Pakar Hukum Tata Negara: Kepemimpinan IKN Yang Berbentuk Otorita Menyalahi Aturan

sebagai Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara  Pakar Hukum Tata Negara: Kepemimpinan IKN Yang Berbentuk Otorita Menyalahi Aturan
JAKARTA - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melantik Bambang Susantono sebagai Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Dhony Rahajoe sebagai Wakil Kepala Otorita IKN di Istana Negara Jakarta, Kamis (10/03/2022) sore.

Pemimpin Otorita IKN diangkat Jokowi melalui Keputusan Presiden Nomor 9/M Tahun 2022. 

Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Fahri Bachmid, menilai kepemimpinan IKN yang berbentuk otorita menyalahi aturan. 

Bila merangkum Pasal 18 ayat 1 sampai 7 UUD 1945, daerah-daerah di Indonesia sudah dipimpin oleh gubernur, bupati, dan wali kota yang dipilih secara demokratis.

Ayat ketiga pasal tersebut pun mengukuhkan keberadaan dewan perwakilan rakyat daerah yang anggotanya disaring lewat pemilihan umum. Artinya, kewenangan pemimpin Otorita Ibu Kota Negara tumpang-tindih dengan kepala daerah. 

“Bangunan politik hukum yang digunakan untuk mengkonstruksi konsep otorita dalam Undang-Undang IKN jadi tidak sejalan dengan spirit konstitusi,” ujar Fahri, Kamis (10/2/2022), dilansir Tempo.

Mengabaikan Gugatan di Mahkamah Konstitusi

Pemerintah tetap melanjutkan pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara meski sejumlah kalangan menggugat Undang-Undang IKN ke Mahkamah Konstitusi. 

Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota Negara, Sidik Pramono, menyatakan pemerintah berpatokan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN sebagai produk hukum yang sah dan dasar pembangunan ibu kota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. "Undang-undang itu sudah melalui proses yang proper sesuai dengan ketentuan pembentukan perundang-undangan," ujar dia, kemarin.

Sidik mengatakan undang-undang tersebut dibahas oleh pemerintah bersama DPR dan DPD yang melibatkan masyarakat. Sidik menilai tidak ada persoalan dalam substansi undang-undang itu. Dengan begitu, kata dia, tidak ada alasan bagi pemerintah menunda eksekusi proyek IKN Nusantara.

Sejumlah cendekiawan dan tokoh masyarakat selama Februari dan Maret sudah melayangkan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Undang-Undang IKN. 

Gugatan itu, antara lain, diajukan oleh guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra; dan mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, serta sejawatnya.

Gugatan juga diajukan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara, dan rekan-rekannya. Gugatan ketiga diajukan guru honorer asal Riau, Herifuddin Daulay. Adapun gugatan keempat dari Sugeng, warga Tangerang. Semua gugatan tersebut serempak mengkritik adanya masalah dalam substansi formal dan materiil dalam undang-undang tersebut.

Azyumardi mengatakan gugatannya sudah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Dia menegaskan, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji formal bahwa proses legislasi aturan IKN tidak sesuai serta uji materiil karena bertentangan dengan konstitusi, proyek IKN itu harus dihentikan. “Sekalipun kepala otorita dan wakil otorita IKN sudah dilantik Presiden," kata dia.

Dalam dokumen gugatan Azyumardi dan sejawatnya yang diperoleh Tempo, mereka menyebutkan, dalam proses pembentukan Undang-Undang IKN, hanya beberapa narasumber yang didengarkan masukannya. Tidak ada pertimbangan right to be considered atau hak untuk dipertimbangkan pendapatnya bagi pemohon. Akibatnya, hak pemohon dalam memperoleh informasi dirugikan serta jaminan pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil tidak terpenuhi.

Mereka juga mempersoalkan pandangan ahli yang diundang dalam rapat pembahasan Undang-Undang IKN, tapi penjelasannya tidak diakomodasi. Salah satunya pendapat dari Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, Hendricus Andy Simarmata. Dia menyatakan pembangunan IKN tidak memiliki informasi lokasi yang rinci, lengkap, dan belum satu "dapur" perencanaan.

Undang-undang itu juga menyebutkan negara bisa memungut pajak khusus yang bakal berdampak terhadap para pemohon. Pembentukan undang-undang tidak mendapatkan proses deliberasi serta penjelasan atas adanya pungutan khusus tersebut. Atas berbagai poin itu, pemohon meminta hakim konstitusi mengabulkan keseluruhan permohonan dan menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, mengatakan telah menerima permohonan dan telah dipublikasikan di situs resmi Mahkamah Konstitusi. Dalam waktu dekat, mereka bertugas memverifikasi setiap gugatan pemohon. "Kalau lengkap, ya, diregistrasi, baru kemudian sidang," ujarnya.

Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, menjelaskan, secara formal, Undang-Undang IKN jelas bertentangan dengan konstitusi, jika merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi perihal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. "Apalagi prosesnya cuma beberapa hari yang secara partisipasi tidak melibatkan seluruh konstituen," tutur dia.

Asfinawati yakin hakim Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan bahwa formal perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan penetapan Undang-Undang IKN inkonstitusional. Dia juga menyebutkan substansi undang-undang itu bakal berpotensi merugikan negara karena adanya pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ratusan triliun di tengah situasi bencana Covid-19. 

(Sumber: Koran Tempo, 11-03-2022)
Share Artikel: