Diskon Janggal Eksekusi Djoko Tjandra

Pengadilan Tinggi Jakarta memotong sanksi bagi Djoko Soegiarto Tjandra Diskon Janggal Hukuman Djoko Tjandra
Dalih Mengada-ada Putusan Banding Djoko Tjandra

Pengadilan Tinggi Jakarta memotong sanksi bagi Djoko Soegiarto Tjandra, terdakwa permasalahan penyuapan pejabat di Kejaksaan Agung dan Polri, dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara. 

Dalih hakim banding merenggangkan vonis—bahwa Djoko pernah menjalani sanksi selaku terpidana korupsi hak tagih Bank Bali—dinilai janggal dan mengada-ada. Komisi Yudisial akan mengkaji putusan hakim yang juga merenggangkan sanksi bagi jaksa Pinangki Malasari pada Juni lalu.

Sejumlah kelompok menganggap putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali mengoyak rasa keadilan. Setelah memotong sanksi jaksa Pinangki Sirna Malasari, majelis hakim—dengan komposisi orang yang nyaris sama—memangkas sanksi koruptor Djoko Tjandra.

Terdakwa permasalahan penyuapan sejumlah pejabat di Kejaksaan Agung dan kepolisian ini memperoleh potongan sanksi sebanyak 1 tahun penjara, dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun, di pengadilan tingkat banding. Hakim merenggangkan sanksi Joko Tjandra dengan argumentasi beliau sudah menjalani pidana penjara dalam permasalahan cessie Bank Bali. Alasan lain, Joko Tjandra sudah menyerahkan dana yang ada di escrow account Bank Bali sebesar Rp 546 miliar.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap hakim terlalu mencari-cari hal untuk dijadikan argumentasi yang merenggangkan bagi Joko Tjandra. Menurut dia, hakim semestinya mengakibatkan perbuatan Joko, yang melakukan korupsi hak tagih Bank Bali, selaku argumentasi pemberat. "Enggak ada yang meringankan. Itu memberatkan bahwa beliau mengulangi kejahatan," kata Feri terhadap Tempo, Rabu (28/7/2021).

Ia menyampaikan putusan ringan terhadap Joko Tjandra merupakan potongan dari rangkaian untuk menghasilkan mati gerakan antikorupsi. Tidak cuma institusi KPK yang bermasalah, tataran implementasi semangat antikorupsi dalam bentuk sanksi juga tak lagi relevan. "Ini degradasi, penurunan dalam perlawanan terhadap koruptor," ujar Feri.

Menurut Feri, fenomena potong sanksi koruptor tersebut menampilkan bahwa dikala ini Indonesia berada pada titik paling rendah pemberantasan korupsi. Upaya operasi tangkap tangan, pengembangan kendala korupsi, ujungnya senantiasa tergambar dari putusan peradilan.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding terdakwa Joko Tjandra dalam permasalahan suap status red notice yang menjerat jaksa Pinangki Sirna Malasari, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, dan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo. Pengadilan meminimalkan sanksi Joko dari semula 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 3 tahun 6 bulan.

Situs resmi Mahkamah Agung, kemarin (28/7/2021), menyebutkan Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp 100 juta dengan ketentuan, apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Sebelumnya, majelis hakim tindak kriminal korupsi memvonis Joko Tjandra dengan 4 tahun 6 bulan penjara.

Pemotongan sanksi Joko Tjandra yang kontroversial ini menghasilkan majelis hakim yang menegaskan kendala banding tersebut menjadi sorotan. Apalagi empat dari lima hakim yang menanggulangi banding Joko merupakan mereka yang juga memotong sanksi jaksa Pinangki di tingkat banding pada pertengahan Juni lalu.

Majelis hakim yang menanggulangi banding Joko Tjandra merupakan Muhamad Yusuf selaku hakim ketua, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Reny Halida Ilham Malik. Sedangkan majelis hakim banding jaksa Pinangki merupakan Muhamad Yusuf selaku hakim ketua, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyampaikan ada yang janggal dalam pertimbangan hakim dalam memberi dispensasi sanksi terhadap Joko. Dalam amar putusannya, hakim menyampaikan hal-hal yang merenggangkan Joko, antara lain, alasannya merupakan ia sudah menjalani sanksi atas permasalahan hak tagih Bank Bali. “Pertimbangan semacam itu tidak sanggup dibenarkan,” kata Kurnia.

Menurut Kurnia, hakim sebaiknya menawan mundur dikala Joko Tjandra kabur sebelum menjalani hukuman. Sebab, selama menjadi buron, Joko melakukan kejahatan suap terhadap jaksa dan perwira tinggi Polisi Republik Indonesia biar sanggup lepas dari hukumannya.

Menurut Kurnia, hal-hal itu semestinya menjadi aspek pemberat. "Semua kejahatan suap Pinangki dan perwira tinggi Polisi Republik Indonesia yang melibatkan Joko Tjandra ditangani dikala proses pelarian diri. Hakim menutup mata soal itu,” ucap dia.

Sebelum menjadi terdakwa penyuapan sejumlah pegawapemerintah penegak hukum, Joko menjadi terpidana korupsi hak tagih Bank Bali. Ia divonis bersalah dan dieksekusi selama 2 tahun oleh Mahkamah Agung pada 11 Juni 2009. Namun, sehari sebelum putusan dibacakan, Joko kabur ke Papua Nugini.

Joko lantas menjadi buron selama belasan tahun. Pada Juni tahun lalu, Joko tertangkap lembap menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar US$ 500 ribu untuk mengelola pemikiran Mahkamah Agung atas permasalahan aturan yang dihadapinya. Permintaan pemikiran MA dari Kejaksaan Agung itu berniat biar Joko sanggup kembali ke Indonesia tanpa mesti dieksekusi pidana 2 tahun penjara menurut putusan peninjauan kembali nomor 12 tertanggal 11 Juni 2009.

Selain itu, Joko Tjandra terbukti menyuap dua perwira polisi, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, untuk meniadakan red notice di Imigrasi. Ia menampilkan Sin$ 200 ribu dan US$ 370 ribu terhadap Napoleon serta US$ 100 ribu terhadap Prasetijo Utomo. Atas perbuatan itu, Joko divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan dieksekusi 4 tahun 6 bulan penjara.

Tak terima atas vonis itu, Joko mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Rabu pekan lalu, putusan banding Joko keluar, hukumannya didiskon satu tahun.

Komisi Yudisial akan mengkaji putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengabulkan banding Joko Tjandra. "KY sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan anotasi terhadap putusan akan mengkaji putusan itu," kata juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting.

Ia belum sanggup menegaskan waktu yang dikehendaki untuk mengkaji putusan terhadap Joko Tjandra itu. Saat ini, kata dia, Komisi sedang menghimpun semua isu secara lengkap. Tak cuma permasalahan ini, Komisi Yudisial akan mengkaji beberapa putusan lain. "Ini akrab kaitannya dengan iktikad penduduk terhadap kehormatan hakim dan integritas pengadilan," kata Miko.

(Sumber: Tempo)
Share Artikel: