk sesuatu yang mungkin tidak menghasilkan pengembalian investasi.

Kesimpulan

Pada akhirnya dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa atas kepentingan nasionalisme, bisnis, ambisi geopolitik dan geoekonomi menjadi yang terdepan bercampur menjadi satu yang meminggirkan negara negara berkembang dan miskin.

Masihkah kita sebagai orang Indonesia berharap pada mereka? Bisa saja dengan pengorbanan yang tentu tidak uang semata tentunya. Lebih jauh tentu dengan kompensasi politik dan ekonomi yang dikehendaki oleh pemegang hak distribusi vaksin.

Maka itu aku cuma bisa nyengir ketika mengetahui pendanaan atas penelitian pengembangan vaksin coronavirus oleh negara via BPPT dengan taruhan Kedaulatan RI di bidang kesehatan yang harusnya dibela dengan serius dan diwujudkan dalam bentuk dukungan dana Triliunan Rupiah kepada para ilmuwan kesehatan Indonesia ini hanya dialokasikan kurang dari Rp 10 Miliar. Bercanda ya pak?

Sekian.

(By Adi Ketu)

Share Artikel: