Oleh: Fathi Nasrullah
Saya melihat mata-mata mereka yang kosong. Seperti nanar menatap jauh ke awang-awang.
Senjata yang 20 tahun terakhir mereka peluk erat bahkan hingga kematiannya, kini bersandang lemah di pundak-pundak para 'Singa Khurasan'.
Api yang berkobar di dalam jiwa seperti bara dalam sekam. Lama diperam, Tak layu, Namun entah harus diapakan.
Orang-orang itu kini bingung. Para petinggi mengurus negeri. Sedang mereka hanya duduk berdiri duduk berdiri dari pagi sampai sore atau dari sore sampai pagi.
"Indonesia? Dekat dengan Palestina?"
"Wah enggak baradar... Jauh..."
"Oh kirain deket..."
"Emang kenapa?"
"Enggak...
Kalo deket, Bisa bawa kami ke sana?"
"Kemana? Indonesia?"
Gelisah...
"Bukan...
Ke Palestina!"
"Lho? Mau apa?"
Baca Juga
- Sopir Truk Pakistan: Sejak dipimpin Taliban di Afghanistan tidak ada palak/pungli, tapi begitu masuk Pakistan kena palak aparatnya
- Bertemu Wakil Perdana Menteri Imarah Islam, Jepang Janjikan Bantuan $10 Juta dan Akan Bangun 165 Sekolah Dasar di Afghanistan
- Bergabung dalam Kafilah para petarung menuju Palestina
"Ya mau ngapain lagi?!
Kami mau nyicip daging2 Zio N1s itu!
Tak ada guna lagi hidup ini. Cuma bisa melihat derita mereka.
Kami ini Singa!".
Semua percakapan tentang Palestina selalu begitu. Ga cuma milisi (para pejuang). Bocah bahkan jaga warung pun ngomong gitu.
Kapan hari jumpa komandan besar. Tinggi besar. Sangar. Hikayatnya sudah makan banyak Soviet dan Amerika.
Ngalor ngidul ngobrol kesana kemari. Tau-tau sampai pembahasan Palestina.
Sedikit saya intip. Dari sudut matanya mengalir air.
Semua terdiam...
Tiba-tiba salah seorang mengangkat tangan;
"Allahumma (Ya Allah) sampaikan kami ke Palestina!".
Serentak; "Amin..."
Semua mengusap wajah
Juga mata yang basah oleh air.
(fb)