Labelisasi Teroris Kembali Digunakan
Labelisasi Teroris Kembali Digunakan
By Asyari Usman (wartawan senior)
Di tengah kesewenangan dan non-kompetensi saat ini, Islam politik menggumpal dan merajut kekuatan. Tak dapat dipungkiri, HRS adalah episentrum Islam politik itu. HRS kemudian menjadi ‘iconic figure’ (tokoh simbol). HRS bisa melakukan peran ini karena dia dilihat memiliki semua teladan yang dicari umat untuk gerakan Islam politik yang ideal.
Umat mendambadakan kejujuran, kesederhanaan, keberanian dan konsistensi. HRS memperlihatkan karakteristik ini. Umat memerlukan kecerdasan dan akseptabilitas dalam kebinekaan, HRS telah menunjukkan itu sejak lama. Umat mendambakan ketegasan dalam “mutual respect and tolerance” (saling menghormati dan toleransi), Habib pun sudah melakukan ini dari dulu.
Ketika seluruh kompenen rakyat menuntut pembasmian korupsi dan pemulihan kedaulatan yang telah tergadai, HRS bisa diterima semua pihak. Singkat cerita, HRS bisa meyakinkan semua orang, kecuali oligarkhi politik dan bisnis, bahwa dia tidak punya agenda pribadi atau kelompok ketika meneriakkan penegakan hukum dan keadilan tanpa pilih kasih.
Sejak itulah HRS tidak punya akseptabilitas di kalangan para oligarkhi rakus, para koruptor dan pengkhianat. Rating HRS menjadi nol di mata para penguasa laknat.
Tidak hanya minus akseptabilitas dan rating di depan oligarkhi jahat dan para penguasa zalim, Habib kemudian dijadikan musuh. Mau tak mau, HRS harus menghadapi kolaborasi kekuatan para penguasa zalim dan para penggarong. Inilah yang sekarang “on display” (sedang dipajang). HRS akan dikejar habis. Dengan segala cara. Apa saja yang bisa ditimpakan kepada dia pasti akan dilakukan.
Kesalahan sepele, termasuk soal kerumunan acara maulud dan pernikahan, serta ‘swab test’ di RS Ummi Bogor, dijadikan justifikasi untuk menginteli gerak-gerik HRS. Dari sinilah bermula peristiwa KM-50 yang berujung pembunuhan 6 pengawal pada 7 Desember 2020.
Setelah peristiwa itu, situasi berbalik. Kesalahan kecil HRS tenggelam oleh pembunuhan sadis ke-6 anak muda Front itu. Para penguasa zalim balik dikejar oleh opini publik. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi. Komnas menyimpulkan ada pelanggaran HAM. Penguasa terpojok. Bakal ada proses hukum terhadap para pembunuh. Tentunya ini sangat aib.
Sayangnya, Komnas HAM yang semula berapi-api dalam penyelidikan pembunuhan ini akhirnya bisa jinak. Pernyataan-pernyataan yang kemudian keluar dari para petinggi Komnas terutama ketuanya, Ahmad Taufan Damanik, berbalik menyudutkan para korban, HRS, dan Front.
Habib dijebloskan ke penjara lewat kasus kerumunan Covid yang sebetulnya sudah terjadi ribuan kali di tempat-tempat lain. Termasuk ketika berlangsung kampanye pilwalkot Solo.
Penguasa mulai menjalankan taktik pembunuhan karakter (character assassination) terhadap HRS dan Front. Labelisasi teroris adalah salah satu pembunuhan karakter yang sangat ampuh. Front sedang digiring ke sini.
Labelisasi teroris ini pula sekarang dijadikan taktik untuk mengubur kasus pembunuhan sadis 6 pemuda Front. Agar kasus ini tak jadi dibawa ke pengadilan.
Labelisasi teroris juga akan mejadi pedang bermata dua. Taktik ini sekaligus akan membungkam umat Islam. Tidak hanya membungkam HRS dan para mantan pengurus Front. Umat akan diam. Tak lagi keras menyuarakan pembunuhan yang telah dinyatakan sebagai “unlawful killing” (pembunuhan sewenang-wenang) oleh Komnas HAM.
Belakangan ini, para penguasa terlihat mencari-carikan cara untuk menghubungkan Front dengan aksi terorisme. Meskipun publik mencatat bahwa Front tidak pernah terlibat tindakan teror.
Pada 15 Desember 2020, ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Irjen (Purn) Benny Mamoto, mengatakan ada 37 anggota atau mantan anggota Front (yang waktu itu belum dibubarkan) yang terlibat langsung dengan kelompok teroris di Indonesia.
Permainan ini kasar sekali. Sangat mungkin nantinya akan ada vonis bahwa Front terkait dengan 1SIS (Islamis State of Iraq dan Syria, yaitu Negara Islam Irak dan Suriah).
Pada 6 Januari 2021, Polda Makassar menangkap 19 orang yang dikatakan sebagai anggota Jemaah Ansharud Daulah (JAD) yang selama ini dilabel teroris. Setelah mereka dibawa ke Jakarta pada 4 Februari 2021, Karo Penmas Polri Birgjen Rusdi Hartono mengatakan ke-19 orang tersanka teroris ini adalah anggota FPI.
Setelah itu, eks petinggi Front, Munarman, “berhasil” dikaitkan dengan ISIS. Dikatakan, seorang anggota FPI Sulawesi Selatan mengaku bahwa dia dibaiat sebagai pengikut ISIS dengan disaksikan langsung oleh Munarman.
Jika sudah tersemat bahwa FPI terhubung dengan ISIS, maka para mantan pemimpin FPI dan anggota mereka otomatis bisa disebut teroris oleh para penguasa. Bila sudah “resmi” teroris, maka bisa dengan mudah dipropagandakan oleh para penguasa bahwa 6 orang yang terbunuh itu pun termasuk yang terkait dengan teroris ISIS.
Sehingga, rekomendasi Komnas HAM agar pembunuhan para pengawal HRS itu dibawa ke pengadilan, bisa diabaikan. Alasannya, organisasi mereka telah dipastikan oleh para penguasa sebagai kelompok yang mendukung teroris.
Propaganda para penguasa akan didukung oleh media massa penjilat. Mereka akan beramai-ramai dan serentak menggaungkan bahwa Front adalah organisasi teroris.
Inilah yang telah dan sedang dilakukan oleh para penguasa zalim. Mereka kembali menggunakan labelisasi teroris untuk membungkam umat. Taktik usang yang sangat mudah dibaca.[]
*Sumber: fb penulis