Tuan Londo

yang bertindak mewakili raja dan ratu Belanda Tuan Londo
Di mata Tuan Londo itu, raja-raja pribumi adalah "adik." Tuan Londonya sendiri adalah 'ambtenaar' atau pegawai negeri, yang bertindak mewakili raja dan ratu Belanda. 

Dan mentalnya pun sebenarnya adalah mental "adik2-an" karena dia hanya bisa menjadi raja kalau disetujui oleh Tuan Londo-nya. Tidak pernah dia melawan Tuan Londonya. Kalau pun dia melawan, itu dilakukannya dengan diam. 

Itulah sebabnya, dalam mentalitet "adik-adikan" ini, ia menuntut dianggap sebagai dewa oleh subyek-subyeknya, yakni orang yang berada dibawah kekuasaannya. 

Dia mahakuasa. Dia bisa berbuat apa saja. Dia tidak mau dikontrol, apalagi diminta pertanggungjawaban. Itulah sebabnya ia sangat kejam, tegaan, dan keji terhadap hamba dan subyek2nya. 

Kini Tuan Londo, yang berpakaian Barat dengan pedang itu, memang sudah tidak ada. Namun, apakah dia hilang? Ya tentu tidak. 

Sang Raja tetap dengan mental adik2annya itu. Kalau dulu, dia bergandengan tangan dengan John Kerry, Menlu AS. Sekarang kakaknya adalah Sin Ting Ping, pemimpin Negeri Atas Angin, yang diberinya kuasa mengeruk kekayaan alam negerinya. Persis seperti raja jaman dulu memberikan kekayaan negerinya kepada Tuan Londo. 

Oh tidak saja dengan Tuan Sin Ting Ping. Dia mengundang para Naga penguasa tanah ke ibu kota dan bahkan duduk di posisi paling terhormat, seolah tanah itu milik mereka. 

Dia memberi sewa tanah 190 tahun untuk siapa saja yang mau berusaha di ibu kota. Padahal Tuan Londo dulu hanya membatasi 75 tahun.  

Mental adik2an ini tetap terpelihara dengan rapi. Ia adalah adik dari Tuan-tuan penguasa uang. Sama seperti raja-raja sebelumnya, dia mempersonifikasikan dirinya sebagai pelindung rakyat kecil, namun dengan cara merampas tanah dan kekayaan mereka. Dia merasa paling tahu, paling baik, paling pintar, dan khususnya paling berkuasa. Dia adalah adik yang melindungi yang lemah dengan mengkerangkeng yang lemah supaya tidak dianiaya Tuan-tuan Londonya. 

Tentu, dia sadar bahwa perlindungannya itu adalah penaklukan. Tentu, dia tahu bahwa itu adalah kekejian dalam bentuk lain. Namun apa dia peduli? Karena dia pikir, dia adalah sang maha. Persis seperti raja-raja sebelumnya dengan mental adik2annya itu.

(Oleh: Made Supriatma)

*fb
Share Artikel: