TRUMP VS KAMALA, APA YANG BEDA?
Catatan Made Supriatma:
Hari ini Amerika akan memilih pemerintahannya. Ada banyak yang di kotak pemilihan: anggota DPR, Senat, dan tentu saja presiden. Yang paling menarik adalah yang terakhir.
Banyak orang mengatakan bahwa ini adalah pemilihan yang paling memecah belah. Para pemilih akan memilih apakah ingin mempertahankan institusi pemerintahan atau melakukan kontra-revolusi dengan melakukan perombakan dan penghancuran. Yang pertama diwakili oleh Wapres Kamala Harris dan yang kedua adalah Donald J. Trump.
Pemilihan ini adalah pemilihan yang historis. Jika terpilih, Kamala Harris akan menjadi presiden perempuan pertama dalam 248 tahun sejarah Amerika. Ia keturunan India dan kulit hitam. Sementara kalau terpilih, Donald Trump akan menjadi catatan sejarah juga. Ia akan menjadi presiden pertama Amerika yang terbukti melakukan tindak pidana/kriminal. Trump pernah dua kali dimakzulkan walau keduanya tidak berhasil menjatuhkannya.
Isu terpenting untuk para pemilih Trump adalah imigrasi. Mereka melihat banyak pendatang haram yang masuk dari perbatasan di selatan. Trump memompa semangat anti pendatang sebesar-besarnya.
Kampanyenya menarik banyak sekali dukungan dari kelas bawah yang tidak mengenyam pendidikan universitas. Orang-orang, khususnya yang berkulit putih, adalah orang-orang paling kalah (losers) dalam pertarungan ekonomi Amerika. Tidak heran, mereka menyalahkan pendatang atas kekalahan ini.
Sementara disisi yang lain, Kamala Harris didukung oleh kalangan berpendidikan yang berdiam di perkotaan (urban). Mereka lebih majemuk -- terdiri dari berbagai ras, golongan, dan berpandangan politik umumnya progresif.
Kaum Demokrat (yang mengusung Kamala Harris) adalah orang-orang progresif dan liberal. Mereka menaruh perhatian pada kesantunan politik, perhatian pada lingkungan, tidak terlalu terkungkung pada agama, dan ingin semua orang bebas dalam menentukan tubuhnya -- seperti melakukan aborsi, memilih orientasi seksual, dan lain sebagainya.
Sebaliknya kaum Republikan (Trump) adalah orang konservatif. Mereka anti-aborsi. Intin gender diterapkan secara tradisional -- laki dan perempuan, dan tidak ada jalan tengah. Sehingga isu seperti kamar mandi dan toilet untuk laki atau perempuan; atlit laki atau perempuan, itu menjadi sangat penting.
Orang-orang konservatif ini capek dengan kotbah-kotbah serta pengadilan dari kaum progresif. Mereka menjadi sangat benci pada apa-apa yang terlalu santun (politically correct). Tidak heran kalau kampanye mereka menjadi sangat kasar. Dan, mereka yang merasa kalah. sangat ingin meruntuhkan tatanan yang ada di Amerika sekarang ini.
Trump adalah senjata mereka. Saya banyak mendengar bahwa mereka mungkin tidak senang pada Trump secara pribadi. "But he is our hand grenade to the elites in Washington (Tapi dia adalah granat tangan kita bagi para elit di Washington -red)," begitu yang sering saya dengar. Trump dipilih karena dia yang mampu merusak sistem di Amerika. Dan, Trump tahu persis mengeksploitasi psikologis ini. Ia dengan senang hati menjalankan fungsinya sambil memperkaya dirinya sendiri.
Itulah yang membuat pemilihan kali ini menjadi sangat penting. Kedua kekuatan ini, menurut berbagai polling yang saya baca, sangat berimbang. Kalau pun salah satu akan menang maka kemenangan itu akan sangat tipis.
Siapa yang menang, dia akan mengambil semuanya. Artinya, dia akan memerintah menurut visinya. Tidak seperti di negara besar Konoha ini, dimana yang menang memberi kue untuk yang kalah dan membantu yang kalah berkuasa. Padahal Visi berbeda.
Dan perbedaan visi ini sangat berpengaruh pada isi kantong rakyat secara keseluruhan. Yang satu akan menghapus BPJS, yang lain akan memperluas BPJS. Karena menghapus dan memperluas itu pasti akan menaikkan dan menurunkan pajak. Yang menghapus akan menurunkan pajak yang dibayar warga (tapi nggak dapat BPJS); yang lain menaikkan pajak tapi memperluas BPJS. Itulah yang namanya perbedaan visi memerintah yang membawa konsekuensi pada kebijakan.
Baik. Kita kembali ke soal pemilihan AS. Para ahli mencari apa yang menjadi alat mobilisasi para pemilih pada pemilu kali ini? Faktor-faktor yang disebutkan diatas -- lulusan universitas, kelas buruh, desa-kota, dll. -- tetap berpengaruh. Namun banyak juga yang mengatakan bahwa hal yang paling dominan dalam pemilu AS kali ini adalah soal: gender.
Ini tidak sesederhana bahwa Kamala Harris adalah perempuan dan Trump adalah lelaki. Memang Harris sangat unggul di pemilih perempuan; dan Trump di pemilih laki-laki. Jurang gender ini memang tidak terbantahkan.
Namun, apa yang membuat kaum pria lebih memilih Trump -- yang menunjukkan citra yang macho, dominan. kuat, dan berkuasa?
Ternyata ada hal yang secara sosiologis terjadi di Amerika. Ternyata, secara sosial maskulinitas di Amerika adalah penanda kekalahan dan mungkin juga kemunduran. Lebih banyak perempuan yang menamatkan perguruan tinggi ketimbang laki-laki.
Walaupun laki-laki memperoleh gaji yang lebih besar dari perempuan namun perempuan lebih kompetitif di lapangan pekerjaan. Dan persamaan gaji ini menjadi sarana perjuangan bagi kaum perempuan.
Maskulinitas kemudian menjadi pertanyaan besar. Apa artinya menjadi maskulin di tengah-tengah masyarakat yang mendefinisikan ulang makna gender? Bagaimana dengan trans? Bagaimana dengan LGBTQ? Mengapa laki-laki kalah bersaing secara intelektual ketimbang perempuan? Apa artinya menjadi laki-laki di lingkungan progresif?
Persoalan ini tidak saja membawa kaum pria makin dekat pada Trump tapi juga membuat mereka menajdi lebih konservatif -- dimana maskulinitas lebih didefinisikan secara tradisional. Dengan tiba-tiba pula, kaum pria menjadi lebih agamis -- karena di agama-aama Abrahamik tradisional, pri mendapat peranan yang jauh lebih sentral dan berkuasa; karena patriarki tersimpan dan tertata secara rapi dalam agama.
Kalau Trump kalah atau menang, jelas disorientasi maskulinitas ini tidak akan hilang begitu saja. Ia sudah menjadi fenomena sosiologis.
Keadaan ini tidak hanya ada di Amerika tetapi juga di banyak negara di dunia. Termasuk di negeri kita ini. Lebih banyak perempuan lulus perguruan tinggi ketimbang pria. Ini terjadi baik di perkotaan maupun pedesaan.
Tanda-tanda disorientasi maskulinitas juga sudah tampak dalam masyarakat kita. Beberapa hari lalu, saya menonton sebuah video TikTok yang menggambarkan seorang laki-laki dengan riang gembira memancing. Istrinya bekerja sebagai pekerja migran di Hongkong. Tiga anaknya semua dititipkan di pesantren. Dan dia sendiri? Setiap hari bersenang-senang dengan memancing!
Gender gap dan uselessness of masculinity ini memang belum terdekteksi oleh para ilmuwan sosial di negeri ini. Saya memperkirakan ia ada dan perlu diperhatikan secara serius. Sehingga, bukan perempuan yang sesungguhnya membutuhkan pertolongan namun laki-laki yang kemudian tidak berguna (mancing dan dangdutan!). Peran keluarga yang berubah -- dimana laki-laki tidak lagi memberi penghasilan tapi menikmati penghasilan tanpa melakukan apa-apa.
Jika ini sudah terjadi, maka kita bisa paham proyeksi maskulinitas laki-laki yang nirguna tersebut -- kemana-mana berseragam militer/milisi; mereka memenuhi gym-gym untuk membesarkan otot; memproyeksikan hyper-machoisme dengan jenggot dan cambang yang lebat, dan sebagainya-- namun dibalik semua itu tersembunyi ketidakberdayaan. Kaum pria ternyata tertinggal kalau memasuki dunia intelektual. Tidak lagi menjadi bread-winner (penyedia kebutuhan) rumah tangga. Semakin ia menjadi benalu, semakin ia memperbesar ototnya. For nothing. Untuk sesuatu yang tidak ada faedahnya.
Itukah dunia yang kita hadapi saat ini?
Itulah pemikiran saya sambil menantikan hasil pemilihan di Amerika Serikat hari ini.
(fb)