Ketajaman Matahati Sultan Muhammad Al-Fatih Yang Mampu Menembus Batas


Ketajaman Matahati Sultan Muhammad Al-Fatih Yang Mampu Menembus Batas

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
(Khadim Ma'had Wakaf Syaraful Haramain)

Peristiwa pengalihan Ayasofya dari musium menjadi masjid kemarin, Jum'at, 10 Juli 2020 memang menghentak dunia. Bukan saja negara-negara Eropa, Rusia, Amerika, tetapi juga dunia Islam.

Karena di balik pengembalian fungsi Ayasofya dari musium menjadi masjid itu ada peristiwa bersejarah, yang membuktikan kebenaran bisyarah Nabi, 825 tahun sebelumnya.

Tidak hanya itu, di sana juga ada peristiwa yang kemudian menjadi momok bagi negara-negara Kristen Eropa, karena pusat Kerajaan Romawi Timur, Bizantium, dengan Hagia Sophianya itu jatuh ke tangan Sultan Muhammad al-Fatih, yang nota bene umurnya belum genap 22 tahun. Siapa yang tidak ngeri? Ini yang dikenal sebagai Musykilah Syarqiyyah (masalah dari Timur/Islam), yang membuat mereka bangun.

Iya, di balik peristiwa ini memang ada memori yang tak kan terlupakan, baik bagi kaum Muslim maupun non Muslim. Tetapi, yang menarik adalah ketajaman pandangan matahati Sultan Muhammad al-Fatih yang masih muda itu.

Bagaimana tidak? Sebagai penakluk, Muhammad al-Fatih bisa merampas semua kepemilikan orang-orang Kristen, baik atas nama ghanimah, fai' maupun anfal. Tetapi, Muhammad al-Fatih tidak melakulannya. Ketika beliau memasuki Konstantinople, dan masuk ke Hagia Sophia, justru beliau umumkan jaminan keamanan kepada para penduduknya.

Hagia Sophia pun tidak diambil, apalagi dirampas dengan semena-mena, sebelum akhirnya dijadikan masjid, tetapi dibeli dengan uang pribadinya. Bukan dari dana negara, Baitul Mal, atau kekayaan kaum Muslim. Tapi, benar-benar dari kantongnya sendiri. Setelah itu, Hagia Sophia dijadikan Masjid, dan diwakafkan hingga Hari Kiamat untuk umat Islam.

Inilah kebijakan Sultan Muhammad al-Fatih, yang luar biasa. Kebijakan yang lahir dari ketakwaan, dan sikap wara', jauh dari arogansi dan kezaliman. Subhanallah.

Maka, kesalahan Kemal la'anatullah alaih, adalah mengubah Masjid Wakaf ini menjadi musium pada tahun 1934. Sejak saat itu, Ayasofya yang merupakan wakaf berubah statusnya. Inilah dosa Kemal, setelah Revolusi Kufurnya, dengan meruntuhkan Khilafah, diganti dengan Republik.

Karena itu, apa yang dilakukan Erdogan, dengan kekuasaannya sebenarnya hanya membatalkan keputusan Attaturk yang batil itu, dan mengembalikan status Masjid Wakaf kepada status yang semestinya.

Maka, siapa pun, termasuk kaum Kristen tidak mempunyai hak untuk keberatan, apalagi protes, karena hak mereka atas gereja sudah dibeli oleh Sultan Muhammad al-Fatih kala itu.

Keputusan Muhammad al-Fatih membeli Hagia Sophia adalah keputusan yang brilian, yang akhirnya membungkam suara penentangnya ratusan tahun kemudian. Kebijakan yang lahir dari kejernihan hati dan pikiran, serta ketajaman bashirah (matahati) yang luar biasa.

Karena bashirahnya pula, Muhammad al-Fatih telah melayakkan dirinya menjadi penakluk dan mewujudkan bisyarah Nabi yang selama 825 belum berhasil diwujudkan.

Maka, terwujudnya bisyarah kedua, juga membutuhkan bashirah, sebagaimana bashirah Muhammad al-Fatih. Persis seperti ungkapan hikmah:

من تبصر تصبر

"Siapa yang bisa melihat masa depan (dengan ketajaman matahatinya), maka dia pasti bisa bersabar."

Begitulah Muhammad al-Fatih melatih dan mengasah bashirahnya, dan begitulah kita seharusnya.[]

Share Artikel: