Koh Hanny Tak Mau Disebut Ustadz


Koh Hanny Mengaku Bukan Ustadz

Malam itu sebenarnya badan begitu remuk. Kurang rehat dan tidur pun tak cukup. Tapi alhamdulilah, tak kurang makan. Sebab di mana-mana disuruh makan.

Namun, sayu mata tak bisa disembunyikan. “Sampean kelihatan capek banget gitu,” kata seorang teman.

“Halah biasa aja, paling karena kurang jalan-jalan saja ini.” saya mengelak. Padahal kelihatan capek justru karena banyak jalan-jalan.

Pertemuan di hotel Radho, untuk membicarakan beberapa agenda dakwah. Pembicaraan gayeng. Terlebih kepulan kopi dan irisan kentang goreng, menjadi selingan kata yang tidak menjemukan.

Di tengah-tengah pertemuan muncul satu rombongan. Seorang di antaranya adalah Koh Hanny Kristianto.

Sebenarnya mereka bukanlah peserta dalam pertemuan tersebut. Tapi karena sudah terlanjur datang, dan kami pun sekedar berbincang santai, maka kami mengajak Koh Hanny untuk bergabung.

Mengalirlah berbagai cerita. Tentu setelah masing-masing memperkenalkan diri. Saya sendiri sebelumnya tak mengenal Koh Hanny secara pribadi. Selama ini saya hanya menyaksikan beliau di media.

Agak intens saya menyimak Koh Hanny saat beliau mendampingi Zakir Naik ke Indonedia Tahun 2017 yang lalu.

Mualaf Center Indonesia adalah lembaga yang beliau pimpin, merupakan lembaga dakwah dan kemanusiaan yang fokus memberikan pendampingan pada para mualaf.

Menurut seorang aktivisnya, Ipung Atria, kalau yang mualaf itu laki-laki biasanya sekedar diberikan pendampingan pada mereka bagaimana memahami Islam. Agar terus teguh menggenggam keyakinan barunya.

“Tapi kalau mualaf perempuan, biasanya juga akan kita dampingi secara finansial dan kita beri pembinaan secara berkesinambungan,” kata Mas Ipung.

Berbincang dengan Koh Hanny sungguh menarik. Hampir semua penggiat dakwah, beliau kenal. Para habaib, para kiai dan asatidz beliau kenal dengan baik.

“Sebagai seorang muallaf, saya harus banyak silaturrahim,” katanya.

Benar saja, sejauh yang saya telusuri, Koh Hanny bukan sekedar silaturrahim. Tapi lebih dari itu beliau juga belajar Islam pada tokoh-tokoh yang ditemuinya tersebut.

“Sebenarnya saya ini sudah bukan mualllaf, Mas Abrar,” kata Koh Hanny, “sebab saya sudah tujuh tahun memeluk Islam.”

Selama tujuh tahun itu Koh Hanny mengaku sungguh-sungguh belajar. “Apalagi aktivis dakwah seperti saya ini, memang harus banyak belajar,” katanya.

Tak heran kalau Koh Hanny setelah keislamannya serius belajar. Sebab ketika dulu masih Kristen beliau juga adalah seorang penginjil yang pembelajar.

Nah, ketekunan belajar tersebutlah yang justru mengantarkan Koh Hanny kepada Islam. “Jadi saya ini masuk Islam murni karena belajar.”

Maksud Koh Hanny, masuk Islam bukan karena pengaruh teman, bukan karena ingin menikahi muslimah dan apalagi karena mimpi-mimpi magis seperti pengakuan beberapa muallaf.

Tapi yang menarik pada seorang Hanny Kristianto, walau ia telah lama memeluk Islam, banyak belajar dan sudah berdakwah kemana-mana, ia tidak mau dipanggil ustadz.

“Saya tidak ingin sebutan ustadz itu menjadi murah. Sekedar bisa ceramah dan berpenampilan islami, sudah dipanggil ustadz!” protesnya.

Menurut Koh Hanny, yang layak dipanggil ustadz itu adalah yang memang sudah lama belajar. Seperti lulusan pondok pesantren atau sekolah dan perguruan keagamaan lainnya.

Jadi yang benar-benar fokus belajar ilmu agama (Islam) dari kecil hingga dewasa, merekalah yang layak menyandang gelar ustadz.

Ustadz Abrar Rifai
(Ponpes Babul Khairat Malang)

Share Artikel: