Asyari Usman: Ketua Komnas HAM Bagaikan Merangkap Ketua Tim Pembela Polisi
Ketua Komnas HAM Bagaikan Merangkap Ketua Tim Pembela Polisi
By Asyari Usman (wartawan senior)
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, penguntitan (surveillance) yang dilakukan Polisi dengan alasan orang tidak memenuhi dua kali panggilan, adalah hal yang normal. “Wajar saja,” ujar Taufan.
Hal ini disampaikan oleh Taufan dalam wawancara video dengan Medcom-id yang ditayangkan pada 17 Januari 2021.
Ketua Komnas menjawab begitu ketika ditanya seluk-beluk penguntitan yang dilakukan oleh “OTK” (yang kemudian ternyata aparat kepolisian) terhadap rombongan HRS yang berakhir dengan penembakan mati 6 anggota Front.
Jadi, kalau nanti Anda atau siapa saja yang tidak memenuhi panggilan Kepolisian dua kali berturut-turut, maka ada kemungkinan Polisi akan melakukan penguntitan terhadap gerak-gerik Anda. Seperti apa penguntitan itu, tentu terserah Polisi. Yang penting Ketua Komnas bilang tindakan itu ok-ok saja.
Secara umum, jawaban-jawaban Taufan Damanik dalam wawancara ini luar bisa ‘clear’ (bernas). Rasa-saranya, tak kurang dari 80% jawaban Ketua Komnas terang-terangan menyalahkan para pemuda Front yang mengawal HRS dalam insiden 7 Desember 2020.
Taufan mengatakan dengan sinis bahwa anak-anak muda Front itu menikmati bentrokan dengan penguntit. Tapi, Ketua Komnas terlihat pula menikmati wawancara ini. Dia bersemangat sekali menjawab pertanyaan. Sayangnya, Ketua Komnas terkesan menggiring opini publik bahwa insiden 7 Desember itu sepenuhnya kesalahan para pemuda Front.
Wawancara ini sangat menghibur. Unmistakably, very entertaining! Tidak rugi seandainya pun video wawancara ini harus diperoleh melalui situs berbayar.
Pak Taufan mengatakan, pengawal HRS yang berada di dua mobil paling belakang seharusnya tidak menunggu penguntit yang sudah jauh di belakang. Untuk kedua mobil ini, Pak Ketua menggunakan istilah “memprovokasi” penguntit. Dahsyat, Pak Ketua!
Cuma, konyol sekali cara berpikir Taufan Damanik. Mari kita lihat siapa yang memprovokasi. Rombongan HRS keluar dari Sentul. Mereka dibuntuti oleh pihak yang tak dikenal (OTK). Tidak ada tanda-tanda mereka aparat negara. Para penguntit kemudian mencoba masuk ke dalam konvoi HRS dengan cara yang membahayakan. Inilah yang menyebabkan mobil-mobil pengawal HRS berusaha menghalangi mereka.
Kalau mereka memang ditugaskan menguntit (surveillance), tentu mereka tidak perlu masuk ke dalam konvoi. Bukankah kelaziman di dunia ‘surveillance’ adalah bahwa penguntit berusaha agar mereka tidak dicurigai melakukan penguntitan. Nah, dalam kasus 7 Desember kenapa para penguntit malah mengganggu rombongan yang diuntit? Kalau mereka malam itu hanya melakukan tugas itu sesuai dengan definisi ‘surveillance’, tak mungkin akan terjadi pergesekan atau pepet-memepet.
Pak Taufan mengatakan dalam wawancara ini bahwa pembunuhan 6 pemuda Front itu bukan pelanggaran HAM berat. Karena, surat tugas yang dikeluarkan untuk aparat malam itu adalah perintah ‘surveillance’. Bukan surat perintah pembunuhan. Kalau surat perintahnya melakukan pembunuhan, barulah bisa disebut pelanggarah HAM berat.
Begitulah alur berpikir Taufan Damanik. Harus hati-hati selagi beliau ini menjadi ketua Komnas.
Jadi, jawaban-jawaban Pak Taufan dalam wawancara itu seperti terkena “Efek Istana” (the Palace Effect). Alias, sangat terpukau setelah bertemu Presiden Jokowi (14/1/2021) dalam rangka menyerahkan hasil investigasi dan rekomendasi Komnas tentang insiden KM-50.
Saking terpukaunya, sampai-sampai Ketua Komnas HAM sekarang ini bernarasi seakan-akan dia juga merangkap sebagai Ketua Tim Pembela Polisi.
23 Januari 2021