[Kisah Nyata] Laki-Laki Misterius Yang Naik Vespa, Inikah Malaikat Yang Diutus Allah Untuk Membantu Hambanya?

Besar kemungkinan bapak yang pakai vespa ini yaitu malaikat yang diutus Allah untuk menol [KISAH NYATA] Lelaki Misterius Yang Naik Vespa, Inikah Malaikat Yang Diutus Allah Untuk Menolong Hambanya?
[PORTAL-ISLAM] Besar kemungkinan bapak yang pakai vespa ini yaitu malaikat yang diutus Allah untuk membantu perjaka ini.

Amal zahir yang ditangani perjaka ini yaitu bakti terhadap ibu, membantu nyawa ibunya, dan itu amal tidak ada bandingannya lagi.

Biasanya sumbangan Allah memang akan tiba di saat seseorang sudah pasrah TAPI TIDAK MENGELUH DAN TIDAK MENYERAH. 

Ingat kata kuncinya tidak mengeluh dan tidak mengalah sehingga tidak menyalahkan sana sini. Usaha saja hingga batas yang Allah tentukan.

Itulah yang ditangani Siti Hajar di saat berupaya mencari air buat anaknya Nabiyyullah Ismail. Dia lari terus usaha, meski tak ada hasil. tujuh kali keliling shafa dan Marwah demi kerja keras tanpa menyerah, kesannya sumbangan Allah pun datang. Jibril turun menggali sumur zamzam.
=========================

BERIKUT KISAH NYATA LELAKU MISTERIUS YANG NAIK VESPA...

Kisah nyata

Penulis sendiri yang mengalami.

Dulu sekitar tahun 2007

Aku lupa bulan apa waktu itu. Yang niscaya di saat itu ibuku sedang mengalami krtitis dan di rawat di suatu rumah sakit di Bogor. Ibuku mengalami pendarahan alasannya keguguran. Menurut keterangan dokter, darah ibuku sudah habis setengahnya, dan mesti secepatnya ditransfusi darah.

Dokter memanggilku, "Mas, ibunya mesti secepatnya ditransfusi darah. Ibu butuh sekitar enam kantong. Kebetulan di rumah sakit ini, stok darahnya sedang kosong. Jadi, mas mesti ambil darahnya di bank darah yang di Indraprasta, kalo ga ada juga, terpaksa, mas mesti ke Kramat Jati. Tapi, kemungkinan ibunya mas, cuma sanggup bertahan satu jam dari sekarang. Nanti saya buatkan surat pengirim pengambilan darahnya," dokter itu menerangkan panjang lebar.

"Baik, dok," cuma itu yang sanggup saya jawab.

Bagai disambar petir, sehabis menyimak klarifikasi dokter itu.

Saat itu, saya betul betul dilanda kebingungan dan rasa kalut yang amat sangat. Cemas, alasannya menyaksikan keadaan ibuku yang sudah tak sadarkan diri dan kritis. Bingung, alasannya di saat itu, saya sama sekali tidak memegang duit sepeserpun.

Bagaimana saya sanggup hingga ke bank darah dalam satu jam, itupun pulang pergi, sementara, saya tak memegang duit sepeserpun. Di tambah lagi, apabila tak ada stock di bank darah indraprasta, saya mesti ke tempat tinggal sakit di kramat jati. Sungguh, tidak akan cukup waktunya.

Setelah mendapat surat pengirim dari dokter, saya bergegas pergi. Aku bertekad berlari hingga hingga ke bank darah tersebut. Sementara, di luar cuaca sudah sungguh gelap, dan bunyi gemuruh geledek sudah bersahutan, tanda hujan deras dan petir akan secepatnya turun. Aku tak peduli, yang ada dalam pikiranku di saat itu, bagaimana caranya saya mendapat darah sebanyak enam kantong dalam waktu optimal 45 menit. Hampir tidak mungkin saya lakukan. Jika menggunakan kendaraan saja, dari tempat cilendek ke indraprasta bogor itu sekitar 30 menit, itupun apabila kemudian lintas lancar.

Tapi, saya yakin akan kuasa Ilahi. Laa haula walaa quwwata Illabillah. Tiada daya dan upaya, kecuali atas sumbangan Allah.

Dari arah cilendek Bogor, saya terus berlari secepatnya ke arah jalan Manunggal, kemudian timbul di pertigaan cimanggu. Hujan mulai turun deras dibarengi kilat petir yang saling bersahutan. Aku tidak peduli. Aku terus berlari secepatnya tanpa henti. Naas, gres hingga jembatan cimanggu arah pondok rumput, napasku tak mempunyai pengaruh lagi untuk diajak berlari. Aku beranikan diri untuk menumpang suatu angkot ke arah warung jambu.

Aku berhentikan suatu angkot, dan angkot itupun berhenti.

"Bang, boleh minta tolong. Saya ikut sampe warung jambu. Saya mau ambil darah buat ibu saya, namun saya ga punya ongkos," melasku pada sopir angkot.

"Ayok, naik aja A, gapapa ko," jawab sopir angkot ramah.

Lalu saya duduk di kursi depan, samping sopir. Angkot melaju di tengah derasnya hujan. Aku sedikit menggigil, alasannya badanku memang sudah lembap kuyup.

Untung tak sanggup diraih, malang tak sanggup dielakkan. Ketika angkot melalui rel kereta api di Pondok Rumput, ada suatu motor dengan lengah, menabrak angkot yang saya tumpangi. Terjadilah tabrak ekspresi antara sopir angkot dan pengendara motor tadi.

"Bang, saya turun di sini aja. Terima kasih tumpangannya," kataku terhadap sang sopir angkot, di tengah tabrak ekspresi dengan pengendara motor. Lalu, akupun turun.

"Iya A," jawab sang sopir.

Dari rel kereta Pondok Rumput, saya terpaksa berlari lari di tengah hujan petir.

Aku terus berlari secepatnya menyusuri jalan Pemuda, hingga kesannya saya hingga di tempat warung jambu.

Kemudian, saya terus berlari ke arah PT Olimp*c untuk menuju bank darah.

Dengan tubuh yang sudah lembap kuyup dan napas yang ngos-ngosan, kesannya saya hingga juga di bank darah Indraprasta. Suasana begitu sepi sore ini.

Ketika saya masuk, dari arah bertentangan saya menyaksikan seorang lelaki setengah baya menangis sambil berlangsung keluar.

Lalu saya masuk ke dalam, kemudian mengeluarkan surat pengirim yang sudah saya lapisi kantong plastik sebelumnya agar tidak kebasahaan di saat hujan.

Dengan rasa letih dan detak jantung yang tak beraturan, saya hampiri suatu tempat yang menyerupai suatu loket.

"Mbak, saya mau ambil darah kelompok AB enam kantong, ini surat pengantarnya," ucapku dengan gemetar menahan cuek dan cemas.

"Sebentar ya mas, saya cek dahulu suratnya," ucap seorang penjaga perempuan dari dalam loket sambil mengambil surat dariku, kemudian membacanya.

Setelah selesai membaca surat tersebut, kemudian penjaga loket berkata, "mohon maaf, mas, untuk darah kelompok AB, stok kami sedang kosong. Barusan aja, bapak bapak, mau ngambil darah yang sama, ga ada mas. Sekali lagi kami mohon maaf."

Saat itu tubuhku benar lemas. Aku merasa menyerupai benar benar disambar petir.

Darah yang saya inginkan ada, ternyata kosong. Untuk ke pergi ke Kramat Jati, sungguh tidak mungkin untukku.

Aku mundur dan bersandar di tembok depan loket tadi. Tak sadar, tubuhku luruh. Aku terjongkok sambil menutup mukaku dengan kedua tanganku. Apakah, inilah waktunya saya mesti kehilangan ibuku.

"Ma, maafin aku. Aku ga berguna. Bahkan untuk mendapat darah saja, saya ga berhasil," ucapku pada diri sendiri sambil terisak tangis.

Aku benar benar pasrah di saat itu. Aku pasrah apabila mesti kehilangan ibuku.

Aku masih tetap menangis dengan posisi jongkok sambil menutup wajah degan kedua telapak tanganku.

"Mas, kenapa nangis," saya terkejut, tiba tiba ada bunyi di sampingku. Lalu saya menoleh ke arahnya. Terlihatlah seorang lelaki sekitar umur 40 tahuhan. Beliau terlihat tersenyum dan mukanya benar benar bersih.

"Saya mau ngambil darah, pak. Tapi darahnya gak ada," jawabku sambil tetap terisak.

"Buat siapa, mas, darahnya," berkata lagi lelaki di sampingku.

"Buat ibu saya, pak. Sedang kritis alasannya pendaharan."

"DBD, mas?"

"Bukan. Pendarahan alasannya keguguran."

"Coba saya liat surat pengantarnya, mas."

Lalu saya berika surat itu yg sudah lembap alasannya saya remas tadi tanpa saya sadari. Kemudian bapak tadi menghampiri loket.

"Mbak, coba tolong mas itu. Dia mau ambil darah buat ibunya," ucap bapak tersebut terhadap penjaga loket.

"Mohon maaf pak, untuk kelompok AB, stok kami sedang kosong. Sebelum mas itu aja, tadi ada orang mau ambil golongam darah yang sama, tidak ada pak," ucap perempuan penjaga loket.

"Coba di cek sekali lagi, mbak," pinta bapak tersebut setengah memaksa.

Lalu perempuan itu kembali ke dalam untuk menyelediki stok. Selang 5 menit perempuan itu kembali.

"Loh, kok ini ada ya pak. Pas lagi ada 6 kantong. Padahal sebelumnya, saya sudah cek dengan teliti. Tapi, emang ga ada stoknya," jawab perempuan tersebut dengan wajah keheranan.

"Yaudah. Berarti emang rejeki masnya," jawab bapak tadi dengan santai.

"Sebentar pak, saya siapkan dulu."

Aku yang mendengar percakapan mereka, tiba tiba merasa senang dan senang luar biasa. Aku menyaksikan jam dinding di ruangan itu. Ada yang aneh. Aku ingat betul, tadi dari rumah sakit, saya berangkat jam 16.05 atau 16.10. Tapi, mengapa kini saya lihat jam dinding di sini, masih menampilkan jam 16.20. Mana mungkin saya berlari dan melalui semua hambatan di perjalanan cuma menyantap waktu sekitar 20 menit.

"Mas ini darahnya," tiba tiba bapak bapak itu menyediakan darah yang saya butuhkan.

Kemudian saya ambil darahnya yang ternyata sungguh cuek menyerupai es. Mungkin gres di ambil dari pendingin.

"Terima kasih banyak pak," saya berterima kasih.

"Ibunya di rawat di mana, mas," tanya bapak itu lagi.

"Di karya bhakt*, pak."

"Kebetulan saya juga mau kesana. Ayo mas kita bareng," jawab bapak itu dengan wajah tersenyum.

"Iya pak," jawabku semangat.

Lalu saya bareng bapak yang menurutku misterius itu menuju parkiran. Aku naik motor vesp* nya bapak itu. Ternyata di luar hujan masih saja besar. Aku tambah menggigil diatas motor. Hujan besar tetapi sudah tak ada petir, di tambah saya memeluk 6 kantor darah yang sungguh dingin.

Tidak ada percakapan sama sekali selama di jalan antara saya dan bapak itu.

Di atas motor, saya sempat berpikir, bagaimana mungkin darah yang sudah tidak ada stok, tetapi di saat orang yang ada di depanku ini meminta untuk menyelediki ulang, ternyata ada stok darah. Yang lebih mengherankan lagi, sanggup pas 6 kantong sesuai dengan yang saya butuhkan. Aku cuma berpikir posisitf. Mungkin benar, ini masih rejekiku, sesuai yang bapak ini bilang tadi.

Selama di jalan naik motor vesp*, saya sempat merasa ada yang aneh. Aku menyerupai terbang dan tidak menyerupai sedang naik motor. Namun, semua situasi jalanan sama menyerupai biasanya.

Tak usang kemudian, saya sudah hingga di parkiran rumah sakit yang saya tuju. Aku turun dari motor, eksklusif menuju ke dalam. Namun, gres dua langkah, saya terhenti. Aku lupa mengucapkan terima kasih. Lalu saya membalikkan tubuh dan mengucapkan terima kasih pada bapak itu yang sudah menolongku, "pak, maka.....sih," saya terkejut bukan main. Ternyata bapak yang tadi memolonku, sudah tak ada. Andai saja beliau pergi, niscaya saya mendengar bunyi motornya. Secara, bunyi motor vesp* mempunyai bunyi khas yang berisik.

Aku masih kebingungan menyaksikan kanan, kiri, depan dan belakang. Nihil, tetap tak ku peroleh bapak tadi. Kebetulan hujan sudah berhenti. Karena saya penasaran, saya menuju penjaga tiket parkir.

"Mas, liat bapak bapak yang bawa motor vesp* yang bareng saya barusan," tanyaku pada pejaga tiket.

"Saya ga liat mas. Malah belum ada motor yang masuk dari tadi. Emang masnya lewat mana tadi," penjaga itu malah kebingungan mendengar pertanyaanku.

"Loh, barusan kan saya lewat portal yang mas jaga ini. Gimana sih," jawabku dengan wajah kebingungan juga.

"Sumpah mas, belum ada kendaraan masuk barusan," penjaga tiket 'keukeuh' dengan pendiriannya.

"Yasudah mas. Makasih," jawabku.

Setelah itu saya masuk kedalam ruangan dokter, bertujuan menyediakan darah yang saya bawa.

"Dok, ini darahnya sudah ada," kataku sambil menyediakan semua darah yang saya ambil tadi di bank darah.

"Loh, mas ngambil dimana darahnya," tanya dokter tersebut.

"Saya ngambil di bank darah indraprasta, dok," jawabku mantap.

"Mas jangan becanda mas, masa iya dari sini, pulang pergi masnya cuma dakam waktu 20 menit," tanya dokter heran sambil melirik jam dinding.

Akupun menyaksikan jam dinding. 16.25 WIB. Akupun tak kalah terkejut.

Itulah salah satu kisah faktual yang saya alami sendiri. Asli, semua yang saya ceritakan ini tanpa rekayasa sedikitpun atau fiksi. Semua alur sesuai dengan yang apa saya sampaikan.

NB :

Siapapun bapak itu, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga.

Jika bapak seorang manusia, saya doakan bapak panjang umur, sehat selalu, murah rejeki dan senantiasa di beri kelimpahan keberkahan yang luas.

Jika bapak itu bukan manusia, saya ucapkan rasa syukur yang tiada terkira. Berkat sumbangan Allah SWT lewat makhluknya, ibu saya sanggup tertolong dan sehat hingga di saat ini.

======= TAMAT ======

(Dari fb Ustadz Anshari Taslim)

Share Artikel: