MEMBONGKAR! Klaim “Program Kartu Prakerja Dipastikan Sudah Diaudit BPK Hingga KPK”
Hari ini ada berita begini: “Program Kartu Prakerja Dipastikan Sudah Diaudit BPK Hingga KPK”.
Sekilas tampak indah sebagai realisasi janji seorang presiden yang katanya ‘orang baik’ itu.
Klaim dari berita itu luar biasa.
Kata Manajemen Pelaksana, program Kartu Prakerja sudah “menjalani audit reviu dan evaluasi mulai dari Inspektorat Jenderal Kemenko Perekonomian, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).”
Bahkan disebut KPK telah mengirimkan surat yang berisi penilaian bahwa seluruh saran perbaikan KPK yang telah disepakati telah diimplementasikan.
Para peserta pun diklaim. Katanya, Kartu Prakerja memiliki skema berbeda, karena dana dari APBN untuk penerima manfaat langsung masuk ke rekening peserta.
Yang bicara adalah Direktur Hukum, Umum dan Keuangan Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Sidiq Juniarso. Dia orang Kemenkeu, bekas menjabat Kepala Kantor Pajak di beberapa tempat.
Tak usah pedulikan Itjen dan BPKP. Mereka bagian eksekutif, pasti turut perintah. Tapi BPK dan KPK?
Betulkah semudah itu menentukan suatu program APBN bebas penyelewengan dan korupsi? Lewat surat macam itu? Kapan BPK mengaudit? Mana Laporan Hasil Pemeriksaannya? Kapan KPK melakukan penyelidikan atas laporan korupsi Prakerja?
Anggaran Prakerja itu Rp20 triliun/tahun. Pesertanya 5,6 juta orang/tahun. Dari uang Rp20 triliun itu, Rp5,6 triliun dialokasikan untuk biaya pelatihan dengan cara beli video di 8 platform digital. Sisanya Rp14,4 triliun memang untuk subsidi peserta Rp2,4 juta (4 bulan). Program berlangsung sampai sekarang. Alokasi APBN-nya sama kayak tahun lalu. Rp5,6 triliun juga.
Sebenarnya duit Rp5,6 triliun tersebut cuma ‘numpang lewat’ di rekening virtual peserta. Rp1 juta/orang. Duit itu harus dibelikan video pelatihan sebelum terima insentif Rp600 ribu/bulan selama 4 bulan. Duit ditransfer ke rekening perusahaan platform digital yang menjadi mitra.
Ini mereka:
- PT Ruang Raya Indonesia (Ruangguru) ===> Lippo Group salah satu pemegang saham. Berita menyebut baru tahun 2020, Ruangguru meraih profit.
- PT Avodah Royal Mulia (Maubelajarapa)
- PT Tokopedia (Tokopedia) ===> Sudah merger dengan Gojek menjadi GoTo. Gojek/PT Aplikasi Karya Anak Bangsa mengendalikan PT Dompet Karya Anak Bangsa (Gopay)===> Pemegang 21,4% saham Bank Jago (ARTO) yang dikendalikan oleh Jerry Ng via PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia dan Patrick Waluyo (Northstar Group) via Wealth Track Technology. Northstar juga pemegang saham Gojek. Nadiem Makarim, Mendikbud, pemegang saham Gopay dan Gojek.
- PT Bukalapak.com (Bukalapak) ===> Punya Grup Emtek. Agustus nanti mau IPO Rp11 triliun. Pendiri Bukalapak Fajrin Rasyid sekarang Direksi Telkom.
- PT Sekolah Integrasi Digital (Sekolahmu) ===> Dirut Najeela Shihab, kakak presenter Najwa Shihab.
- PT Haruka Evolusi Digital Utama (Pintaria)===> Pemegang saham pengendalinya Harukaedu PTE. LTD, cangkang di Singapura.
- BUMN PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Pijar Mahir)
Ada tidak satu saja orang pemerintah sampai hari ini yang bicara perusahaan apa laku berapa video, uangnya berapa, komisinya berapa? Tidak ada.
Ayo, silakan Presiden atau Menkeu langsung yang umumkan. Biar sakit sekalian hati rakyat ini di tengah meningkatnya kasus COVID dan betapa sulitnya cari uang saat ini.
Jadi, saudara-saudara sekalian, duit Rp5,6 triliun itu hanya lewat tangan peserta lalu ditransfer ke rekening perusahaan-perusahaan itu. Rp5,6 triliun itu duit besar. Cukup untuk modal jadi bandar di bursa.
Atas ‘peran’ mereka yang besar dalam program ini, mereka boleh ambil komisi jasa 15% maksimal, sesuai dengan izin Perpres yang diteken Jokowi.
Sisanya baru disalurkan ke lembaga-lembaga pelatihan (200-an lembaga), itu pun kalau tidak bocor di mana-mana.
Kenapa saya cerewet sekali soal Rp5,6 triliun itu karena bagi saya tidak perlu negara keluar duit sebanyak itu untuk sebuah kegiatan semacam broker.
Yang saya maksud, mengapa tidak menggunakan saja satu platform formal yakni Sisnaker dan GRATIS.
Jika pun mau pelatihan daring/luring, buatlah merata sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah masing-masing. Memangnya dipikir orang-orang di daerah tidak bisa bikin website/video pelatihan Prakerja.
Kalau mau melakukan digitalisasi, berbasislah daerah, melibatkan BLK-BLK, pelaku kursus/pelatihan, pengusaha setempat dll supaya sekalian ada kesinambungan berupa program pemagangan. Itu baru berpihak kepada rakyat dan mengembangkan ekonomi daerah. Kebutuhan tenaga kerja menyesuaikan dengan kondisi, situasi, karakter, dan budaya daerah.
Jangan pukul rata seolah-olah Jakarta paling bisa bikin video dan website.
Itu baru program nasional digitalisasi ketenagekerjaan. Jangan duit Rp5,6 triliun/tahun hanya pinjam tangan peserta untuk diterima segelintir swasta. Dapat komisi pula!
Jangan bicara soal survei-survei yang mengklaim kemampuan peserta meningkat. Itu survei jenis apa, siapa saja respondennya, teknisnya bagaimana. Lihat dulu. Publikasi bisa dibuat indah tapi fakta tidak selalu seindah itu.
Tidak usah jauh-jauh. Dulu Presiden Jokowi sampai menjanjikan peserta Prakerja bisa kerja di Pertamina. Nyatanya nol besar. Lidah tak bertulang.
Sekarang, asal tahu saja, justru salah satu mantan Direktur Prakerja yang dipromosikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi Direksi BUMN Pupuk Indonesia. Hitung saja gaji dan tantiemnya.
Tahu desas-desus yang saya dengar? Dia kerap diledek tidak bisa kerja karena, katanya, mungkin baru sebatas lulusan Prakerja.
Jujur, saya saja yang tidak digaji negara sebagai pimpinan/anggota BPK dan KPK, tersinggung atas klaim Manajemen Prakerja itu. Seharusnya pimpinan/anggota BPK dan KPK lebih tersinggung lagi atas klaim mereka itu. Usut-lah sampai ke tetesan terkecilnya.
Kalau tidak bisa diusut pada pemerintahan sekarang, mungkin nanti dan nanti dan nanti pada saat titisan Mpu Sendok memimpin negara ini, kelakuan mereka-mereka itu bisa dijerat oleh hukum yang adil.
Entah siapa titisan itu. Saya tidak tahu.
Sejarah akan jadi saksi.
Salam 5,6 Triliun.
(Agustinus Edy Kristianto)