Menghapus Syarat Pencalonan
Menghapus Syarat Pencalonan
Di paragraf terakhir tulisan Jusuf Kalla, "Dinasti Politik" (Media Indonesia, 26/08/20), jelas-jelas mengusulkan agar syarat pencalonan di setiap levelnya, baik Pilkada kabupaten/kota/provinsi, maupun Pilpres, untuk segera diturunkan dari 20% menjadi 10%. Ini berguna tidak saja untuk menjaring lebih banyak putra-putri terbaik di negeri ini, tapi juga mengantisipasi adanya gejala politik dinasti yang semakin merebak.
(Tulisan JK di Media Indonesia selengkapnya bisa dibaca https://mediaindonesia.com/read/detail/339393-dinasti-politik)
Dengan mudahnya syarat pencalonan, maka putra-putri terbaik di negeri ini juga akan lebih mudah muncul. Sebaliknya, jika sulit, maka sulit juga putra-putri terbaik itu untuk muncul. Yang akan muncul tentu saja mereka yang memiliki akses politik sekaligus juga modal besar untuk diusung dan juga memenangkan kontestasi. Maka politik dinasti itu akan lebih sulit walau tak tertutup. Ini juga hak tiap warga.
Memang, khusus untuk pilkada, ada pintu jalur perseorangan. Tapi, balik lagi, syaratnya juga tak mudah. Banyak yang mau, tapi banyak juga yang gagal, apalagi memenangkan kontestasi? Roh dari Undang-undang itu dibuat memang sengaja untuk mempersulit, bukan sebaliknya. Malah untuk Pilpres, ditutup mati. Tak ada jalan buat jalur perseorangan. Semua harus lewat parpol. Dan syaratnya juga besar, yakni 20%.
Jadi, buat apa jalur perseorangan kalau tetap sulit? Lebih baik seperti awal saja. Tetap lewat jalur parpol, tapi syarat pencalonannya dipermudah. 15% cukup. Apalagi Jusuf Kalla mengusulkan 10%. Itu lebih bagus lagi. Bahkan, banyak suara dari masyarakat seperti diwakili pendapat Refly Harun dan Rocky Gerung, agar syarat pencalonan itu dihapuskan saja. Setiap parpol berhak mencalonkan capres-cawapres.
Agak aneh juga atau amat sangat disayangkan, kenapa suara Jusuf Kalla ini baru mengapung sekarang? Kenapa tidak pada saat beliau duduk di pemerintahan dengan posisi yang teramat mentereng? Karena bisa jauh lebih mudah utak-atik peraturan ketimbang suara yang diusulkan sekarang. "Habis cakak silek takana." Kata pepatah Minang. Banyak dari kita yang baru mengetahui kebenaran itu setelah tak punya apa-apa. Tapi, jadi jugalah, daripada tidak sama sekali.
(Oleh: Erizal)