Nolong Rakyat Susah, Pemerintah Merasa Rugi

 yang erat dengan golongan elit Indonesia tahun  Nolong Rakyat Susah, Pemerintah Merasa Rugi
Ditulis Oleh: Pemerhati Sejarah, Arief Gunawan*

Arnold Brackman wartawan United Press yang erat dengan golongan elit Indonesia tahun ‘40-an menggambarkan budpekerti para pendiri Republik ini lazimnya berpandangan maju (enlightened), dan suka bederma terhadap kemanusiaan. Mereka lazimnya tidak kikir dan tidak pelit terhadap rakyat.

Husni Thamrin menyumbang kekayaannya buat kaum Betawi. Bikin stadion sepakbola pertama di tempat Petojo, Jakarta, dan menolong keuangan Sukarno dikala masuk keluar penjara.

Wahidin Sudirohusodo mendermakan penghasilannya untuk studiefonds belum dewasa miskin. Cipto Mangunkusumo dokter rakyat naik sepeda keliling kampung. Waktu pandemi pes, 1910, melanda, ia pungut anak sebatang kara yang dikasih nama Pesyati.

Sultan HB IX menghibahkan tanah keraton buat kampus pertama UGM. Waktu ibukota pindah ke Jogja alasannya yakni Agresi, ia sukarela menampilkan honor terhadap para pejabat Republik.

Dewi Sartika menyumbang emas dan harta kekayaannya. Gugur di tengah rakyat dikala dalam pengungsian. Elit setempat Aceh dan rakyat Serambi Mekkah menyumbang berlian, logam mulia, dan sebagainya, terhadap Republik. Sehingga Sukarno memuji Aceh “Daerah Modal”. Darinya dibelilah Seulawah, pesawat pertama Garuda yang sekarang mau bangkrut.

Di masa sulit elit politik Indonesia menyumbang beras ribuan ton buat India yang kelaparan. Sebagai akibat kita sanggup tekstil buat seragam tentara.

Suka bederma terhadap kemanusiaan dan enlightened.

Kemanusiaannya ada sejak di hati, pikiran, dan tindakan.

Bagaimana dengan elit politik Indonesia hari ini?

“Pelit sama rakyat. Nolong rakyat susah, malah merasa rugi!” kata tokoh nasional Dr Rizal Ramli.

Untuk menangani pandemi Covid-19 Rizal Ramli sejak sementara waktu yang kemudian umpamanya menyarankan pemerintah biar memberlakukan lockdown.

Berdasarkan hitungan ekonom senior ini untuk lockdown sebulan dan kasih makan sekitar 70 juta keluarga, per kepala keluarga @Rp1,5 juta. Cuma menghabiskan budget Rp 105 triliun.

Kalau tiga bulan diberlakukan lockdown cuma Rp 315 triliun, plus dana untuk obat sekitar Rp 100 triliun. Total Rp 415 triliun.

“Tapi memang dasar pelit sama rakyat! Kalau oligarki, eksklusif dikasih banyak sekali dispensasi dan kemudahan. Bener-bener payah!“ tandas Rizal Ramli.

Rizal yang sejak muda erat dengan rakyat kecil kemudian membagikan rumus sederhana terhadap pemerintahan Jokowi biar mendapat simpati dari rakyat.

“Rumus mendapat simpati rakyat: jikalau rakyat perutnya kenyang, maka hatinya damai dan pikirannya gembira. Begitupun sebaliknya. Kalau perutnya kosong, pikirannya dan hatinya sanggup kemana mana. Bisa berpeluang melakukan hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Rizal Ramli.

Ia menekankan, penyelesaian untuk mempercepat pemutusan mata rantai Covid-19 yakni dengan lockdown. Kalau timbul varian gres mesti kembali lockdown.

Esensinya sederhana, tetapi yang terjadi pemerintah malah mengubah-ubah kebijakan dan sekedar gonta-ganti perumpamaan seumpama PSBB sampe PPKM dan seterusnya.

Seluruh negara di dunia, kata Rizal Ramli, menggunkan seni administrasi lockdown on-off dan vaksinasi yang benar dalam penanganan pandemi Covid-19. Karena itu mereka lebih gampang mengendalikannya.

“Seluruh dunia pakai lockdown on-off dan vaksinasi. Lebih cepat mengatur covid. Ekonomi sanggup pulih lebih cepat. Cara-cara lain yang bertele-tele, cuma gonta-ganti istilah, menghasilkan ongkos sosial, finansial dan hemat berkali-kali lebih mahal. Tahun 2020 untuk menangani Covid pemerintah telah ngabisin Rp 1035 triliun, tetapi jadinya nol besar!" tegas Rizal Ramli.

*Sumber: Kedaipena

Share Artikel: