Mee: Perdana Menteri Tunisia Dipukuli Di Istana Presiden, Dipaksa Oke Mengundurkan Diri Sebelum Kudeta

Perdana Menteri Tunisia diserang di istana sebelum perebutan kekuasaan MEE: Perdana Menteri Tunisia Dipukuli di Istana Presiden, Dipaksa Setuju Mengundurkan Diri Sebelum Kudeta
[PORTAL-ISLAM] Perdana Menteri Tunisia diserang di istana sebelum kudeta.

Sumber menginformasikan Middle East Eye (MEE) bahwa Perdana Menteri Hichem Mechichi diserang secara fisik sebelum beliau oke untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Perdana Menteri Tunisia Hichem Mechichi diserang secara fisik di istana presiden pada Minggu malam (25/7/2021) sebelum beliau oke untuk mengundurkan diri dari jabatannya, sumber yang akrab dengan perdana menteri menyampaikan terhadap Middle East Eye.

Kondisi luka-lukanya tidak sanggup diverifikasi lantaran Mechichi sendiri belum terlihat di depan umum.

MEE mengenali bahwa cedera yang diderita lelaki berusia 47 tahun itu "signifikan", menurut sumber yang mengenali duduk kasus tersebut.

"Dia mengalami luka di wajah, itulah sebabnya beliau tidak timbul [di depan umum]," kata salah satu sumber.

Mechichi diundang ke istana kepresidenan pada hari Minggu di mana Presiden Kais Saeid memecatnya dari jabatannya, menginformasikan pembubaran dewan legislatif dan menggantikan otoritas eksekutif sehabis hari protes anti-pemerintah yang tegang.
 
Sumber yang akrab dengan perdana menteri menerangkan terhadap MEE bahwa kepala keselamatan yang menemaninya ke istana bukan penggalan dari rencana kudeta.

Rached Ghannouchi, ketua dewan legislatif dan pemimpin partai Islam moderat Tunisia Ennahda, menyingkir dari panggilan lantaran beliau gres saja keluar dari rumah sakit wilayah beliau dirawat lantaran Covid-19.

Menurut sumber tersebut, Mechichi, yang ialah opsi Saied selaku perdana menteri, diminta sekali lagi pada hari Minggu untuk mundur.

Dia hingga di saat itu beberapa kali menolak untuk mengundurkan diri dalam perkelahian yang meletus atas pengangkatan empat menteri dalam pemerintahannya.

Sumber menyampaikan bahwa di saat Mechichi menolak, beliau dipukuli. MEE lebih lanjut mendapat isu bahwa ada "non-Tunisia" di istana pada di saat itu.

MEE melaporkan orang-orang yang datang yaitu pejabat keselamatan Mesir yang sudah memberi pesan tersirat terhadap Saied sebelum perebutan kekuasaan dan mengarahkan operasi yang sedang berlangsung. Tidak terang kiprah apa yang mereka mainkan dalam interogasi Mechichi.

"[Presiden Mesir Abdel Fattah el-] Sisi menampilkan untuk memberi Saied semua sokongan yang beliau perlukan untuk perebutan kekuasaan dan Saied menerimanya," kata salah satu sumber.

"Anggota militer dan keselamatan Mesir dikirim ke Tunisia dengan sokongan sarat dari MbZ [Mohammed bin Zayed, Putra Mahkota Abu Dhabi]," tambah sumber itu.

Mechichi kemudian dilaporkan sudah mengangkat tangannya dan oke untuk mengundurkan diri. Pada di saat itu, kepala keamanannya juga menyepakati pernyataan presiden.

Mechichi kemudian kembali ke tempat tinggal di mana beliau membantah laporan ke media setempat bahwa beliau berada di bawah tahanan rumah.
 
MEE mengontak kepresidenan Tunisia dan Mechichi untuk menyampaikan respon tapi tidak memberi respon hingga postingan dipublikasi.

Kudeta Sudah Dirancang Berbulan-bulan

Langkah-langkah perebutan kekuasaan yang dijalankan pada hari Minggu mengikuti rencana langkah-langkah yang digariskan oleh penasihat akrab Saied pada bulan Mei dan diterbitkan oleh MEE pada di saat itu.

Rencana tersebut menguraikan pencucian atau gelombang penangkapan massal yang hendak terjadi sehabis pengumuman apa yang disebut selaku "kudeta konstitusional".

Dokumen itu menyampaikan Saied akan mendeklarasikan "kediktatoran konstitusional" yang menurut penulis dokumen itu yaitu alat untuk "mengkonsentrasikan semua kekuasaan di tangan Presiden Republik".

Ini kemudian menguraikan sasaran untuk pencucian musuh politik. Dokumen itu menyampaikan orang-orang kunci akan diposisikan di bawah tahanan rumah. “Dari Partai Ennahda… Nur Al-Din Al-Bahiri, Rafiq Abd Al-Salam, Karim Al-Haruni, Sayyid Al-Ferjani, Deputi Blok Al-Karama, Ghazi Al-Qarawi, Sufian Tubal, pengusaha, penasehat di Pengadilan Perdana Menteri, dll."

Pihak kepresidenan mulanya membantah eksistensi dokumen tersebut, sebelum Saied sendiri mengaku sudah membacanya. Dia kemudian mengklaim dalam sambutannya di televisi bahwa beliau tidak sanggup dimintai pertanggungjawaban atas anjuran yang beliau terima.
 
Namun, sumber kepresidenan menyampaikan terhadap MEE bahwa Saied menginstruksikan para pejabatnya untuk menyusun daftar sasaran orang-orang yang sanggup ditangkap.

Untuk membuka jalan bagi hal ini, Saied menggantikan kontrol pengadilan sipil dan militer dan menyatakan dirinya selaku jaksa agung.

Dalam suatu dekrit yang dikeluarkan Selasa malam (27/7/2021), Saied memecat Brigadir Jenderal Hakim Tawfiq al-Ayouni, yang mengepalai pengadilan militer.

Presiden juga memberhentikan sejumlah pejabat senior pemerintah, tergolong sekretaris jenderal pemerintah, eksekutif kantor perdana menteri dan sejumlah penasihat.

Namun, langkah tersebut menghadapi perlawanan institusional, dengan Dewan Kehakiman Tertinggi menolak keputusan Saied untuk menempatkan dirinya selaku pejabat aturan senior pemerintah yang efektif.

Dewan menyampaikan dalam suatu pernyataan sehabis berjumpa dengan Saied bahwa mereka menekankan independensi peradilan dan "kebutuhan untuk menjauhkannya dari semua perkelahian politik, dan bahwa hakim independen, dan tidak ada otoritas atas mereka dalam peradilan mereka kecuali hukum, dan mereka mengerjakan tugasnya dalam ruang lingkup konstitusi".

Komentar dewan itu timbul di saat pasukan keselamatan Tunisia dilaporkan sudah menggerebek rumah Rached Khiari, seorang anggota dewan legislatif yang sebelumnya bertikai dengan Saied. Menurut laporan lokal, anggota dewan legislatif itu tidak di rumah pada di saat penggerebekan.

Pada bulan April, Khiari mempublikasikan suatu video di halaman Facebook-nya yang menuduh Saied memperoleh sokongan dan dana abnormal untuk memajukan harapannya mengungguli penyeleksian presiden 2019.

Khiari mengklaim bahwa beliau memiliki dokumen dan video yang menampilkan Saied sudah memperoleh $5 juta lewat manajer kampanyenya, Fawzi al-Daas, dari seorang perwira intelijen yang melakukan pekerjaan di kedutaan AS di Paris.

Kedutaan AS di Tunisia membantah klaim Khiari, sementara Daas mengajukan permintaan aturan terhadapnya.

(Sumber: MEE)
Share Artikel: