YLBHI: Pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law adalah Skandal Legislasi
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengungkapkan setidaknya ada 12 skandal yang ditemukan pada pembentukan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
Asfinawati menyebut hal tersebut sebagai skandal, karena banyak hal aneh yang ditemukan dalam pembentukan UU tersebut.
(1) Kejanggalan pertama yang disampaikan Asfinawati adalah naskah RUU yang disembunyikan saat pembahasan di pemerintah. Pada saat RUU tersebut dibuat, sejatinya banyak pihak yang kesulitan mencari naskah RUU, namun tak kunjung mendapatkan akses.
(2) “Kemudian yang kedua, pada akhirnya kami tahu bahwa naskah itu disusun oleh Satgas Omnibus Law, isinya ada 127 orang pengusaha yang punya konflik kepentingan,” kata Asfinawati dalam diskusi daring bersama ILUNI UI, Sabtu (10/10/2020).
Konflik kepentingan tersebut berdasarkan temuan yang dirilis Koalisi Bersihkan Indonesia. Ada sebuah konflik kepentingan yang melekat pada para pembuatan regulasi tersebut. Misalnya, royalti tambang itu bisa 0 persen. “Logika di balik pembangunan kan agar ada uang masuk ke negara. Kalau royaltinya 0 persen, lalu negara dapat apa. Buat apa ada pembangunan,” ujarnya.
(3) Temuan ketiga adalah dilaksanakannya sidang di hotel-hotel mewah, bahkan ada yang menggunakan uang pribadi dari kantong anggota dewan.
(4) Belum lagi, temuan lainnya juga menunjukkan bahwa pembahasan Tingkat II (Paripurna) dibuat saat naskah final RUU belum jelas dan juga tidak dibagikan ke anggota DPR.
(5) Keanehan lainnya adalah adanya penyusupan "klaster pajak" di akhir persidangan. Sejatinya, klaster ini tidak muncul dalam naskah akademik.
(6) Belum lagi pembahasan yang dikebut hingga tengah malam, dimana peristiwa seperti ini jarang dilakukan oleh DPR.
Padahal juga sudah ada surat edaran dari Kesekretariatan DPR bahwa selama Covid-19, sidang dilakukan Senin sampai Jumat dengan batas waktu sampai pukul 5 sore.
“Nah, ini pembahasannya di hari Sabtu, dan sampai tengah malam. Ini DPR tiba-tiba dapat kecekatan lebih khusus untuk RUU Omnibus Law,” lanjut Asfinawati.
(7) Belum lagi, sidang yang tetap dilanjutkan meskipun data jumlah positif Covid-19 di DPR cukup banyak.
(8) Dalam temuan tersebut juga, Asfinawati mengatakan pembahasan Tingkat II (Paripurna) hanya dihadiri 318 dari total 575 anggota dewan yang hadir secara fisik maupun virtual.
(9) Artinya, sebanyak 257 legislator memilih untuk tidak hadir. Dengan kata lain, kecil sekali partisipasi anggota dewan yang menyetujui.
(10) Belum lagi, temuan kesepuluh adalah sidang penutupan (Paripurna) yang direncanakan berlangsung tanggal 8 Oktober, kemudian dimajukan menjadi 5 Oktober.
(11) Dua temuan terakhir, Asfinawati mengatakan bahwa draft RUU Ciptaker ini dibuat tanpa suatu kajian atau naskah akademik terlebih dahulu.
“Sebenarnya bukan tidak ada naskah akademik. Dalam pengadilan gugatan di PTUN, pemerintah mengakui bahwa naskah akademis dibuat secara bersamaan dengan RUU. Padahal UU 12 Tahun 2011 sudah sangat ketat mengatakan naskah akademis dulu diadakan, sebelum dibuatnya RUU,” bebernya.
Karena hal-hal yang menyangkut keberlakuan filosofis, sosiologis, dan sebagainya serta melihat peraturan perundang-undangan yang sudah ada, itu semua mengasumsikan pembuatan terlebih dahulu untuk kemudian ditemukan apa yang menjadi masalah.
(12) Asfinawati juga mengkritik fakta bahwa bahkan anggota dewan yang hadir pada saat pengesahan pun hingga saat ini belum memperoleh salinan fisik.
Hal tersebut semakin menimbulkan keanehan dalam penyusunan UU Ciptaker. Bahkan pimpinan sidang sampai mematikan mikrofon anggota dewan yang menolak.
Hingga saat ini, naskah final Omnibus Law Undang-undang atau UU Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR pada pada Senin, 5 Oktober 2020, masih belum jelas.
Bahkan pada 7 Oktober lalu, Badan Legislasi masih bekerja merevisi pasal demi pasal UU Cipta Kerja yang disahkan dua hari lalu.
Ketua YLBHI, Asfinawati menyebutkan tindakan merapikan naskah undang-undang setelah pengesahan mengindikasikan adanya cacat formil.
Menurut dia, penyuntingan sekecil apa pun berpotensi mengubah makna peraturan.
"Skandal terparah dan terbesar dalam pembentukan undang-undang," ujarnya.