HUKUM ISLAM
HUKUM ISLAM
Oleh: Dr. Ahmad Sarwat, Lc., M.A.*
Ketika awal diajak ikut pengajian semasa SMP dulu, saya sempat didoktrin terkait kewajiban menjalankan hukum Islam, seperti potong tangan pencuri, merajam pezina dan hukum qishash.
Ancamannya serem juga kalau kita menolak hukum Islam. Kita jadi kafir, fasik dan zhalim. Ayat dan terjemahnya sampai saya warnai pakai stabillo, yaitu Al-Maidah 44, 45 dan 47.
Jadilah dalam keyakinan saya waktu itu, gara-gara kita tidak memotong tangan pencuri, maka kita semua umat Islam se-Indonesia Raya ini jadi kafir semua.
Dan berada pada barisan kafir terdepan adalah para hakim, jaksa, aparat penegak hukum, termasuk PNS, TNI, polisi. Sebab mereka inilah pengawal garda terdepan yang menerapkan hukum thoghut dan anti Islam.
Lalu siapa pun yang tetap setia dengan NKRI adalah orang kafir juga, termasuk guru-guru di sekolah saya itu kafir semuanya. Sebab mereka tidak mu berhukum dengan hukum Islam. Pokoknya sebelum kita lihat potongan-potongan tangan bergeletakan dimana-mana, kita semua ini kafir, fasik dan zhalim.
Begitulah saya yang masih duduk di SMP saat itu didoktrin oleh para ustadz pengajian di masa itu.
Namun kekeliruan paham saya itu terkoreksi juga pada akhirnya. Rupanya saya selama ini terpapar paham takfiri berat, yang mana paham itu juga sudah mengontaminasi banyak para ustadz.
Lebih jelas tentang bagaimana sebenarnya kedudukan hukum potong tangan, baru saya pahami dengan detail ketika duduk di Fakultas Syari'ah.
Inilah fakultas 'Hukum Islam' yang isinya 100% bicara tentang penegakan hukum Islam. Mengapa saya tertarik meninggalkan kuliah saya di UGM dan pindah untuk kuliah ke LIPIA Fakultas Syariah, justru termotivasi untuk 'menegakkan Hukum Islam'.
Di dalam perkuliahan, hampir semua mata kuliah diarahkan kepada objek pembahasan Hukum Islam. Dan disitulah saya baru tahu bahwa banyak sekali orang yang teriak-teriak hukum Islam, tapi benar-benar awam, lalai, jahil, bodoh dan sama sekali tidak paham apa yang dia teriakkan itu.
Makanya saya merasa beruntung sekali bisa kuliah di fakultas yang khusus bicara tentang Hukum Islam. Beberapa catatan penting terkait hukum Islam adalah:
1. Luas
Ternyata cakupan dan wilayah hukum Islam itu luas sekali, mencakup seluruh aspek kehidupan itu sendiri.
Bukan hanya sebatas memenggal kepala orang, potong tangan, rajam dan cambuk saja, tetapi urusan ekonomi, sains, kedokteran, kuliner, pakaian, pernikahan, masalah harta waris dan seterusnya juga bagian utuh dari hukum Islam.
Disitulah agaknya kedunguan saya selama ini sedikit tercerahkan. Saya baru sadar bahwa hukum Islam itu luas sekali cakupannya.
2. Jinayat
Lalu bagaimana dengan hukum rajam, cambuk, penggal kepala dan seterusnya? Bukankah semua itu juga termasuk hukum Islam?
Ya tentu saja semua termasuk hukum Islam. Babnya termasuk dalam kelompok Fiqih Jinayat. Di dalamnya adalah hukum Qishash, potong tangan pencuri, rajam atau cambuk bagi pezina, dan lain-lainnya.
Kita bahas satu per satu mulai dari dasar ayat Al-Qurannya, dilengkapi dengan hadits-haditsnya juga. Dan masing-masingnya itu kita bahas mulai dari ababun-nuzul dan asbabul wurud, biar kita tahu kapan mulai disyariatkan dan kapan juga diterapkannya.
Selain itu kita bongkar satu per satu kasus-kasus yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Misalnya tentang rajam untuk pezina yang ternyata hanya terjadi 3 kali saja sepanjang perjalanan hidup Nabi SAW.
Di perkuliahan itulah Hukum Islam kita bongkar habis dan dibahas secara lebih teknis dan detail secara satu per satu. Bukan seperti dulu saya masih SMP yang bisanya cuma teriak-teriak tegakkan hukum Islam, tapi ilmunya malah NOL BESAR.
Di kuliah Fakultas Syariah itulah saya baru tahu dan mendalami anatomi dan keping-keping puzzle fiqih jinayat secara menyeluruh dan detail.
3. Syarat Untuk Bisa Dijalankan
Ternyata meski wajib hukumnya menjalankan hukum potong tangan dan sebagainya, tapi dalam pelaksanaannya tidak bisa begitu saja dilakukan.
Pertama harus ada pengadilan syariah (mahkamah syar'iyah) yang dipimpin oleh hakim yang faqih dalam bidang fiqih dan ijtihad. Karena masalah ini 100% masalah fiqih, tidak boleh dijalankan oleh mereka yang bukan ahli fiqih.
Kedua, ternyata harus ada saksi untuk setiap kasus. Kasus zina misalnya harus ada 4 orang saksi, laki-laki semua, dan melihat langsung peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam lubang kemaluan wanita secara bersamaan waktunya.
Kalau tidak bersamaan menyaksikannya, justru para saksi itu yang dicambuk masing-masing 80 kali cambukan.
وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنكُمْ
Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan.(QS. An-Nisa` : 15).
Itulah sebabnya bahkan di masa kenabian pun, kasus rajam pezina ini hanya terjadi tiga kali saja.
Jadi pelaksanaan hukum hudud ini tidak bisa ngasal, yang penting diterapkan. Kalau tidak ada pakar hukum Islamnya, bagaimana bisa jalan? Kalau cuma teriak-teriak di mimbar saja, dipastikan tidak akan lahir para ulama ahli syariah.
Tidak ada ulama ahli syariah, berarti hukum syariah tidak bisa dijalankan. Urus dulu dong SDM-nya. Suruh mereka kuliah di Fakultas Syariah.
4. Hindari Hukum Hudud Selama Masih Ada Sybuhat
Ini yang paling bikin saya terkesima. Ternyata dulu Rasulullah SAW sendiri mengajarkan bahwa kita jangan terlalu mudah untuk menjatuhkan hukum hudud. Kalau masih ada syubhat disana-sini, justru harus dihindari hukumannya.
Haditsnya terkenal sekali tapi banyak yang tidak tahu.
اِدْرَؤُوا الحُدُودَ باِلشُّبُهَاتِ
"Hindarilah hukum hudud dengan masih adanya syubuhat."
Ini jadi dagelan banget. Dalam hukum Islam diatur segala macam syarat yang amat berat untuk bisa ditegakkannya hukum potong tangan pencuri, rajam pezina dan lainnya.
Ternyata di ceramah para ustadz KW itu, potong tangan itu kayak gampang banget. Pokoknya nyolong ya potong. Zina ya rajam. Segampang itu dalam pikiran orang awam yang jahil 100% dengan hukum Islam.
Padahal ada sekian banyak syarat yang harus terpenuhi. Pelaku zina itu harus sudah baligh, akil, waras, muslim, tidak terpaksa, zinanya sama manusia, dia harus diperiksa dokter apakah normal secara seksual, juga harus tahu apa ancaman hukumannya.
4. Saya Merasa Dibodohi
Setelah banyak belajar mata kuliah terkait hukum Islam itu barulah saya sadar bahwa selama ini saya dibodoh-bodohi. Ternyata saya selama ini salah kaprah, gara-gara dicekoki oleh para ustadz palsu yang tidak paham sedikit pun Fiqih Jinayat.
Kok bisa nuduh ustadz palsu? Apa nggak kualat?
Pertama, setelah saya cek ulang latar belakang pendidikan para tokoh yang dulu saya jadikan ustadz. Ternyata banyak sekali yang KW. Ya asli KW karena sama sekali tidak pernah duduk di Fakultas Syariah. Bahkan mondok di pesantren ngaji kita fiqih pun juga tidak pernah.
Ngaji secara khusus kepada ulama ahli fiqih pun juga tidak pernah. Saya mereasa benar-benar dibodohi oleh produk-produk KW murahan.
Kedua, para ustadz palsu itu ternyata tak satu pun yang bisa bahasa Arab, sehingga mereka pun tidak pernah baca literatur ilmu syariah, khususnya bab hudud dan jinayat.
Padahal bicara ilmu hukum, mana mungkin tidak merujuk kepada literatur ilmunya. Ternyata para ustadz KW ini sama sekali buta dengan literatur, bahkan baca kitab pun tak mampu.
Habislah saya selama ini kena tipu mentah-mentah oleh produk KW. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Ketiga: Modalnya cuma mushaf Al-Quran Terjemah. Di dalamnya ayat-ayat terkait hukum jinayat itu ditandai, dicorat-coret bahkan diwarnai pakai stabillo. Itulah kenapa saya pun jadi ikut-ikutan mewarnai juga.
Lalu hanya dengan modal dengkul kayak itu, sebegitu pedenya teriak senyaring-nyaringnya di atas mimbar ceramah tentang menegakkan hukum Islam.
Ingin rasanya mantan-mantan ustadz saya dulu itu saya paranin satu per satu dan saya ajak debat hari ini.
Tapi ternyata banyak dari mereka yang sudah sadar dan berhenti dari ceramah dan berdakwah tentang hukum Islam. Sudah tidak lagi seperti dulu. Mereka ternyata banyak juga yang sadar bahwa selama ini mereka salah kaprah, tidak punya ilmu tapi gemar berdakwah walaupun tak paham.
Malah beberapa dari mereka banyak yang sekarang ini menjadikan saya sebagai sumber rujukan dalam ilmu fiqih. Tanya ini dan tanya itu, kayak orang awam dan memang awam sih.
Ini lucu banget, ibarat calo tiket bus di terminal, saya adalah calon penumpangnya. Mereka itulah yang dulu memotivasi saya untuk menegakkan hukum Islam.
Jadilah saya tertarik dan saya naik busnya. Ternyata para calo di terminal itu cuma pandai mengajak orang naik bus, tapi mereka sendiri tidak pernah ikut naik bus. Mereka tetap stay di terminal.
Tapi untungnya saat itu pilihan saya benar, bukan melakukan aksi-aksi kekerasan, tetapi justru masuk ke level yang lebih tinggi, yaitu belajar ilmu syariah secara lebih mendalam. Sebab di kalangan para ustadz saya itu, tak satu pun yang ahli dalam ilmu syariah.
Semuanya berada di level awam saja, tidak pernah kuliah syariah, bahkan bahasa pengantar yaitu bahasa Arab pun tak dikuasainya.
Penutup
Jadi kalau ada yang komen bahwa hari ini masih ada tuh yang model-model kayak gitu, saya sih senyum-senyum saja. Woi, gue udah ngelewatin zaman jahilyah kayak gitu. Komen saya cuma satu : Hare gene masih jahiliyah aja, ente...
[fb]
___
*Ustadz Ahmad Sarwat mengenyam pendidikan formal di:
S-1 di Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Suud LIPIA, Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab.
S-2 di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta - Ulumul Quran dan ulumul hadits.
S-3 di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta - Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT)