RUNTUHNYA TRUST MEDIA MASSA MAINSTREAM OLEH PODCAST!
RUNTUHNYA TRUST MEDIA MASSA MAINSTREAM OLEH PODCAST!
Podcast Deddy Corbuzier selalu menarik dan terus didatangi pengunjung. Subscribernya sendiri sudah menyentuh angka 9,2 juta. Audiens channelnya selalu menunggu apa yang akan diunggah di tayangan berikutnya.
Wawancaranya dengan Siti Fadhilah Supari yang sangat blak-blakan membuka konspirasi corona dan bisnis vaksin dibaliknya bahkan viral. Mungkin sudah puluhan juta orang yang menontonnya. Bahkan bisa jadi jauh lebih banyak ditonton dan dipercaya daripada media-media mainstream yang mengangkat isu covid. Penonton-penonton media mainstream paling hanya ditonton sekitar 5 juta orang, paling mentok di angka 15 jutaan jika primetime.
Ada dua hal yang menarik di sini. Pertama, Deddy Corbuzier bisa menembus narasumber yang tidak dilirik atau tidak bisa ditembus oleh media massa konvensional. Kalau di jamannya pak Dahlan Iskan saat memimpin Jawa Pos dulu wartawan yang bisa menembus narasumber yang "langka" begini akan diacungi jempol habis-habisan. Sebaliknya, wartawan yang hanya bisa mewawancara narasumber yang sama dengan media lain akan dibego-begoin sampai malu. Karena hasil tulisannya juga akan sama dengan media lain. Karena itulah, wartawannya dituntut mencari narasumber yang wartawan lain yang tidak menengendusnya karena hasil tulisannya akan menjadi ekskkusif.
Kedua, viralnya podcast Deddy Corbuzier ini menunjukkan bahwa trust audiens sudah mengalami pergeseran. Ada semacam ketidakpercayaan terhadap media mainstream. Makanya audiens berpindah menonton ke channel media alternatif, yang dianggap lebih jujur, lebih independen, lebih objektif mengulas masalah.
Deddy Corbuzier memang bukan jurnalis. Tapi kepiawaiannya menembus narasumber sulit sudah melewati batas kepiawaian jurnalis senior. Seharusnya wawancara terhadap Siti Fadhilah ini sangat bisa dilakukan oleh wartawan media mainstream. Tapi kenapa tidak terjadi?
Pertama, bisa jadi karena banyaknya kepentingan yang menjadi pertimbangan pemilik media mainstream. Termasuk di dalamnya kepentingan kapital. Mereka menghindari mencari narasumber yang bersinggungan dengan kekuasaan yang dianggap akan membahayakan kepentingan bisnis medianya.
Kedua, bisa jadi karena kualitas SDM media sekarang memang "memprihatinkan". Kebanyakan adalah jurnalis manja yang nggak mau susah-susah mencari narasumber apalagi mau menginvestigasi sebuah berita. Akibatnya, mereka juga tidak kritis. Kalau melihat gaya wawancara wartawan-wartawan itu kadang kita merasa lucu. Sangat dangkal dan tidak memberi sinyal informasi penting apapun. Kadang kita merasa ikut bego juga ketika menyaksikan wartawan yang bisa-bisanya melontarkan pertanyaan yang konyol: bagaimana perasaan bapak setelah kematian almarhum? Atau apa ada isyarat atau mimpi tertentu sebelum kejadian ini terjadi? Dan pertanyaan konyol semacamnya.
Semestinya wartawan memang harus kritis. Bisa mengulik masalah hingga informasi yang terdalam. Hanya dengan begitu ia biaa menuliskan atau memberitakan sesuatu yang baru dan berharga buat audiensnya. Dan Deddy Corbuzier dalam konteks corona ini telah bisa melakukan tanggung jawab itu dengan baik, padahal dia bukan jurnalis, dan tidak dari media mainstream yang harus bekerja dengan standar kerja jurnalistik.
Awalnya saya menduga, tayangan Deddy Corbuzier ini akan ditakedown. Entah dihack atau atas pihak tertentu harus dihilangkan dari Youtube. Karena bagaimana pun materi wawancaranya sangat riskan, di samping di sisi lain ini cover bothside untuk mengimbangi pembeeitaan dari media-media mainstream yang lebih banyak menayangkan berita formal dan rutin.
Ternyata tidak. Tapi, bahwa ada kepanikan dari pemerintah tetap terbaca. Buktinya Dirjen Lapas bersuara, mempersoalkan tidak adanya ijin wawancara dari Deddy Corbuzier. Padahal, secara hirarki atau kerja jurnalistik ya tidak harus ada ijin. Dalam investigasi report, wartawan bisa melakukan banyak cara untuk menembus narasumber. Tanpa ijin siapapun. Toh Siti Fadhilah juga bukan pejabat yang harus minta ijin kepada atasannya untuk bicara. Ia bicara sebagai warga negara biasa, yang posisinya saat ini sedang jadi narapidana untuk kasus yang dia sendiri tidak mengerti. Alias dikorbankan oleh sebuah konspirasi.
Kasus seperti ini juga tidak hanya menimpa dia saja, banyak orang lain yang mengalami kejadian serupa. Masuk penjara bukan karena salah tapi karena kalah atau dijadikan korban. Bisa jadi Harun Masiku yang saat ini hilang tak tentu rimbanya juga karena pola seperti itu. Publik patut menduganya dan itu sah-sah saja. Bahwa ada kebenaran yang disembunyikan dibalik framing yang terus dijejalkan kepada audiens.
Tetapi, lepas dari semua itu adalah fenomena ini semakin memperkuat bahwa telah terjadi distrust pada media mainstream. Apalagi jika pemilik medianya adalah politisi. Semakin jatuh saja kepercayaan publik padanya. Selalu muncul kecurigaan kalau media itu dikendalikan oleh kepentingan, bukan semata-mata oleh standar kerja jurnalistik.
Dulu di jaman Orde Baru ada adagium, ketika jurnalistik dibungkam, sastra yang akan bicara. Nah di era milenium ini mungkin adagiumnya bisa serupa. Ketika jurnalistik dibungkam, Podcast yang bicara!
Salut buat Om Deddy Corbuzier! Teruslah bicara Kebenaran. Minal aidzin wal faizin. Mohon maaf lahir batin.
(By Among Kurnia Ebo)/fb