Sangat Terlambat, Pak Jokowi...
When the music’s over. Turn out the lights. Turn out the lights. Turn out the lights.
—The Doors 1967—
Musik sudah berakhir. Presiden Jokowi juga sudah memadamkan lampu. Para pembantunya di kabinet harusnya tahu. Itu isyarat tegas bahwa pesta sudah berakhir. Waktunya untuk kembali dalam kehidupan nyata.
Sayangnya mereka sepertinya tak menyadari. Seperti vocalis The Doors Jim Morrison yang mati muda karena overdosis, tampaknya banyak diantara pembantu Jokowi yang juga sedang fly. Overdosis kekuasaan. Mereka masih tenggelam dalam mabuk dan pesta kemenangan.
“Suasana dalam tiga bulan ke belakang ini dan ke depan mesti yang ada suasana krisis,” ujar Jokowi ketika membuka Rapat Parpurna Kabinet Kamis 18 Juni.
Rapat itu dihadiri Wapres Ma’ruf Amin, para menteri kabinet dan pemimpin lembaga-lembaga negara.
Tak seperti biasanya wajah Jokowi terlihat gundah dan lelah. Kalimat pembukanya to the point, tak ada basa-basi. Bernada retoris liris.
Sebuah pertanyaan emosional yang tak memerlukan jawaban, sekaligus menyiratkan keputus-asaan.
Mestinya kita semua yang hadir disini. Sebagai pimpinan. Sebagai penanggung jawab, lanjutnya. “Bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Tolong digaris bawahi!!. Dan perasaan itu sama. Tolong kita sama. Sense of cricis yang sama!”
Suara Jokowi meninggi ketika mengucapkan hal itu. Dia tak berusaha menyembunyikan kegeramannya.
Kegeraman yang setelah ditahan sekian lama, akhirnya dibagikan ke publik. Hal itu terlihat dari jeda waktu yang cukup lama antara pidatonya dan kemudian diupluod ke situs video berbagai Youtube.
Pidato Jokowi itu berlangsung pada hari Kamis (18/6). Sementara akun Youtube Sekretariat Presiden baru mengupluodnya pada Ahad sore (28/6). Ada jeda selama 10 hari.
Cukup lama kegeraman itu coba diendapkan. Akhirnya diledakkan juga ke publik.
Timing yang dipilih juga cukup menarik. Hari Ahad di kalangan wartawan dikenal sebagai hari sepi berita.
Waktu yang tepat untuk merilis dan meledakkan sebuah isu. Berita apapun akan dimakan media. Karena keesokan harinya adalah hari Senin. Setelah berlibur, warga butuh informasi. Media juga butuh berita yang nendang.
Psikologi media dan psikologi pembaca pemberita ini tampaknya sangat dipahami oleh tim komunikasi Presiden. Mereka ingin agar pesan dari puncak kekuasaan itu benar-benar sampai ke publik.
Menyimak pidato sepanjang 10 menit, 20 detik itu kita dapat menangkap suasana batin Jokowi. Dia sangat geram, jengkel, marah kepada para menterinya tidak punya sense of crisis, menganggap situasi normal dan biasa-biasa saja.
Jokowi dengan lugas menyatakan akan bertindak apapun yang diperlukan. Termasuk membubarkan lembaga dan mencopot mereka yang dinilainya tak becus bekerja. Tak punya perasaan dan pemahaman bahwa krisis tengah berlangsung.
Benar saja. Pidato Jokowi langsung meledak. Menjadi santapan media. Hanya dalam waktu 12 jam, video di akun Sekretariat Presiden sudah ditonton lebih dari 200 ribu orang.
Belum lagi yang menyebar di media-media online dan platform medsos. Beritanya menjadi trending, karena konten dan timingnya.
[Video]
Sangat terlambat
Upaya Jokowi membangunkan kesadaran para menteri dan pejabat tinggi itu, sesungguhnya sangat terlambat.
Seperti diakuinya, harusnya sense of crisis itu sudah muncul setidaknya sejak tiga bulan lalu. Sejak muncul pandemi Corona di Wuhan, Cina akhir tahun lalu. Atau setidaknya awal Maret ketika Jokowi mengumumkan kasus positiv Covid-19 pertama di Indonesia.
Kita tak perlu mengulang-ulang lagi lagi bagaimana reaksi para petinggi negara menyikapi bencana Corona. Menyepelekan, menganggap remeh. Mengerahkan buzzer untuk membungkam suara kritis, serta berbagai lakulajak dan lancung lainnya.
Sikap yang mengundang kecaman tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari komunitas internasional.
Dampaknya bisa kita rasakan saat ini. Darurat kesehatan yang berkepanjangan. Krisis ekonomi yang kian dalam. Dan yang lebih mengkhawatirkan, krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin meluas.
Jokowi bahkan mulai kehilangan dukungan dan kepercayaan di basis-basis pendukungnya. Beberapa seleb medsos yang selama ini dikenal sebagai pendukung dan buzzer pemerintah sudah menyuarakan ketidakpuasan dan perlawanannya.
Publik cenderung skeptis dan apatis terhadap para petinggi negara. Apapun kebijakan pemerintah hanya dianggap lucu-lucuan. Meme bertebaran membuat kita tersenyum kecut dan getir. Yang paling mutakhir adalah kebijakan Mendagri memberi hadiah lomba video new normal ke beberapa pemerintah daerah.
Kredibilitas Jokowi dipertaruhkan. Komunitas Internasional mempertanyakan keseriusan pemerintah. Jokowi menghadapi krisis kepercayaan dari dalam dan luar negeri.
Semua terjadi seperti kata Jokowi, karena para pembantunya “bekerja biasa-biasa saja.” Bersikap seakan “tidak ada apa-apa.”
Jokowi tampaknya mulai menyadari kabinet pesta. Kabinet bagi-bagi kekuasaan diantara para pendukungnya, tidak kompatibel dengan kabinet krisis.
Kini saatnya dia menilai, memilah siapa yang cocoknya hanya diajak berpesta, dan siapa yang bisa diajak menangani krisis.
Dia sudah menyadari tidak ada “perasaan yang sama” antara dia dengan para pembantunya. Kata itu bahkan sampai dia ulang sebanyak 4 (empat) kali.
Jokowi menyadari bahaya yang mengancam kekuasaannya akibat penanganan krisis biasa-biasa saja. Kata “berbahaya sekali,” juga diulangnya selama 4 (empat) kali sepanjang pidatonya.
Kekhawatiran Jokowi sangat bisa dimaklumi. Jika tak segera bertindak cepat, drastis, dan tegas masa depan politiknya jadi pertaruhannya.
Bagi Jokowi pesta kemenangan periode kedua sudah berakhir dengan cepat. Namun para penggila pesta, tampaknya sudah mencari dan menyiapkan pesta lainnya.
Melalui lembaga survei, mereka sudah mulai mengelus-elus pengganti Jokowi, justru ketika Jokowi harus berjibaku berjuang menghadapi pandemi.
Jika tak waspada dan berhati-hati, pemerintahan Jokowi bisa mati muda (dying young) seperti nasib vocalis The Doors Jim Morrison.
Dia mati muda di tengah puncak karirnya. Ditemukan mati di kamar mandi di sebuah paratemen di Paris dalam usia 27 tahun. Diduga overdosis.
Kekuasaan seperti juga narkoba, sangat memabukkan. Jika lupa diri. Menggunakan secara berlebihan dan tak bertanggung jawab, bakal mati overdosis juga. end.
(Oleh Hersubeno Arief)