Muktamar ke-5 NU: Ahmadiyah Bukan Ajaran Islam
[ARSIP BERITA dari laman resmi NU tentang AHMADIYAH]
Monggo Pak Menteri Agama Gus Yaqut, dibaca....
Ahmadiyah Jangan Diukur dari HAM atau Demokrasi
Ahad, 21 Agustus 2005
"Ahmadiyah jangan diukur dari HAM atau demokrasi, sebab Islam itu sudah jelas tidak mengakui ada nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW," kata Mustasyar PBNU KH Muchit Muzadi di Surabaya, Minggu.
Nahdlatul Ulama (NU) secara kelembagaan sudah lama menganggap ajaran Ahmadiyah bukan ajaran Islam sesuai dengan kriteria kafir yang diputuskan dalam Muktamar ke-5 NU di Pekalongan pada 1930.
Oleh karena itu, kata ulama sepuh asal Jember, Jatim itu, jika ada orang Islam yang mengukur Ahmadiyah dari HAM atau demokrasi, maka dia harus membayangkan bahwa orang yang mengaku Muhammad SAW bukan nabi terakhir itu adalah saudaranya.
"Coba, kalau saudara atau teman sendiri yang mengaku begitu kepada anda, karena itu jangan pakai ukuran HAM atau demokrasi, sebab soal akidah (keyakinan) itu beda dengan soal fiqih (hukum Islam). Akidah nggak ada toleransi," katanya.
Namun, katanya, NU juga sama halnya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sama-sama tidak sepakat dengan cara-cara anarkhis dalam memposisikan Ahmadiyah sebagai sesat, sebab pandangan soal kesesatan Ahmadiyah itu bertujuan melindungi akidah umat.
Senada dengan itu, Wakil Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Miftachul Akhyar menyatakan sesatnya Ahmadiyah di kalangan NU sudah tidak ada perbedaan, apalagi Ahmadiyah terbukti melakukan "revolusi" (pemberontakan) akidah.
"Ahmadiyah sendiri merupakan produk kolonial Inggris yang terganggu dengan gerakan mujahid Sayyid Imam Ahmad bin Irfan pada tahun 1246 H, karena itu Ahmadiyah berusaha mengaburkan sumber-sumber sahih di dalam Islam," katanya.
Oleh karena itu, katanya, tidak mengherankan jika Syaikh Al-Azhar pada abad ke-20 sudah memutuskan sekte Qadiyan (Ahmadiyah) adalah kafir, kemudian dua mahasiswa Al-Azhar yang menganut aliran sesat itu pun dipecat.
"Hal serupa juga sudah dilakukan OKI dan Robithoh ’Alam Islami yang mengeluarkan putusan pada 1394 H bahwa Ahmadiyah adalah sekte yang menyesatkan di luar Islam," katanya.
Menurut pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu, pandangan NU dan para ulama dunia itu bukan berarti memperalat agama, merasa benar sendiri, atau merasa menjadi "tuhan", namun bermaksud untuk menyelamatkan umat.
"Kalau umat Islam tidak diberi pagar betis dengan fatwa sesat itu justru mereka akan terpengaruh dengan ajaran sesat yang memposisikan Islam sebagai ajaran yang dapat dikoreksi, diubah, diedit, diadaptasikan, dan akhirnya dihancurkan," katanya.
Ia menambahkan HAM juga harus dicermati dalam dua hal yakni HAM kapitalis dan HAM sosialis. HAM versi kapitalis itu serba bebas asal tidak mengganggu orang, sedangkan HAM versi sosialis itu HAM serba kolektif yang menafikan individu.
"Dalam Islam, HAM itu menghargai perbedaan pendapat di luar masalah akidah, sebab Islam itu memang Rahmatan lil Alamin, karena itu saya setuju dengan pandangan mbah Muchit Muzadi bahwa Ahmadiyah jangan diukur dari HAM atau demokrasi," katanya.(ant/mkf)