START-UP PARTY
[Bincang Anis Matta]
START-UP PARTY
Sembilan dari sepuluh start-up, mati di tahun pertama!
Tiga tahun lalu, saat jelang Pilpres, saya pernah usul agar beliau (Anis Matta) lebih serius garap personal brandingnya. Minimal, bikin kanal podcast dan konten video pendek untuk menyampaikan gagasan-gagasanya yang menarik agar bisa disebar via sosial media.
Saat itu, yang bikin podcast dan konten video pendek masih sedikit sekali. Bossman Mardigu dan Deddy Corbuzier saja mungkin belum kepikiran.
Seandainya mau, saat itu beliau akan jadi trendsetternya.
Sayang, dalam perjalananya hingga hari ini, beliau masih landai-landai saja.
Sebagai konsultan branding partikelir, saya sempat berprasangka, kalau beliau ini tak begitu serius dengan cita-cita dan start-up yang lagi dibuatnya (Partai Gelora).
——
Ceritanya, kemarin pas kebetulan ada agenda di Jakarta, saya diajak mampir ke rumahnya.
Alhamdulillah bisa ikut ngobrol dan mendengarkan pandangannya tentang persoalan bangsa, geopolitik dunia, hingga urusan harta-tahta-dan wanita.
Semua dibeber tanpa jaim dan apa adanya 🙊.
Termasuk yang paling menarik tentang pendapatnya bagaimana start-up bisa survive, eksis, tumbuh membesar dan tahan lama.
Sedikit yang sempat saya catat, antara lain:
1. Jangan terburu-buru terlihat besar sebelum siap dengan segala konsekuensinya.
Saat popularitas beliau mencapai 54%, saat itulah beliau memutuskan untuk retreat dan menghilang dulu. Sebab, sudah satu dari dua penduduk Indonesia mengenalnya.
Mengapa demikian? Beliau merasa, daya dukung dan infrastrukturnya belum siap.
Disini, satu pertanyaan saya mulai terjawab.
Beliau menyampaikan, yang terlalu cepat muncul, biasanya cepat mati.
Start-up memang harus lincah dan cepat, tapi juga harus cermat dan sabar.
Musti disiapkan dulu segala sesuatunya agar siap menghadapi tantangan dan persaingan. Agar lebih kuat dan tak gampang dibabat.
Sebab, dalam pertandingan sesungguhnya, saat kita sudah terlanjur dipetakan sebagai pemain, maka “no point to return”. Tak ada lagi jalan kembali. Satu-satunya jalan ya harus terus membesar dan akhirnya menang.
Karena itulah, meski banyak 'investor' yang datang, beliau sangat berhati-hati memilihnya. Ada visi, cita-cita, value dan hal prinsip yang harus didiskusikan.
Tak bisa asal terima, jika tak ingin nasibnya bakal seperti start-up lainya yang mudah tergadai dan tidak merdeka karena semua disetir oleh investor yang merasa menjadi 'share holder' utamanya.
Meski konsekuensi dari itu, semua harus diajak puasa lebih lama dan bertumbuh dengan modal apa adanya.🙈
2. Memaafkan dan belajar dari kesalahan (Humanis)
Beliau bersyukur, bisa berkesempatan belajar banyak dari masa lalu, termasuk yang terpenting adalah belajar dari kesalahan.
Pada faktanya, banyak keberhasilan besar yang bermula dari kesalahan-kesalahan. Untuk itu, beliau berpesan agar selalu ada ruang untuk memaafkan kesalahan. Karena kita semua masih manusia.
Yang terpenting dan harus dijaga adalah niat kita bener. Jika niatnya bener, kita tidak mudah baper dan insya Allah Tuhan juga akan kasih jalan yang bener.
3. Mau berubah (Agility)
Sebenarnya, peluang untuk mengambil alih yang lama, sempat terbuka. Tapi, beliau tak memilihnya.
Bukan tak mampu, setelah dipertimbangkan dengan matang, untuk tujuan jangka panjang dan proyeksi yang lebih besar, memang secara tata kelola, kultur, value, dan beban sejarah, yang lama sudah kurang kompatibel untuk di scale-up jadi besar.
Karena itulah, tak sedikitpun ada penyelasan saat beliau memutuskan untuk set-up baru lagi.
Dan untuk itu, beliau sadar konsekuensinya banyak sekali perubahan yang harus dilakukan. Dan sekarang sedang banyak dimulai perubahan itu dari dalam. Perubahan mindset, paradigma, visi, strategi, cara, dlsb.
Disinilah beliau selalu menekankan tentang pentingnya sikap terbuka (open mind), apa adanya, kreatifitas, determinasi, dan kolaborasi.
Trial and eror kadang bisa dimaklumi. Yang penting, terus belajar dan jangan pernah berhenti.
Beliau menyampaikan bahwa tantangan start-up tahap pertama ini sudah terlewati. Dan kita lihat saja, apakah akan bisa lolos tantangan 4 tahun berikutnya? Jika bisa, mungkin akan jadi rockstar baru. Dan jika masih bisa bertahan dan growth selama sepuluh tahun berikutnya, bukan tidak mungkin akan jadi unicorn party berikutnya.
——
Semakin malam, pembicaraan semakin hot saja.Banyak insight menarik tentunya. Tapi, yang paling menarik dan masih terngiang hingga sekarang bagi saya justru bukan materi ceramahnya, tapi resonansi rasa dari yang hadir pada malam itu.
Saya ingin ikut merasakan, sebenarnya apa sih yang membuat beliau-beliau ini koq mau-maunya ikut bergabung dan memilih resiko membangun sebuah start-up dari awal yang sama sekali belum jelas masa depanya.
Padahal, jika hendak pragmatis dan cari aman, tentu saja bertahan di yang lama jauh lebih menarik dan nyaman.
Lha wong pas pada curhat, jelas semua mengeluh mengalami kesulitan, terutama soal pendanaan.
Tapi anehnya, di akhir pertemuan, semua sudah full lagi batereinya dan tersenyum bahagia.
Saat pamit pulang, tak ada lagi gurat kekhawatiran, kesedihan, apalagi penyesalan.
Laa khoufun alaihim wa laa hum yahzanuun.
——-
Beberapa hari kemudian, sepertinya saya baru nemu jawabanya.
Bahwa enggagement terbesar yang menjadi anchor utama komunikasi malam itu, sebenarnya bukan banyaknya insight yang menarik, narasi yang sophisticated, gagasan yang logic, runtut dan sistematis, guyonan yang kadang saru, atau agenda dan kepentingan yang sama.
Saya mencatat hampir semua gagasan, konsep, narasi, dan visi yang disampaikan beliau malam itu, closingnya selalu sama.
Yah, selalu sama kesitu arahnya.
Bahwasanya, semua yang kita lakukan ini sebenarnya hanya sarana pengabdian untuk kita bisa memberikan persembahan terbaik kepadaNya dan kepada sesama.
Nah.. ternyata inilah kunci yang menambatkan hati dan menjadi sumber energi malam itu. Dan beliau hanya transmitternya saja.
Transmitter energi yang sepertinya juga akan sangat menentukan apakah start-up ini akan bertahan atau tumbang ditengah jalan.
Kita lihat saja...
Jogja, 04/09/20
(By Widya Supena, konsultan branding)