Semoga dugaan saya salah...

Menteri Bahlil melarang pengecer jual LPG  Semoga dugaan saya salah...

Oleh: Agustinus Edy Kristianto 

Semoga dugaan saya salah: skenario 'pejabat baik vs. pejabat jahat' (good cop vs. bad cop). Polanya berulang.

Menteri Bahlil melarang pengecer jual LPG 3 kg, empat hari kemudian 'dibatalkan' presiden. Menteri Sri sorongkan PPN naik 12%, tak lama juga 'dibatalkan' presiden. Dulu, revisi UU Pilkada oleh DPR diterjang demo, ia pun dapat nama karena dianggap berandil besar dalam pembatalan rencana pengesahan aturan itu.

Dalam strategi komunikasi kebijakan publik, trik semacam ini sah-sah saja. Tapi kalau terlalu sering dipakai, publik bisa membaca polanya.

Persoalannya sederhana: jika skenario ini benar-benar terjadi secara alami, itu artinya manajemen pemerintahan buruk—menteri tidak sejalan dengan presiden. Dan jika begitu, mereka seharusnya dipecat.

Sebaliknya, jika ini memang permainan politik citra, lebih parah lagi: menunjukkan bahwa kepuasan publik hari ini dibangun di atas manipulasi. Pergantian kepala negara hanya mengganti metode pencitraan—dulu masuk gorong-gorong, sekarang main 'hero-hero-an'. Takutnya begitu, kan?

Jangan mengejar kesempurnaan dengan menciptakan drama. Itu jebakan dari para penjilat. Justru kritiklah yang membuat pemimpin lebih kuat dan dicintai rakyat.

Tapi, pembatalan larangan pengecer jual LPG 3 kg tetap patut dipuji. Antrean panjang rakyat untuk membeli LPG 3 kg (ingat, membeli, bukan gratis) adalah pemandangan yang memalukan bagi negara 'macan Asia' yang katanya tengah tertidur. Rakyat sanggup bayar, tapi barangnya tak ada—sebuah kegagalan yang tidak seharusnya terjadi di bawah Menteri ESDM yang bergelar doktor dari UI.

Namun, yang lebih layak mendapat apresiasi adalah rakyat miskin. Tanpa heboh minta penghargaan, tanpa gembar-gembor ala instruksi penghematan kementerian, mereka rela subsidi LPG 3 kg dipangkas 25%.

Jangan ada yang bilang subsidi LPG 3 kg tetap! Tetap dari kapan? Tahun 2023: Rp117 triliun. Tahun 2024: Rp87 triliun. Tahun 2025: Rp87 triliun.

Subsidi energi selalu menjadi 'kamar gelap' dalam APBN—tempat predator berburu rente. Dugaan saya, kebocoran besar-besaran ada di sini.

Klaim pemerintah: subsidi Rp30.000 per tabung (harga patokan Rp12.750 vs. harga keekonomian Rp42.750). Tapi, siapa yang menghitung harga keekonomian? Bagaimana kontrolnya? Adakah pembanding selain pemerintah dan Pertamina?

Rumus Harga Patokan LPG Tabung 3 Kg:

103,85% Harga Indeks Pasar/HIP LPG Tabung 3 kg + US$50,11/metrik ton + Rp1.879/kg.

HIP didasarkan pada Saudi Aramco Contract Price (CP). Misal, Januari 2025: US$625/MT (TradingView). Dengan asumsi kurs Rp16.000, harga patokan seharusnya Rp16.837/tabung.

Lalu harga keekonomian naik dengan tambahan alpha (biaya perolehan, distribusi, penyimpanan), margin Pertamina, pajak, dll. Kenapa bukan alpha yang ditekan? Kenapa bukan margin Pertamina yang dipangkas? Rakyat miskin bisa menerima pemotongan subsidi 25%, kenapa pejabat dan Pertamina tidak?

Bongkar habis kebocoran ini, maka akan ada uang untuk hal yang lebih berguna—misalnya, menambah jatah ayam goreng gratis yang enak untuk anak-anak. Supaya kita tidak lagi dibilang 'pe-ak' oleh influencer tituler si paling smart people itu.

Salam.


Share Artikel: