Harus Ustadz Tengku atau Kami Ledakkan!
Harus Ustadz Tengku atau Kami Ledakkan
By Tengku Nazariah
Bertahun-tahun aku menjadi asisten abang (Ustadz Tengku Zulkarnain -red) untuk mengatur jadual ceramahnya saat masih kuliah hingga bekerja. Selama itu juga aku sangat paham apa dan bagaimana keinginan Abang untuk dakwahnya.
Ada beberapa pantangan yang tidak perlu lagi untuk dikonfirmasi ke abang, seperti masalah honor dakwah, mau dijemput pakai kendaraan apa, bolehkah mengganti jadual yang sudah diisi dengan jadual lain, penginapan atau mau makan di restoran apa, sebab itu semua sudah jelas jawabannya, jangan pernah menyusahkan yang mengundang dan tidak perlu ditanyakan lagi.
Satu kali aku dihubungi seseorang yang bersuara lantang dengan logat yang sangat khas. Logat itu berasal dari sebuah daerah yang sangat abang cintai dan salah satu lokasi favorit dakwah abang. Daerah yang terkenal dengan minyak dan gas bumi serta banyaknya pahlawan gagah berani membela negeri ini dari para penjajah. Negeri Serambi Mekkah Aceh.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam warahmatullah."
"Ini siapa? Mau bicara dengan ustad Tengku Zulkarnain." Suaranya begitu lantang. Tegas.
"Saya adik ustad Tengku. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Saya mau bicara dengan ustad. Bukan dengan adeknya!"
"Maaf, Pak. Ustad sedang keluar. Bisa saya bantu sampaikan ke ustad, pesan Bapak?" Aku mencoba menerangkan pada beliau.
"Saya mau ustad ceramah di sini. Hari raya nanti."
Aku terkejut. Hari raya sudah sangat dekat tidak sampai sebulan lagi. (maaf saya lupa idul adha atau idul Fitri karena sudah puluhan tahun yang lalu๐).
"Maaf, Pak. Ustad hari raya sudah ada jadual di Kantor Bupati Deli Serdang. Tidak bisa digantikan lagi, Pak."
"Harus bisa digantikan. Kami mau ustad Tengku menjadi khatib hari raya di Lapangan dengan Bupati Aceh Timur, kalau tidak bisa ...," suaranya sangat keras membuatku menjadi takut, "kantor Bupati Aceh Timur akan kami ledakkan rata dengan tanah! Mengerti kalian?!"
Astaghfirullah. Gemetar tubuhku hingga tidak bisa menjawab perkataannya.
"Hei! Kamu dengarkan! Saya komandan GAM dengan ... (beliau menyebutkan sebuah nama). Saya minta ustad Tengku yang jadi khatib di sini, atau kalian lihat kantor bupati itu hancur! Sampaikan dengan Ustad Tengku!"
Akhirnya dengan suara bergetar, aku mengatakan akan menyampaikan pesan beliau pada abang.
Saat abang pulang, kusampaikan pesan tersebut. Abang terdiam sejenak, lalu memintaku menghubungi bidang Kesra Kantor Bupati Deli Serdang (DS) untuk meminta izin mengganti jadualnya. Saat itu aku sempat berdebat dengan Abang dan bersikeras untuk menolaknya.
"Abang jangan ke sana. Bahaya! Aceh Timur termasuk yang paling rawan keamanannya karena GAM semakin merajalela. Awak gak mau terjadi apa-apa sama abang."
Abang diam memandangiku yang sedang senewen. Membiarkanku menumpahkan semua rasa takut akan kehilangan abang.
"Lagian bukannya Abang bilang, gak boleh membatalkan jadual ceramah. Kenapa sekarang abang mau batalkan. Gak konsekuen. Gak jelas!"
Setelah melihatku puas 'merepet', abang kemudian berkata.
"Dek, abang memang bilang tidak boleh membatalkan jadual ceramah kecuali hal darurat," Abang tersenyum lebar, antara sedikit kesal dan geli melihatku meledak-ledak tidak seperti biasanya, "kali ini sangat darurat, Dek."
"Tapi ... tetap aja membatalkan. Gak bisa pegang cakap."
"Dek, mereka sudah bilang dengan gamblang bahwa akan meledakkan kantor bupati. Pikirkan ada ratusan bahkan ribuan jamaah salat di sana yang akan jadi korban. Abang yakin mereka tidak main-main. Mereka serius dengan ancamannya. Kita sangat tahu gerakan mereka selama ini ...,"
"Nah, udah tahu mereka gak main-main, kenapa Abang mau pergi juga? Kalau misalnya Abang lagi ceramah lalu mereka meledakkan juga, bagaimana dengan Abang? Abang yang akan jadi korban. Abang akan ...." Tidak sanggup rasanya meneruskan perkataanku.
Abang tertawa. Aku merasa sangat kesal, di saat genting masih saja tertawa.
"Akan apa? Mati?" Abang tersenyum, "mati itu bukan urusan kita, Dek. Itu urusan Allah dan malaikatnya. Urusan kita berikhtiar dan berjuang dalam dakwah. Nah sekarang Abang sedang berdakwah dan berikhtiar agar jangan sampai mereka melaksanakan ancamannya dan menyebabkan banyak korban nyawa. Orang-orang yang tidak berdosa. Jadi, coba kamu pikirkan dengan hati lapang dan pikiran tenang."
Aku melotot, "hati lapang dan pikiran tenang? Abaaang, itu sedang menantang maut! Teros awak disuruh tenang? Enggak. Awak gak mau."
Aku melengos. Rasanya sangat kesal dan marah. Belum pernah aku semarah itu dengan abang.
"Dek," suaranya lembut membujukku, "kamu percaya kan pada takdir dan kehendak Allah? Kalau sudah waktunya abangmu ini mati. Gak harus ke Aceh. Tidur di tempat yang nyamanpun, tetap akan mati. Ajal kita tidak bisa ditawar walau sedetikpun dan tidak juga bisa dimajukan. Jadi serahkan pada Allah, yaa."
Aku masih diam. Rasanya masih tidak rela.
"Sekarang hubungi pihak DS minta maaf dan terangkan asbab pembatalan ini. Abang yakin mereka akan mengerti."
Akhirnya kuhubungi juga pihak Pemkab DS dan mereka mau mengerti tetapi meminta carikan gantinya pada abang.
Paska ceramah hari raya itu. Kami bercerita panjang lebar di rumah, bahagia rasanya melihat Abang kembali dengan sehat selamat.
"Gimana, Bang?"
"Alhamdulillah, semua aman dan lancar. Masyaa Allah ... Kamu tahu, Dek. Jamaah salat melimpah di lapangan itu. Ribuan yang ikutan salat. Rasanya abang begitu haru dan bahagia."
Ih, aku bukan bertanya hal itu. Aku yakin Abang juga tahu maksud pertanyaanku tapi sengaja ingin membuatku kesal.
"Bukan itu yang awak tanya, Bang. Bagaimana dengan komandan itu?"
Abang terkekeh. Wajahnya terlihat menahan geli.
"Iya abang tahu itu, hehe ... aman semua, Dek. Kamu tahu? Abang dijemput rombongan mereka di perbatasan Aceh dan Sumut. Abang dan jamaah yang mengantar diminta turun dari mobil yang mengantar lalu disuruh pindah ke mobil mereka. Sementara mobil pengantar dari Medan disuruh balik atau menunggu di perbatasan."
Aku melotot kaget dan was-was. Padahal Abang sudah di depanku.
"Waktu abang turun dari mobil, seorang laki-laki yang terlihat gagah menyambut abang dan langsung memeluk erat abang," abang diam sejenak, melihat wajahku yang panik, "dada dan pinggang abang berlaga dengan senjata di balik bajunya. Sepertinya senjata yang lumayan besar bukan sekedar pistol."
Aku bergidik ngeri.
"Saat masuk ke mobil, terlihat yang di mobil semua terlihat serius dengan baju terlihat senjata sejenis AK 47 menyembul dari dalam baju."
"Teros Abang diapain mereka?" Teriak kak Erna panik.
Abang terkekeh lagi.
"Enggak di apa-apain. Semua ternyata sangat ramah dan baik. Kan lihat sudah sampai rumah. Lagian gak ada masalah dengan dakwah. Semua berjalan lancar dan aman. Selesai dakwah mereka mengajak makan bersama. Enak kali masakannya, setelah itu mereka mengantar abang kembali ke perbatasan. Langsung diantar lagi sama sang komandan dan pasukannya."
Kami terdiam. Rasanya begitu dramatis bagi kami.
"Bang, lain kali jangan mau dakwah di sana lagi. Serem!" Kata adikku yang bungsu.
"Hah, kalian ini. Dengar ya. Dakwah itu gak boleh pilih-pilih siapa yang mau didakwahi atau daerah mana yang mau dikunjungi. Kalau semua ulama dakwah model begini. Maka Islam cuma akan ada di Mekkah saja, tidak akan berkembang ke Madinah dan seluruh dunia."
Kami diam memandang Abang yang jadi sangat serius.
"Kalau semua ulama takut mati, lah ngapain jadi ulama mendinglah jadi penulis, bisa dikerjakan sambil berondok di kamar. Ah, kalian ini, tak juga sadar kalau abang kalian ini sudah mewakafkan hidupnya untuk dakwah. Jadi jangan ini-ini saja yang selalu dibahas. Kapan pahamnya kalian?"
*****
Sejak itu kami tak lagi berani melarangnya berdakwah kemanapun Abang mau pergi. Berdakwah baginya adalah kewajiban, bahkan abang mengatur jadualnya untuk wajibkan dirinya keluar dalam ladang dakwahnya secara rutin dengan keluar dakwah 3 hari, 40 hari bahkan 4 bulan dengan teman-teman dakwahnya di Jamaah Tabligh. Di sana Abang akan merasakan nikmatnya berjalan, berkunjung dari rumah ke rumah mengajak orang untuk salat di mesjid dan memberikan bayan pada jamaah bada salat, tanpa ada sekat-sekat dan batasan di antara sesama. Mereka makan dari talam yang sama, tidur pada tempat yang sama, berjalan bersama, itu adalah kebahagiaan baginya.
Dakwah ke berbagai daerah konflik juga dilakoni dengan penuh suka cita. Tidak hanya di dalam negeri hingga nyaris ke seluruh dunia sudah dijalaninya. (Menurut Abang sudah lebih dari 30 negara ditempuhnya untuk berdakwah).
Bahkan menjelang kepergiannya Abang masih berbicara tentang dakwahnya tersebut ๐ญ
Medan, 28 Mei 2021
19 Syawal 1442 H
#TengkuZulkarnain_Kenangan