8 Pesan Simbolis Politik Turki Erdogan dari Hagia Sophia
[PORTAL-ISLAM] ISTANBUL – Keputusan mengkonversi Hagia Sophia dari museum ke masjid itu setidaknya diklaim sebagai kemenangan moral dan politik mayoritas penduduk Turki.
Dilansir di Arabic Post, Selasa (28/7/2020), setidaknya, terdapat delapan pesan simbolis bernuansa politik penting yang ingin disampaikan Ankara lewat konversi Hagia Sophia menjadi masjid.
Pertama, soal pidato Erdogan tentang kembalinya Hagia Sophia sebagai masjid. Pada 10 Juli 2020, Mahkamah Agung Administratif Turki mengumumkan keputusannya untuk mengubah status Hagia Sophia.
Meskipun keputusan Mahkamah Agung Administrasi datang pada siang hari, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memilih untuk menunda pidatonya di televisi hingga pukul 20:53 waktu setempat.
Khususnya, hal itu merupakan tanda simbolis yang menandakan tahun 2053 sebagai peringatan 600 tahun penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmet.
Kedua, memilih tanggal 24 Juli sebagai hari pembukaan kembali Hagia Sophia sebagai masjid. Walaupun putusan Mahkamah Agung Adinistratif dikeluarkan pada 10 Juli 2020, Erdogan menetapkan 24 Juli sebagai tanggal resmi perubahan status Hagia Sophia dengan menggelar shalat perdana, yakni shalat Jum'at setelah 86 tahun penantian.
Lalu mengapa harus 24 Juli? Pilihan tanggal ini adalah simbolik. Orang Turki mencatat 24 Juli sebagai hari Perjanjian Laussane.
Pada tanggal 24 Juli 1923, di Lausanne, Swiss, Turki harus menandatangani “perjanjian kekalahan” dengan Sekutu. Perjanjian tersebut secara resmi menyudahi perang yang terjadi antara Kesultanan Ottoman dengan Sekutu sejak permulaan Perang Dunia I, yang sekaligus membuat Ottoman harus menyerahkan sebagian besar wilayah kekuasaannya kepada Inggris dan Italia.
Jadi, dengan memilih 24 Juli sebagai tanggal pertama dibukanya kembali Hagia Sophia sebagai masjid, Turki seperti hendak berbicara kepada dunia Barat: kami yang sekira seratus tahun lalu kalah, kini tengah berusaha menegakkan punggung kembali.
Ketiga, warna karpet yang digunakan Masjid Hagia Sophia. Tugas membuat karpet yang digunakan di Masjid Hagia Sophia dipercayakan ke laboratorium bersejarah di pinggiran Demerji, negara bagian Manisa di Turki Barat.
Ketua Dewan Manajemen Masjid, Reza Ozkol mengatakan, ketika mengusulkan pilihan warna karpet yang sesuai, terdapat tiga warna yang disarankan. Yaitu bordeaux, cherry, dan turquoise. “Namun kami membuat warna pirus (turquoise/toska) atas permintaan Presiden Erdogan,” kata Ozkol.
Mengapa Erdogan memilih warna pirus secara khusus? Sebab, pirus merupakan warna yang melambangkan simbolisme historis bagi orang Turki. Dinasti Ottoman menggunakan warna ini di banyak masjid dan bangunan tua mereka, sehingga warna pirus menjadi terkait dengan mereka.
Keempat, tanggal lahir akun Twitter Hagia Sophia. Tanggal lahir akun Twitter Masjid Hagia Sophia 29 Mei. Tanggal ini bertepatan dengan hari Sultan Mehmet II dengan pasukannya ketika memasuki Konstantinopel dan melakukan penaklukan. Meraih gereja Hagia Sophia dan mengubahnya menjadi masjid.
Pada Selasa, 29 Mei 1453, umat Islam menutupi simbol-simbol Kristen di gereja itu setelah mengubahnya menjadi masjid. Dan mereka melakukan shalat di dalamnya bersama kesultanan Ottoman untuk pertama kalinya.
Kelima, bahasa Arab Ottoman bertengger di atas lukisan Masjid Hagia Sophia. Meskipun Turki telah meninggalkan penggunaan huruf Arab sejak 1932, namun Pemerintah Turki saat ini memilih menulis nama Hagia Sophia Kabir Syarif dalam huruf Arab yang digunakan Ottoman sebelum pembentukan Republik Turki.
Sebagaimana diketahui, penggunaan bahasa Ottoman yang ditulis dalam huruf Arab adalah hal yang normal dalam lukisan lama masjid bersejarah di Turki. Namun demikian penerapannya dalam lukisan masjid baru dan penyajiannya pada bahasa Turki saat ini memiliki signifikansi politik menurut beberapa pengamat.
Penggunaan huruf-hururf Arab dianggap sebagai langkah simbolis untuk menekankan rekonsiliasi dengan sejarah Turki Utsmani.
Keenam, Erdogan menerbitkan sebuah lagu dalam sembilan bahasa yang digunakan berbagai umat Islam. Beberapa jam sebelum sholat perdana dilakukan di Hagia Sophia, Erdogan melalui akun Twitter resminya menerbitkan nyanyian Aya Sofya rekonstruksi sejarah dari museum ke masjid.
Lagu itu dibawakan oleh 12 penyanyi dalam sembilan bahasa yang diucapkan oleh orang-orang Islam. Antara lain bahasa Arab, Turki, Kirgistan, Bosnia, Albania, Azerbaijan, Kurdi, Bengali, dan Swahili.
Produksi lagu dalam sembilan bahasa yang berbeda dianggap sebagai indikasi bahwa Hagia Sophia merupakan masjid simbolis yang menjadi perhatian umat Islam, bukan Turki semata. Ini sekaligus pesan politik kepada negara-negara Muslim.
Ketujuh, khatib Jumat Ali Arbash naik ke mimbar dengan membawa pedang. Dalam kebiasaan Ottoman, pedang yang dibawa oleh imam dengan tangan kanan dimaksudkan untuk mengintimidasi musuh. Tentu saja, penggunaan pedang oleh Arbash pada kesempatan itu juga membawa pesan-pesan politik yang menggarisbawahi kekuatan Turki.Ayasofya... Rüzgârlar essin kubbende hürriyetin. Ta ezelden sen bizimsin, biz de senin... pic.twitter.com/DkBdP89hwZ— Recep Tayyip Erdoğan (@RTErdogan) July 22, 2020
Kedelapan, sebuah lagu '15 Juli' dimulai di depan masjid. Untuk merayakan ulang tahun keempat kegagalan percobaan kudeta terhadap Presiden Erdogan, Kepala Departemen Komunikasi Kepresidenan Turki Fakhruddin Al-Tun menerbitkan sebuah lagu tentang piala-piala yang ditulis orang Turki pada 15 Juli 2016.
Lagu tersebut juga pernah dinyanyikan oleh orkestra militer Ottoman yang dikenal sebagai ‘Muhtar’. Lagu itu menunjukkan secara khusus untuk Hagia Sophia tentang betapa pentingnya bangunan tersebut yang merupakan simbol nasional bangsa. []