Charlie Hebdo: Media Pemicu Ekstrimisme
Charlie Hebdo: Media Pemicu Ekstrimisme
Saat penyerangan di Paris dahulu, banyak netizen "muslim" mengganti profile picture dengan bendera Perancis atau semisalnya, menyatakan solidaritas, bahkan belasungkawa. Begitu pun peristiwa penembakkan terkait kartun Charlie Hebdo. Netizen lokal dan interlokal menunjukkan simpatinya.
Saat penembakkan Christchurch, semua diam, termasuk netizen Indonesia yang dahulu bangga memasang bendera Perancis. Bukan saja hypocrisy netizen lokal, the whole world was in an absolute silence saat Christchurch, kontras dengan peristiwa penembakkan Charlie Hebdo.
Mungkin salah satu dari sedikit negara barat yang mengecam penembakkan 50 muslim di Christchurch adalah Jerman, saat itu Angela Merkel menyatakan bahwa serangan itu adalah aksi terorisme nyata dan bentuk kebencian rasisme. Lalu Perancis? Diam.
Macron "memaksa" muslim untuk toleran terhadap ideologi yang berseberangan dengan Islam, namun ia tidak toleran terhadap muslim dengan memprovokoasi dengan mensponsori poster Nabi Muhammad di sebuah gedung yang dijaga ketat oleh aparat. Macron tidak belajar dari Christchurch.
Beberapa waktu silam, seorang netizen di Perancis diperkarakan karena menampilkan slogan "Je suit Charlie Coulibaly" di saat orang-orang ramai meneriakkan "Je suit Charlie (Saya adalah Charlie)". Sebab, Coulibaly sendiri merupakan pelaku penembakan, dan aksi netizen tersebut melanggar "community standard" di Perancis.
Kebebasan berbicara memang sakral bagi Perancis, sebagaimana Fir'aun sakral bagi rakyatnya. Di lain sisi, Nabi Muhammad adalah sakral bagi muslim. Apabila kebebasan mengkritik terhadap nilai yang dianggap sakral oleh orang lain, maka tentu orang lain itu harus menerima kritik terhadap apa yang dianggap sakral olehnya. But this is not the case in France.
Misal, mengkritik Ho*lo*cau*st merupakan sebuah tindakan yang dikenai pidana di Perancis, sementara "Je suit Charlie Coulibaly" dinilai menyalahi "freedom of speech".
Sementara itu, anak-anak muslim "dipaksa" memakan daging babi di sekolah atau menggambar kartun Nabi mereka sebagai bukti mereka adalah warga Perancis sesungguhnya (being a true French citizen) sebagaimana dikutip dari artikel milik Merve Sebnem Oruc, Dailysabah (23 Okt 2020). Di lain sisi, dua muslimah ditusuk di area sekitaran Eiffel Tower bulan ini. Si pelaku menusuk keduanya sembari meneriakkan "dirty Arabs!".
Charlie Hebdo hakikatnya memberi jalan kepada ekstrimisme baru, semua orang sadar akan lingkaran setan ini jika standar ganda kebebesan berbicara dibingkai sebagaimana Macron membingkainya.
Di Perancis, kebencian terhadap Islam melahirkan sekitar 1000 kasus islamofobia sepanjang 2019, dan 70 kasus di antaranya melibatkan kekerasan fisik terhadap muslim.
Dalam hal ini, Perancis lebih bejat dari AS. David Brooks dalam artikelnya di New York Post 2015 silam mengatakan jika kartun Hebdo ditayangkan di area kampus di AS, ia tidak akan bertahan selama 30 detik, dan pelaku langsung dipecat, yang bersangkutan dikenai sanksi adminstratif dan bantuan finansial dicabut.
Akhirnya, jika tidak setuju, utarakanlah dengan rasa hormat dengan baik dan elegan, bukan dengan hinaan dan provokasi, apalagi dibungkus dengan kemasan humor selera rendahan seperti stand up commedian yang mengolok simbol agama. Kita tidak dituntut menyukai seseorang, tetapi kita harus menghormati orang tersebut sesuai porsinya.
Macron beberapa waktu lalu berkata: "Islam is a religion that is in crisis all over the world today, we are not just seeing this in our country." - [Islam adalah agama yang tengah mengalami krisis di seluruh penjuru dunia, kita tidak saja menyaksikannya di negara kita.]
Namun Macron telah memulai sesuatu yang ia tidak akan sanggup menanggungnya, bagi karirnya, bagi Perancis, dan bagi Akhirat-nya.
Siapa saja yang menghina Rasulullah, ia tidak akan beruntung selamanya!
(Wisnu Tanggap Prabowo)