Dunia influencer, drama sensasi, heboh, settingan, pencitraan
Dunia influencer
Pemain bola, mentereng dgn level permainannya di lapangan. Pengusaha, terkenal dengan kesuksesan nyata, perusahaannya banyak, real, nyata. Dokter, terkenal dengan prestasi menyembuhkan pasiennya. Pekerja kreatif, terkenal dengan karya2nya yang dinikmati banyak orang. Dsbgnya, dstnya.
Ini logika sederhana sekali.
Tapi apa yang terjadi saat seseorang tidak punya prestasi tapi pengin terkenal, dianggap hebat?
Mulailah drama sensasi, heboh, settingan, dan segala hal yang tidak ada hubungannya dengan karya, kualitas, apalagi nilai tambah. Nol, alias zong saja. Yang penting rame. Dan orang lain menganggapnya berprestasi. Padahal kalau dilihat lagi, ada karyanya? Nggak ada.
Kalau ini dilakukan oleh orang, silahkan saja, maklumin sajalah. Namanya dunia akhir jaman. Toh, minimal dia tidak pakai uang orang lain. Bebas saja.
Tapi masalahnya, duuh, Gusti, metode ini juga dilakukan oleh orang2 di lembaga yang jelas2 dibiayai oleh rakyat banyak. Karena pengin dianggap sukses, berhasil, berprestasi, pejabat lembaga ini meniru gaya settingan tsb. Dengan cara apa? Membayar 'influencer'. Mulailah mereka membuat settingan seolah berprestasi sekali.
Dulu, saat internet belum ada, orang2 ini nebeng di baliho, spanduk yang dipajang di pinggir jalan. Ada sosialisasi KB, eh wajah dia nongol. Ada sosialisasi Repelita, eh wajah dia nongol. Juga di selebaran, paket2 sembako, nyelip wajahnya di sana. Padahal duit dia juga bukan, itu pakai duit rakyat. Sekarang sih masih, lihatlah, banyak dimana2. Kasihan lihatnya, dia mungkin takut orang2 lupa siapa pejabat, bupati, walikota atau menteri, gubernur. Maklum sih, karena zong prestasi, rakyat memang sering lupa sama pejabatnya.
Saat dunia internet datang, media sosial ada, trik ini mengalami modifikasi. Membayar 'influencer' untuk jadi corong betapa sukses dan berprestasinya kinerja mereka. Nggak usah pura2 bodo lah, di twitter gampang lihat kerja orang2 ini. Juga di media sosial lainnya. Belum lagi berita2 yang dikasih tanda 'adv' atau 'iklan'.
Separuh mau ketawa lihatnya, separuh sungguh sedih. Ya amplop, mereka lupa jika cara terbaik mengumumkan prestasi kita itu lewat: prestasi itu sendiri. Bekerja sebaik mungkin. Bekerja profesional, sungguh2, lantas hasil nyata-nya muncul. Tidak perlu bayar siapapun, rakyat akan bersorak memujinya. Sayangnya, cara berpikir orang2 ini terbalik.
Maka itulah yang terjadi. Mereka bersorak lewat influencer seolah semua hebat, brilian, saat situasi sedang buruk sekali. Ada lembaga yang bersorak lewat influencer seolah aparat penegak hukum sedang top banget prestasinya, tapi kenyataannya bumi langit. Ada yg bersorak di internet semua lancar, semua hepi, tapi kenyataannya orang banyak sedang kesal. Dsbgnya, dstnya. Dan sorakan itu semua bayar. Puluhan milyar.
Uang siapa? Rakyat.
Adik2 sekalian, jika besok lusa kalian jadi pejabat, semoga kalian tidak begini. Percayalah, cara terbaik agar kita itu dianggap sukses, berprestasi, adalah dengan prestasi itu sendiri. Cara terbaik mensosialisasikan sesuatu, adalah dengan teladan dari kalian.
Dan itupun tidak menjamin semua orang akan mengakuinya, tetap akan ada yang tidak suka. Apalagi saat kalian sudah tak berprestasi, eh sibuk pencitraan segala, sibuk memastikan anak, mantu, cucu, keluarga kalian jadi pejabat, lebih banyak lagi yang tidak suka. Tapi nasib memang, negeri ini masih butuh waktu panjang mendidik literasi politik rakyatnya. Agar tidak termakan strategu 'influencer'.
Semoga generasi kalian mau merubah banyak hal. Sungguh kita tidak perlu membayar agar orang lain bersorak utk kita. Dan kita juga tidak perlu membayar orang lain untuk menangis di proses pemakaman. Kasihan memang. Bahkan untuk terlihat banyak yg sedih, banyak yg peduli, juru tangis pun harus dibayar.
By Tere Liye [fb]