Presiden Jokowi bicara goreng saham, EHHH ketampol anak sendiri....

Kasus Adani adalah kasus manipulasi saham dan rekayasa keuangan yang diduga melibatkan gru Presiden Jokowi bicara goreng saham, EHHH ketampol anak sendiri....
Kasus Adani adalah kasus manipulasi saham dan rekayasa keuangan yang diduga melibatkan gru Presiden Jokowi bicara goreng saham, EHHH ketampol anak sendiri....
[CATATAN AGUSTINUS EDY KRISTIANTO]

Presiden Jokowi bicara goreng saham. Dicontohkanlah kasus Adani Group di India. Akibat goreng-menggoreng, US$120 miliar (Rp1.800 triliun) hilang. Ekonomi India goyang, Rupee jatuh. 

Dia pesan, jangan cuma makroekonomi, mikro juga harus diawasi detail. Tugasnya OJK untuk pengawasan. Periksa mereka yang suka goreng saham.

Kasus Adani adalah kasus manipulasi saham dan rekayasa keuangan yang diduga melibatkan grup usaha milik orang terkaya ketiga di bumi: Gautam Adani. Orang ini kekayaannya US$120 miliar yang mana US$100 miliar dari itu didapat dalam waktu tiga tahun terakhir akibat kenaikan drastis nilai saham tujuh emiten grup itu. Rata-rata naik 819%! Jika digabung, kapitalisasi pasar perusahaan yang tergabung dalam Adani Group adalah US$218 miliar (lebih dari Rp3.000 triliun).

Adani Group dituding sebagai perusahaan yang sarat KKN. Grup itu juga berkali-kali menghadapi dugaan korupsi, pencucian uang, perkara pajak yang jika ditotal nilainya mencapai US$17 miliar (Rp245 triliun lebih). Adani selalu lolos karena apa? “… investigations have either been stalled or stonewalled by various arms of the Indian Government.”

Ada dugaan kuat, aparat pemerintah dan otoritas bursa India sudah ‘diamankan’.

*

Bagaimana skandal itu terkuak? Ada investigasi yang dilakukan oleh Hindenburg Research selama dua tahun. Lembaga itu didirikan oleh Nate Anderson, fokus dan berpengalaman di bidang forensik keuangan. Mereka menggunakan analisis fundamental untuk membantu keputusan investasi orang/lembaga/klien, baik itu di pasar saham, obligasi, maupun derivatif. 

Selain itu, mereka juga menguak informasi eksklusif tentang perusahaan yang berkaitan dengan kemungkinan adanya penyimpangan akuntansi, aktor hitam di dalam manajemen, transaksi rahasia, praktik pelanggaran etika bisnis dan aturan perundangan, dsb.

Untuk apa mereka melakukan itu? Trading! 

Mereka mengambil posisi short. Artinya berinvestasi pada instrumen untuk mengharapkan penurunan harga (jual kosong).

Itu sah-sah saja. 

Dalam situsnya, Hindenburg Research menulis Initial Disclosure: “After extensive research, we have taken a short position in Adani Group Companies through US-traded bonds and non-Indian-traded derivative instruments…”

*

Yang tidak jelas itu justru pernyataan Presiden Indonesia. Apa poin yang mau disampaikan tidaklah betul dimengerti orang. Sebab, jika secara telanjang ingin agar pelaku goreng saham (goreng saham, cornering, pompom dsb bisa kita artikan sebagai praktik menggunakan informasi untuk merekayasa pembentukan harga di pasar) diperiksa maka Kaesang Pangarep adalah salah satunya!

CNBC Indonesia menulis begini: “… Kaesang pun diketahui pernah MENGGORENG saham emiten sepak bola milik pengusaha Pieter Tanuri PT. Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA). Pieter adalah pemilik Bali United.” 

Waktu itu beredar rumor Kaesang beli Bali United. Di medsos, ia unggah fotonya bersalaman dengan pemilik Bali United. Dikasih caption: “Deal ya Bali United??????”  Setelah itu saham BOLA melejit 7,84%.

Boleh dibilang, kelakuannya norak, ya?

10 menteri Kabinet Indonesia Maju yang diberitakan secara khusus mengucapkan selamat pada saat IPO Bukalapak (6/8/2021) perlu diperiksa juga. Kita tidak menggaji pejabat untuk latah mengucapkan selamat pada saham tertentu yang nyatanya sekarang harganya anjlok di klasemen bawah.

*

Tapi, kita perlu melihat lebih jauh dari apa yang dilihat Presiden. Goreng saham adalah sebagian sangat kecil dari sebuah skema besar praktik buruk bisnis/investasi yang melibatkan orang pemerintahan. Bisnis busuk kawin dengan pejabat korup. Itu intinya dan yang tidak pernah diberantas karena diduga melibatkan orang lingkaran dekat kekuasaan.

Kekayaan Adani naik US$100 miliar dalam waktu tiga tahun yang sebagian besarnya ditopang apresiasi (kenaikan) harga saham. Ada dugaan manipulasi harga, pelanggaran aturan pasar modal, penilaian valuasi yang berlebih, rekayasa akuntansi, penyebaran disinformasi dsb. 

👉Di Indonesia, kejadiannya mungkin lebih parah lagi: uang BUMN-nya dipakai untuk menggoreng saham tapi Presidennya malah bangga!

Delapan tahun lalu (2015) sebuah perusahaan startup didirikan bermodal Rp2,5 triliun dengan nominal harga saham Rp1/lembar. Investornya konon kakap dari asing dan lokal. Sejak berdiri sampai sekarang selalu rugi yang jika diakumulasi ruginya mencapai hampir Rp100 triliun. Meskipun rugi, namun setelah melalui serangkaian aksi korporasi, valuasi perusahaan itu konon mencapai Rp400 triliun lebih.

Kakak Menteri BUMN-nya adalah pemilik sekaligus komisaris perusahaan rugi itu.

Lalu, anak perusahaan BUMN berinvestasi di perusahaan rugi itu sebesar Rp6,4 triliun. Si BUMN beli pada harga Rp260/lembar. Harga pasar saat ini Rp120, yang mana menyebabkan kerugian Rp3 triliun lebih yang tercatat di laporan keuangan induk BUMN itu sebagai kerugian belum terealisasi.

Narasinya di media-media pun sama dengan di India sana. Ada kisah perjuangan bagaimana akhirnya si kakak menteri itu bertengger sebagai orang terkaya nomor 17 di Indonesia versi majalah yang itu-itu juga, si kakak juga punya paket emiten dalam grupnya yang sangat atraktif untuk berinvestasi, si kakak juga mengembangkan usahanya bekerja sama dengan BUMN seperti Pupuk Indonesia, si kakak juga aktif menggandeng pemerintah untuk mewujudkan gurita bisnis kendaraan listrik di mana ia siap menjadi raja baterai, ia pun melangkah ke depan untuk mewujudkan energi hijau dsb….

Sementara si adik fotonya di mana-mana dan tiba-tiba disulap sebagai sosok berpengaruh sekali di ormas Islam terbesar di dunia dan siap memberantas tangan-tangan bejat masa lalu di PSSI.

Dari kisah kakak-beradik itu, akhirnya kita bisa paham bahwa sesungguhnya hidup adalah gorengan!

Salam Gorengan.

(Agustinus Edy Kristianto)

Share Artikel: