KHABIB MEMANG BEDA
KHABIB MEMANG BEDA
Gak sia-sia menunggu laga Khabib Nurmagomedov vs Justin Gaetjhe sampai dinihari jam 04.00. Pertarungan terbaik "The Eagle", sekaligus ucapan perpisahannya dengan octagon.
Khabib jelas beda. Dia bukan "gladiator" yang memekikkan "scream of joy" usai "membunuh lawan".
Dia sudah pasti beda dengan Brock Lesnar, John Jones, apalagi Connor Mc Gregor.
Ia mengusung "nilai" hingga MMA tak sekedar ajang baku pukul dan darah muncrat. Ada pride di sana, ada kerendahan hati, juga kehormatan. Khabib memang melompat ke penonton ke pinggir ring usai menaklukkan Gregor. Tapi bukan untuk jadi perusuh. Ia diperlakukan tak adil. Keyakinan dan leluhurnya dicemooh secara terbuka di perhelatan akbar itu. Kesewenang-wenangan, di manapun, wajib dilawan.
Kini dengan anggun Khabib pamit. Dari dunia yang telah membesarkannya. 29 kali tak terkalahkan, bahkan ketika ia sedang dalam posisi puncak "mesin uang" yang diburu banyak orang. Luar biasa.
(Joko Santoso Handipaningrat)
***
The Octagon Lesson Learned
Bagi penggemar MMA (Mix Martial Art) pasti mengenal sosok muslim tangguh tak terkalahkan dalam kejuaraan tarung di Ultimate Fighting Champion (UFC), namun sangat humble, rajin beribadah, menjunjung adab dan respect yaitu Khabib Nurmagomedov.
Ciri khas Khabib setiap memenangkan pertandingan adalah Sujud Syukur dan menunjuk ke langit lalu menunjuk dadanya lalu menggerakkan telapak tangannya dengan makna "bukan", itu seolah mengatakan "bukan saya, tetapi Allah".
Octagon adalah segi delapan, tempat paling keras dalam pertarungan, dimana para fighter bertarung, merupakan tempat paling berdarah darah, tempat menunjukkan siapa juara sejati, bukan hanya dalam teknik dan strategi bertarung, namun juga respek pada segala hal.
Ya respek, di tempat yang kita membayangkan pasti "no respect, no mercy", tetapi Khabib menunjukkan selalu respeknya, kecuali ketika berhadapan dengan si mulut besar "Conor McGregor" yang selalu menghina Ayahnya Khabib, Negaranya juga Kepatuhannya pada agama. Setelah mengalahkannya, Khabib meloncati Octagon dan menghajar teamnya yang selalu menghina selama pertandingan di luar octagon.
Hari Khabib memenangkan pertarungannya melawan Justin Gaethje pada UFC 254, sejak awal Khabib sangat respek dan mengingat kebaikan Gaethje yang pernah membantunya waktu cidera. Tidak sepatah katapun yang merendahkan Gaethje bahkan waktu tatap muka, mereka saling memuji kehebatan lawan, malah berjabat tangan.
Selesai pertandingan, Khabib bersujud sambil menangis. Gaethje yang baru siuman dari pingsan akibat triangle lock, lalu mgenhampiri Khabib dan menguatkan perasaan Khabib yang sangat emosional karena kesedihan dan keharuan luar biasa, inilah kemenangan ke 29 tanpa kekalahan, namun kali ini tanpa Ayahnya, sang pelatihnya. Ayahnya Abdul Manap Nurmagomedov wafat beberapa pekan sebelum pertandingan karena terkena Covid 19.
Dalam Octagon yang keras seperti itu, sesungguhnya bisa banyak respek yang dihadirkan walau tetap professional sebagai fighter. Begitulah para champion luar dan dalam, baik fisik, moral maupun spiritual.
Namun sayangnya di dunia nyata, di kehidupan hari ini, nampaknya banyak pecundang luar dan dalam, kinerja buruk namun amat sulit bermoral dan respek pada pada team, pada guru dstnya. Yang ada adalah kebutuhan eksistensi yang dipenuhi dengan ego diri, ego kelompok dstnya.
Khabib seorang Muslim yang petarung, menunjukkan bahwa begitulah seharusnya seorang Muslim, di bidang manapun ia berjuang, harus menjadi "the good man", orang yang ihsan baik dalam kinerja profesi, keindahan adab/moral dan kekuatan spiritual, maupun dalam kehidupan keluarga dan sosial.
(Harry Santosa)
Victory. Alhamdulillah🤲🏻
Dikirim oleh Khabib "the Eagle" Nurmagomedov pada Sabtu, 24 Oktober 2020