Ada Apa di Balik Rencana Kenaikan ONH yang Tidak Rasional?

Ada Apa di Balik Rencana Kenaikan ONH yang Tidak Rasional Ada Apa di Balik Rencana Kenaikan ONH yang Tidak Rasional?
Ada Apa di Balik Rencana Kenaikan ONH yang Tidak Rasional?

Oleh: Djony Edward

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja bersama Komisi VIII DPR, Kamis (19/1/2023), mengusulkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) untuk tahun 1444 H/2023 M yang ditanggung jemaah naik menjadi Rp69,2 juta. Jumlah ini naik dari 2022 yang berada di angka Rp39,8 juta.

Yaqut menegaskan, dari BPIH sebanyak Rp98,8 juta yang dibebankan ke jemaah haji sebesar Rp69,2 juta atau 70%. Sementara 30% sisanya ditanggung dana nilai manfaat setoran awal sebesar Rp29,7 juta.

"Jadi dana manfaat atau bahasa awamnya itu orang sering menyebut subsidi itu dikurangi, tinggal 30%. Yang 70% menjadi tanggung jawab jemaah," kata Yaqut.

Hal ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Untuk diketahui, BPIH tahun 2022 sebesar Rp98,38 juta dengan komposisi BPIH sebesar Rp39,89 juta (40,54%) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp58,49 juta (59,46%).

"Jadi, jika dibandingkan tahun lalu ini lebih besar," katanya.

*Intinya, kenapa biaya haji tahun ini jauh lebih besar dibanding sebelumnya, karena adanya perubahan komponen Nilai Manfaat tabungan haji (setoran awal), yang sebelumnya mencapai 59,46% sekarang cuma 30%.

Beberapa Kemungkinan

Setidaknya ada beberapa kemungkinan yang membuat Kemenag membebankan biaya haji 2023 kepada jamaah lebih besar. 

Yang utama adalah investasi BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) tidak optimal karena adanya kesalahan investasi. Kesalahan investasi itu berdampak pada turunnya bagi hasil investasi BPKH, yang pada gilirannya terjadi penurunan kinerja BPKH, dan jamaah akhirnya yang harus menanggung beban kenaikan ONH.

Pertama, placement dana BPKH di PT Bank Muamalat Indonesia Tbk (BMI) di masa lalu yang tidak optimal, terjadi kredit macet yang besar sehingga sempat mengancam eksistensi bank syariah pertama itu jika tidak ada dewa penolong. 

Akhirnya lewat penyelamatan dana BPKH yang macet tersebut dikonversi menjadi kepemilikan 82,42% saham BMI setelah menerima pengalihan saham melalui hibah dari para pemegang saham pengendali (PSP) sebelumnya dan begitu proses divestasi selesai.

Berdasarkan laporan keuangan yang dipulikasikan per 30 September 2021, PSP Bank Muamalat sebelumnya meliputi Islamic Development Bank (IsDB) sebagai pemegang BMI terbesar (32,74%), Bank Boubyan (22%), Atwill Holdings Limited (17,91%), National Bank of Kuwait (8,45%), IDF Investment Foundation (3,48%), serta BMF Holding Limited (2,84%).

Pemegang saham BMI lainnya adalah Reza Rhenaldi Syaiful (1,67%), Dewi Monita (1,67%), Koperasi Perkayuan Apkindo-MPI (Kopkapindo) (1,39%), serta pemegang saham lainnya sebanyak (6,19%).

Kalau sebelumnya dana penempatan BPKH di BMI bisa berupa dana pengembalian investasi yang menghasilkan. Dengan menjadi PSP BMI yang baru saja sembuh dari sakit, tentu hasil pengembalian investasinya tidak seoptimal posisi plaecement dana.

Kalau dana pengelolaan BPKH di BMI optimal, maka tidak perlu ada pembebanan kepada jamaah haji tahu 2023 sebesar dan sedrastis itu.

Hal ini tercermin dari imbal hasil jamaah dari BPKH yang seharusnya sebesar Rp50,4 juta turun menjadi Rp29,7 juta per orang. Mereka adalah jamaah yang sudah menyetor penuh dana awal ONH sebesar Rp25 juta yang sudah mendaftar sejak 2010 dan terkena daftar tunggu (waiting list) 12 tahun. Ini menggambarkan pengelolaan dana BPKH bermasalah.

Kedua, penempatan dana BPKH di surat berharga negara (SBN) dengan bunga antara 6% hingga 7,5% tergantung tenor 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun hingga 30 tahun. Penempatan dana itu sebagian diperuntukkan buat pembangunan infrastruktur.

Tentu saja harusnya penempatan dana ini menghasilkan return yang baik. Persoalannya apakah Pemerintah merealisasikan return tersebut tak hanya di atas angka, tapi juga diatas buku yang bisa dimanfaatkan BPKH. Kalau itu direalisasikan, lagi-lagi jamaah haji tak perlu menanggung kenaikan ONH hingga 100%.

Ketiga, Indonesia 2 tahun berturut-turut—2020-2021--tidak mengirim jamaah haji, sementara hasil penempatan dana BPKH selama dua tahun sedikitnya Rp20 triliun tidak digunakan. Ditambah dari dana lain-lain bisa jadi ada Rp25 triliun tambahan dana hasil BPKH yang belum dipakai. 

Aneh bin ajaib pada 2022 Kemenag minta tambahan dana haji sebesar Rp1,5 triliun. Jadi kemana dana hasil investasi selama dua tahun sebesar Rp25 triliun tersebut, dan bisa saja dana itu dapat digunakan untuk menutup kenaikan biaya jamaah haji tahun 2023 dan masih berlebih.

Keempat, beban kurs rupiah Rp16.500 per dolar AS dan kenaikan harga minyak dunia yang sempat menyentuh ke level US$120 per barel bisa ditekan. Karena pada 2023 kurs rupiah sudah mulai turun ke level Rp15.000 dan harga minyak dunia sudah di kisaran US$70 hingga US$80 per barel. Artinya beban operasional haji bisa ditekan, termasuk biaya pesawat.

Kelima, kalau lah memang harus ada kenaikan ONH perlu dilakukan secara gradual, bertahap, dan tidak ujug-ujug sebesar itu. Hal ini perlu dikombinasikan dengan kebijakan menaikkan dana awal ONH dari Rp25 juta menjadi Rp30 juta. Kalau langkah ini dilakukan maka tidak perlu ada kenaikan ONH hingga 100% dan tidak perlu ada jamaah yang harus membatalkan keberangkatan hajinya. 

Memang mengurus negara diperlukan kebesaran jiwa dan kebijaksanaan yang tinggi, sehingga rakyat atau jamaah haji tidak perlu harus menanggung risiko kesalahan pengelolaan dana BPKH.

Semoga ke depan BPKH lebih profesional, lebih bijaksana, dan lebih bertangggung jawab dalam mengelola dana ummat.

(Sumber: FNN)

Share Artikel: