Hanya orang Mabok dan Pikirannya Ngawur yang Ingin Presiden 3 Periode
[PORTAL-ISLAM] Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto menjelaskan, pembatasan jabatan presiden sudah tertuang jelas dalam konstitusi.
Pertama, yakni Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen di Pasal 7.
Kemudian, aturan yang sama juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Di kedua aturan tersebut, masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur tidak lebih dari dua periode.
Otomatis, jika dipaksakan, gagasan jabatan presiden 3 periode itu jelas-jelas tidak sesuai dengan Undang-Undang.
“Dan ahistoris dengan perjuangan mahasiswa, pemuda, dan segenap rakyat Indonesia di tahun 1998,” ujarnya kepada RMOL, Minggu (20/6/2021).
Karena itu, Satyo pun mempertanyakan motif pihak-pihak yang memunculkan gagasan presiden 3 periode.
“Hanya orang ‘mabok’ dan pikirannya ngawur menginginkan jabatan presiden 3 periode,” tegasnya.
Sebaliknya, Satyo menilai Jokpro 2024 yang menyuarakan gagasan tersebut bisa diproses hukum.
Bukan hanya melanggar UU, tapi juga berbahaya karena memprovokasi tatanan demokrasi dan berpotensi membenturkan masyarakat.
“Kejagung dan Mabes Polri bisa memanggil mereka untuk diinterogasi terkait motif dan pelanggaran UU secara terbuka,” ujar Satyo.
“Mereka juga membahayakan posisi presiden yang sedang berkuasa,” sambungnya.
Cuma Pembenaran
Sementara, pengamat komunikasi politik Jamiluddin Ritonga menilai kehawatiran Jok-Pro 2024 itu tampaknya sangat spekulatif.
Sebab, polarisasi ekstrem pendukung Jokowi dan Prabowo yang dikenal dengan cebong dan kampret itu seharusnya sudah teratasi dengan bergabungnya Prabowo ke Pemerintahan Jokowi.
Selain itu, bergabungnya Sandiaga Uno ke Pemerintahan Jokowi juga seharusnya semakin melenyapkan polarisasi tersebut.
Akan tetapi nyatanya, cebong dan kampret tetap saja bertarung di media sosial.
“Cebong dan kampret terus berhadap-hadapan dalam konfrontasi yang terkesan tidak berujung,” kata Jamiluddin kepada JPNN.com, Minggu (20/6/2021).
Dosen Universitas Esa Unggul menilai, polarisasi anak bangsa tidak akan selesai hanya karena menyatukan Jokowi dan Prabowo sebagai pemimpin Indonesia.
Pasalnya, bisa saja mereka saat itu memilih Jokowi karena tidak menyukai Prabowo. Demikian juga sebaliknya.
“Meskipun Prabowo sudah masuk kabinet Jokowi, mereka yang kerap disebut kampret tetap saja mengeritik Jokowi. Mereka tetap saja menunjukan ketidaksukaannya kepada Jokowi,” ujar Jamiluddin.
Karena itu, Jamiluddin menilai kehadiran Jok-Pro 2024 bukan untuk menetralisir polarisasi ekstrim di Indonesia pasca-Pilpres 2019.
Menurutnya, hal itu hanya jadi pembenaran untuk menggolkan presiden tiga periode. (pojoksatu)