Kenapa Kita Kalah?
Kenapa Kita Kalah?
Oleh: Made Supriatma (Jurnalis Senior)
Timnas Indonesia dikalahkan Thailand secara telak 0-4 di leg 1 Piala AFF. Ini kejuaraan di tingkat negara-negara ASEAN dimana praktis hanya ada empat tim yang cakap bersaing. Memang ada sepuluh negara ASEAN namun hanya empat yang menonjol dalam sepakbola: Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Pertanyaan diatas punya banyak jawaban. Mulai dari sistem kompetisi, sistem pendidikan sepakbola, sistem pelatihan, stamina dan fisik, hingga ke kebudayaan bersaing para pemain Timnas kita.
Semua jawaban itu ada kebenarannya. Namun, jarang orang melihat soal kekalahan ini dari perspektif negara, dari perspektif politik dan hidup sosial kita.
Mungkin Anda akan berpikir, ah ini terlalu mengada-ada. Sebetulnya tidak juga. Prestasi olahraga kita sangat terkait dengan problem-problem struktural yang kita hadapi sebagai bangsa.
Maksud saya, sepakbola adalah hasil dari bagaimana kita mengelola hidup sosial dan politik kita; bagaimana para elit dan pengelola negara kita menentukan prioritas, dan bagaimana bakat-bakat bagus dibangun sehingga tidak hangus atau mati ditengah jalan.
Sebenarnya sepakbola atau cabang-cabang olahraga lain adalah alat politik efektif. Kita lihat kalau ada tim serta perorangan kita yang meraih prestasi, mereka dihujani hadiah dan politisi-politisi kita bagai lintah berlomba menempel dan menghisap prestasi itu untuk kemenangan politiknya.
Dan, rakyat kita sangat haus akan kemenangan. Para selebriti, motivator, pemengaruh, hingga ke politisi kita selalu memompakan semangat untuk menang. Pokoknya semua dari kita ingin menjadi pemenang!
Jadi, olahraga khususnya sepakbola itu alat politik yang maha penting. Tidak hanya di Indonesia. Di negara-negara lain juga demikian. Di beberapa negara, sepakbola bahkan bisa menimbulkan perang antar negara atau jatuh bangunnya sebuah rejim.
Lalu, mengapa kita kalah? Mengapa kita tidak bisa memilih bakat-bakat bagus mengolah bola dari 270 juta rakyat? Saya sangat yakin kalau bakat-bakat itu ada. Ketrampilan itu ada. Fisik dan stamina yang baik itu dimiliki oleh anak-anak muda kita.
Persoalannya, mengapa orang-orang yang berkemampuan ini tidak muncul?
Pertanyaan yang sama sebenarnya berlaku di semua lini hidup sosial kita. Mengapa kita terbelakang? Mengapa kita tidak mampu bersaing? Mengapa kita miskin?
Jawabnya ada pada kemampuan kita mengelola masalah-masalah struktural. Misalnya, kita tidak miskin dipandang dari segi kemampuan produksi. Kita miskin karena kita tidak mau membagi kekayaan itu secara lebih berimbang. Ada yang kaya sekali dan mengambil banyak sekali sehingga meninggalkan banyak orang kekurangan.
Kita tidak kekurangan orang pandai. Namun banyak orang-orang pandai terbengkalai karena tidak mendapat pendidikan yang baik dan sistem yang adil yang memungkinkan mereka mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan menyumbangkan kemampuan mereka untuk masyarakat dan bangsanya.
Problem yang kita hadapi adalah problem kekuasaan dan kekuatan. Para penguasa kita belum tentu adalah yang terbaik di masyarakatnya. Bisa jadi, yang menentukan kebijakan-kebijakan adalah medioker-medioker, yang ada di singgasana kekuasaan dan membuat keputusan untuk orang banyak. Mereka ada disana hanya karena punya koneksi, kemampuan membeli suara, atau karena ketaatan pada para oligarkh politik dan ekonomi yang mendominasi negeri ini.
Dalam soal sepakbola, seperti rakyat kebanyakan, mereka juga butuh kemenangan. Mereka tahu bahwa menang itu akan membantu mereka bertengger di singgasana kekuasaan selamanya. Namun mereka juga tahu bahwa kemenangan itu harus loyal terhadap diri mereka sendiri.
Dalam realisme politik, kekuasaan itu juga berarti kemampuan untuk mengkoordinasikan sesuatu sehingga mencapai hasil. Disinilah saya kira kita menghadapi masalah yang serius. Karena koordinasi kita didasarkan pertama-tama oleh transaksi.
Karakter hidup politik di dunia olahraga kita sepertinya mirip dengan apa yang digambarkan oleh John Sidel, ilmuwan politik pengajar di London School of Economics, sebagai "bossisme" di Filipina. Setiap cabang olahraga menjadi ranah (bailiwick) dari para boss tertentu.
Siapapun sulit masuk ke ranah itu. Para penguasa ada disana selamanya. Rejim politik boleh berganti tapi rejim pengelola olahraga tetap sama. Sistem kompetisi baru digulirkan, namun organisasi yang mengeluarkan peraturan tetap sama. Dan organisasi ini menjadi 'bailiwick' para boss itu.
Para elit politik yang berkuasa memilih untuk bekerjasama (bertransaksi) dengan para boss ini. Seringkali jasa mereka juga dimanfaatkan untuk memobilisasi pemilih. Bahkan juga untuk mengatur apa saja seturut kepentingan para elit.
Sistem seperti ini tidak punya perhatian pada atlet, pada kompetisi, pada prestasi. Para boss ini hanya tertarik pada bagaimana ada di ranah itu selamanya, mengontrol apa saja, dan menangguk keuntungan. Siapapun tidak bisa berkembang tanpa mereka.
Atlet-atlet berbakat bisa menjadi medioker bila tidak berada dalam wilayah kepentingan para boss ini.
Problem olahraga kita adalah problem struktural. Para politisi, pejabat publik, para boss penguasa dunia olahraga bisa jadi juga bukan orang-orang yang kompeten mengurus bidangnya. Kolusi dan korupsi adalah dasar utamanya.
Jika sudah demikian halnya, kita akan kalah selamanya.
Adakah jalan keluar dari soal ini? Sebenarnya ada, namun sulit sekali. Yang diperlukan adalah perombakan struktural tidak saja dalam dunia keolahragaan namun dalam hidup sosial dan politik kita.
Selama sistem kita dikuasai para boss (atau oligarki dalam politik), maka selama itu kita akan kalah.
Ingat, bahwa para oligarkh itu pun bisa menciptakan orang baik... Maksud saya, para oligarkh itu bisa menciptakan imaji orang baik.
(fb)