Mengapa Normalisasi Arab-Israel GAGAL Mencegah Serangan ke Palestina?

Israel GAGAL Mencegah Serangan ke Palestina Mengapa Normalisasi Arab-Israel GAGAL Mencegah Serangan ke Palestina?
Mengapa Normalisasi Arab-Israel GAGAL Mencegah Serangan ke Palestina?

Oleh: Pizaro (Jurnalis dan peneliti the Centre for Islam and Global Studies)

Di balik ramainya fakta-fakta kekejaman Israel atas Masjid Al-Aqsha dan Gaza, satu pertanyaan yang menggelitik banyak orang adalah: kemanakah suara negara-negara Arab yang baru saja melakukan normalisasi dengan Israel?

Jika jawabannya hal itu berada di balik kecaman yang dialamatkan Uni Emirat Arab, Bahrain, kepada Israel. Maka, sebuah NGO di Eropa pun bisa melakukannya tanpa normalisasi, bahkan dengan menggorganisir aksi massa menuntut pertanggungjawaban Israel.

Dalam pernyataan bersama normalisasi yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump, PM Israel Benyamin Netanyahu, dan Menlu UAE Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan, dikatakan bahwa: "Terobosan diplomatik bersejarah ini akan memajukan perdamaian di kawasan Timur Tengah dan merupakan bukti diplomasi dan visi yang berani dari ketiga pemimpin dan keberanian Uni Emirat Arab dan Israel yang memetakan jalur baru yang akan membuka potensi besar di wilayah tersebut.”

Namun realitanya, alih-alih dapat memberikan rasa aman kepada Palestina, Netanyahu tetap ngotot untuk membangun pemukiman illegal di Tepi Barat. 

Kasus terakhir adalah pengusiran paksa kepada 4 keluarga Palestia di Syekh Jarrah Yerusalem atas mandat pengadilan Israel di mana ini terkait dengan modus zionis untuk menempatkan 200 pemukiman illegal baru di Syekh Jarrah. 

Kondisi ini tentu menyimpan perih karena mengulangi kembali pahitnya nasib 28 keluarga Palestina di Syekh Jarrah yang harus terusir pada tahun 1956.

Pernyataan yang dikeluarkan UEA juga sebatas “prihatin” dan “mengutuk”, yang tidak lebih setara dengan sikap yang dikeluarkan oleh sebuah negara Asia Tenggara seperti Singapura.

Problem utama dari normalisasi Arab-Israel adalah perjanjian itu tidak pernah benar-benar di-design sebagai bentuk perjuangan nyata membela Palestina. 

Secara ontologis, normalisasi ini sendiri sudah melanggar konsensus Arab Peace Initiative 2002, yang diusulkan Liga Arab dan ditegaskan kembali pada KTT Liga Arab pada 2017.

Konsensus yang diteken Liga Arab pada 20 tahun lalu itu menyerukan Israel untuk menarik diri dari wilayah pendudukan ke batas-batas yang ada sebelum perang 1967. Sebagai gantinya, negara-negara Arab akan berkomitmen untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

Dalam pertemuan darurat Liga Arab yang digelar baru-baru ini, blok itu juga gagal menekan negara-negara kunci tidak hanya atas kebisuan mereka, tetapi juga atas kegagalan memanfaatkan posisi untuk meredam kekerasan yang dilakukan Israel atas Masjid Al-Aqsha, hak-hak bangsa Palestina, dan serangan udara ke Gaza.

Lalu apakah arti dari normalisasi ini? Najlah Shahwan, tokoh perempuan Palestina, memiliki jawabannya. 

Bagi Trump dan Netanyahu, kata Shahwan, normalisasi ini adalah bentuk kemenangan politik yang sangat dibutuhkan untuk meredam gejolak dari dalam negeri atas sumbu peperangan yang terus berkobar di Palestina.

Sedangkan bagi Mohamed Bin Zayed Al Nahyan, normalisasi adalah kesempatan untuk meningkatkan pengaruhnya dalam perebutan kekuasaan di kawasan dengan mengamankan posisi sekutu barunya serta akses ke militer dan teknologi keamanan.[fb]
Share Artikel: