Kalau Ingin Perubahan, Pilihan yang Tersedia Memang Anies Baswedan
Jakarta
mendapat begitu banyak award dari dunia internasional dan WTP lima
tahun berturut-turut. Ini tidak pernah terjadi di Jakarta sebelumnya.
Dalam memimpin Jakarta, Anies dikenal punya banyak kejutan dengan terobosan dan gagasan-gagasan barunya.
Wajar
jika kemudian Anies dianggap sebagai simbol perubahan. Ini tidak
berlebihan, karena semua berbasis data dan bisa dibuktikan.
Dibanding
dengan nama-nama kandidat lain yang muncul seperti Prabowo Subianto,
Ganjar Pranowo, dan Puan Maharani, Anies adalah satu-satunya yang
memberi ekspektasi perubahan.
Sementara kandidat lain berada dalam koalisi status quo. Belum terlihat ada record perubahan yang dicatatkan oleh mereka.
Ganjar
sebagai Gubernur Jateng, Prabowo sebagai Menhan, serta Puan Maharani
sebagai Menko PMK dan Ketua DPR, belum kelihatan ada terobosan dan
gagasan-gagasan baru yang bisa dibaca.
Pilpres
2024 pilihan yang tersedia hanya ada dua. Yaitu pro status quo atau pro
perubahan. Kalau mau perubahan, pilihannya memang Anies Baswedan. Kalau
mau status quo, pilihannya kandidat lain, yaitu Prabowo, Ganjar, dan
Puan.
Sesederhana itu? Iya.
Dalam konteks ini, rakyat terbelah menjadi dua. Ada yang menginginkan perubahan. Ada juga yang menginginkan status quo.
Jika selama ini, status quo selalu berupaya mempertahankan kekuasaannya. Itulah yang terjadi. Ini penyakit klasik.
Wacana
tiga periode, tunda pemilu, dan calonkan kolega (boneka), itu adalah
upaya untuk mempertahankan status quo. Pro status quo punya aparat dan
logistik. Ini modal yang bisa dipakai untuk mencegah adanya upaya
perubahan. Karena itu upaya jegal Anies adalah bagian untuk
mempertahankan status quo, dan menghalangi terjadinya perubahan.
Meski
di kelompok pro status quo mereka bersaing satu sama lain, tapi satu
kesepakatan: mereka melawan perubahan yang dipimpin oleh Anies Baswedan.
Mereka
lebih nyaman jika kontestasi 2024 tidak ada nama Anies Baswedan. Tanpa
Anies Baswedan, mereka bisa menerima siapapun pemenangnya. Siapapun yang
kalah, bisa lebih mudah bergabung dengan yang menang. Chemistry mereka
lebih nyambung.
Ada
dua faktor yang memaksa mereka harus jegal Anies. Pertama, Anies tidak
memberi jaminan rasa aman atas potensi dosa yang dilakukan oleh mereka
yang berada di lingkaran kekuasaan.
Di sini, Anies dianggap berbahaya bagi mereka.
Kedua, mereka akan kehilangan akses kekuasaan jika Anies jadi presiden. Kemenangan Anies bisa membuat sebagian mereka pensiun.
Terkait
potensi dosa yang mereka lakukan, Anies bukan tipologi pemimpin yang
pendendam. Anies sosok yang taat dan tertib aturan. Semua kebijakan dan
program didasarkan pada aturan.
Anies
sosok pemimpin yang sangat rasional dalam sikap politiknya. Ini bisa
dilihat ketika Anies menjadi Gubernur DKI. Jadi, sebenarnya, enggak
perlu ada rasa takut jika tidak ada yang dilanggar.
Mengenai
akses kekuasaan, Anies adalah seseorang yang profesional. Di Jakarta,
Anies merangkul para profesional untuk terlibat dan ambil peran dalam
membangun kota. Lepas apakah mereka pendukung atau nonpendukung. Selama
punya kompetensi dan berintegritas, Anies bisa menerimanya untuk diajak
berkolaborasi.
Memang,
kekuasaan itu nyaman. Jika tidak pernah disadari masa akhirnya, banyak
yang tidak siap untuk melepaskannya. Apalagi jika merasa ada banyak
dosa, maka segala upaya dilakukan untuk mempertahankannya. Apakah dengan
mempertahankannya, dosa itu terhapus? Tidak juga.
Pada
akhirnya, semua dikembalikan kepada rakyat: mau perubahan atau status
quo. Jika ingin perubahan, pilihan yang tersedia hanya Anies.
(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)