KISAH NYATA: KAU BUKAN SEORANG TERORIS

 teriakan bahwa Islam adalah agama teroris KISAH NYATA: KAU BUKAN SEORANG TERORIS
KISAH NYATA: KAU BUKANLAH SEORANG TERORIS

By Fissilmi Hamida

Islamophobia, teriakan bahwa Islam adalah agama teroris, tidak dipungkiri memang semakin marak, bahkan di seluruh dunia. Terutama hari itu, setelah berita bom Paris mengguncang dunia, hingga sebagai seorang muslim, aku merasa wajib menunjukkan pada dunia seperti apa Islam sesungguhnya, terutama di negara di mana Islam adalah minoritas di sana. 

Pernah dengar, kan, ungkapan 'DON'T TELL THEM THAT YOU ARE MUSLIM. SHOW THEM YOU ARE?'

Jangan beritahu mereka bahwa engkau seorang muslim, tapi tunjukkan saja pada mereka bahwa engkau seorang muslim. 

Kenapa? Karena sungguh, satu perbuatan, sekecil dan sesederhana apapun, memang jauh lebih meyakinkan daripada seribu perkataan.

Kau akan mengerti maksudku, segera.

💙

Bristol, Inggris, 14 November 2015.
Bus no.9 dari Bond Street menuju College Green.

Pagi itu aku berjalan pulang dari rumah temanku dengan perasaan tak menentu. Sebetulnya, temanku sudah melarangku pulang. Dia takut akan terjadi sesuatu jika aku pulang sendirian. 

Berita pengeboman di Paris malam tadi yang menghilangkan banyak nyawa masih begitu mengguncang diriku. Bagaimana tidak, teriakan bahwa Islam adalah agama teroris semakin merajalela, terutama di sosial media. Dan pagi ini, saat menyusuri jalan untuk menuju Bond Street, aku ketakutan sendiri. Entah mengapa aku merasa semua mata mengarah padaku, pada jilbabku, seolah ikut menyalahkanku atas pengeboman yang terjadi. 

Aku menoleh.

Seorang lelaki dengan ekspresi datar, berpakaian serba hitam, berjalan cukup cepat di belakangku. Aku ketakutan. Pikiran buruk tiba-tiba saja muncul. Aku takut lelaki itu tiba tiba mengeluarkan pisau dan menusukku. 

Selama disini, aku memang sudah beberapa kali mendengar berita berita tidak mengenakkan terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk penusukan muslim karena islamophobia. Seperti cerita Aya, mahasiswi S-3 bidang kanker dari Palestina, bahwa ada tetangganya yang ditusuk orang tak dikenal, hanya karena dia seorang muslim.

Panik, aku berlari, menerjang dedaunan musim gugur yang bertumpuk menutupi seluruh jalan. Lelaki itu juga mempercepat langkahnya. Ya Allah, rasanya ingin menangis saja. Beberapa saat kemudian, dengan nafas terengah-engah, sampailah aku di Bond Street, tempatku menunggu bus untuk kembali pulang ke College Green. 

Aku baru sadar, lelaki itu sudah tidak ada. Sepertinya memang aku terlalu ketakutan. 

💙

Bus yang kutunggu datang, bus no.9. 

Aku berdiri di bagian depan karena memang tidak ada tempat duduk tersisa. Lagi lagi, aku merasa tidak nyaman, mengingat aku satu satunya yang berhijab. Ditambah, aku jelas melihat beberapa orang tengah membaca koran dengan pengeboman di Paris sebagai headline-nya. 

Tepat di depanku, duduk seorang perempuan yang tampak frustasi menenangkan bayinya yang terus menangis. Untuk menghilangkan rasa kikuk, aku iseng mendekatinya, mencoba menggoda si bayi dengan gerakan cilukba, juga menyanyikan lagu Hush My Little Baby untuk membuatnya tenang. 

Hush my little baby, warm and soft you lie.
Slip away to dreamland, lulla lullaby.
All the fleecy lambkins, cuddle down to rest.
Birdies snuggle warmly in your cosy nest.
Sleep and rest the sun says, as he leaves the sky.
Hush my little baby, lulla lullaby.

Ajaib! 
Bayi cantik itu mengentikan tangisannya. Dia bahkan tersenyum mendengarku bernyanyi untuknya. Perempuan itu juga takjub.

“Oh my God, that’s amazing! Aku bahkan tak bisa menenangkannya tapi kau bisa!" Begitu katanya. Aku tersenyum dan terus bernyanyi untuk sang bayi. 

Tiba-tiba, seorang lelaki berusia 50-an yang duduk di kursi paling belakang berteriak sambil telunjuknya mengarah tepat padaku.

“Hey, kau!” teriaknya. 

Aku mendadak gemetar.

“Kau tahu kan, apa yang terjadi di Paris?” tanyanya. Napasku mulai terengah.

“Aku ... aku tahu,” jawabku, gemetar. 

Keringat dingin mendadak keluar. Semua mata kini benar-benar melihat ke arahku. Aku betul-betul merasa seperti pesakitan yang tengah dihakimi sendirian. Tubuhku panas dingin, aku ketakutan. Aku bertekad akan turun saja di halte bus terdekat. Air mataku hampir tumpah. 

Namun tiba tiba ....

"I don't care what media say about your religion. What I know is that I just saw a muslim lady singing beautifully to calm a baby. A terrorist won't do that."

[Aku tak peduli apa yang media katakan tentang agamamu. Yang aku tahu, aku baru saja melihat seorang perempuan muslim menyanyikan lagu dengan indah untuk menenangkan seorang bayi. Seorang teroris tidak akan pernah menunjukkan kasih sayang tulus semacam itu kepada seorang bayi.]

Aku mendadak lemas mendengarnya. Air mata tumpah keluar, aku menangis, betul-betul menangis. 

Seorang penumpang berdiri dan memegangi pundakku, menopangku yang hampir terjatuh karena lemas. Di tengah isakan penuh haru, dengan terbata aku berkata padanya, mengatakan betapa takutnya aku untuk bepergian sendiri saat ini, takut orang orang yang melabeli muslim sebagai teroris akan mencelakaiku.

“Aku ... sejujurnya aku takut pergi keluar sendirian sekarang. Aku takut orang yang melabeli muslim sebagai teroris akan mencelakaiku, seperti yang menimpa seorang muslimah di London. Aku ... aku sungguh takut." 

Aku terus terisak. Penumpang di sebelahku merengkuhku semakin erat.

"Ya Tuhan. Itu buruk sekali. Tapi tenanglah, jangan takut. Kami bukan orang seperti itu," kata seorang wanita tua berambut putih.

"Benar. Kau tak perlu takut. Kami di sini bersamamu," tambah seseorang yang duduk di kursi paling belakang.

Sungguh, kejadian ini terus membuatku meneteskan air mata, bahkan setelah aku sampai di College Green. Tahu kenapa?

Ternyata, 'hanya' dengan menunjukkan kasih sayang pada seorang bayi yang sedang menangis, orang lain jadi percaya bahwa Islam bukanlah agama teroris, sebab menurutnya, seorang teroris tidak akan menunjukkan kasih sayang seperti itu. 

Sekarang kau mengerti maksudku, kan? Bahwa satu perbuatan jauh lebih berharga dari seribu perkataan.

💙

Maka terkait yang baru-baru ini terjadi, aku tak akan membela diri dengan mengatakan jika mereka bukan muslim, sebab aku sendiri pernah bertemu muslim yang memang salah dalam memahami agamanya, bahwa bom bunuh diri bisa membawanya ke surga. Well, di agama apa pun, sejatinya selalu saja ada ekstrimis begini, kan? 

Oleh karenanya, duhai kawan. Di manapun kita berada, mari kita menjadi muslim yang mampu menunjukkan bagaimana Islam sesungguhnya, bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin, rahmat bagi seluruh alam. Bukan malah menjadi agen yang akan memperburuk citra Islam di mata dunia, di mata yang lainya. 

Lalu, untukmu yang telah menodai citra Islam dengan pemahaman agama yang salah, yang bahkan kini membuat saudara yang bercelana cingkrang, berjenggot panjang, bergamis dan bercadar jadi ikut kena getah, semoga Allah memberi kalian hidayah atau sekalian membuat kalian punah.

Tag teman-teman bercadar. Tunjukkan jika mereka tak sendirian, jika kita bersama mereka. 

Tulisan mengenai ini pernah aku tulis di facebook dengan bahasa Inggris, tepat di hari pasca kejadian bom Paris :

💙

Cerita tentang islamophobia pascatragedi bom Paris, juga hal lainnya, lalu bagaimana aku membela Islam saat Islamophobia mengguncang Eropa ada di novel Autumn Leaves

Sedang HOT PROMO bersama beberapa novel lainnya, hanya 45.000/buku dan FREE ONGKIR ke seluruh Indonesia kecuali Maluku & Papua. 



KISAH NYATA: KAU BUKANLAH SEORANG TERORIS By Fissilmi Hamida Islamophobia, teriakan bahwa Islam adalah agama teroris,...

Dikirim oleh Fissilmi Hamida pada Minggu, 04 April 2021
Share Artikel: