UJUNG-UJUNGNYA BUAT PILPRES 2029

 Kalau keuntungan Danantara bukan untuk negara dan kerugiannya bukan dianggap kerugian neg UJUNG-UJUNGNYA BUAT PILPRES 2029
CEO Rosan Perkasa Roeslani menjamin 100% bahwa Danantara tidak akan dikorupsi.

Saya setuju! Alasannya sederhana: Kalau keuntungan Danantara bukan untuk negara dan kerugiannya bukan dianggap kerugian negara, lalu buat apa repot-repot mengkorupsi? 

Lagipula, Dewan Pengawas Danantara, Badan Pelaksana Danantara, dan para karyawan Danantara bukan penyelenggara negara—jadi, aturan soal korupsi pun tampaknya tidak berlaku untuk mereka.

Saya melihat kecenderungan bahwa UU 1/2025 tentang BUMN berupaya melepaskan kekayaan BUMN yang dikelola Danantara dari rezim keuangan negara. 

Selain itu, pasal-pasal tentang 'kekebalan hukum' Danantara (Pasal 3X dan Pasal 4B) semakin memperjelas status istimewanya. Anda tentu tahu bagaimana UU ini disusun dengan cara yang mencurigakan—bahkan Tuhan pun mungkin terkejut melihatnya.
 Kalau keuntungan Danantara bukan untuk negara dan kerugiannya bukan dianggap kerugian neg UJUNG-UJUNGNYA BUAT PILPRES 2029
 Kalau keuntungan Danantara bukan untuk negara dan kerugiannya bukan dianggap kerugian neg UJUNG-UJUNGNYA BUAT PILPRES 2029
Katanya KPK dan BPK bisa mengaudit. Betulkah begitu? Saya ragu. Sebab, memang ada komite audit dan satuan pengawas internal, yang tanggung jawabnya kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas. Karena sifatnya internal, Anda tahu sendirilah bagaimana biasanya 'bisnis' berjalan.

Sejauh ini, orang mengibaratkan Danantara dengan berbagai macam narasi: kekuatan ekonomi masa depan Indonesia, gadis cantik yang baru bangun tidur, juru selamat menuju pertumbuhan ekonomi 8 persen. Di media sosial, cuitan optimistis semacam itu bertebaran—yang saya harap bukan sekadar bagian dari buzzer yang dibayar Rp400 ribuan per cuit.

Saya tidak pernah peduli dengan narasi bombastis semacam itu. Semakin bombastis, semakin saya curiga. Bagi saya, Danantara itu simpel: kartu kredit berlimit tinggi. Kelihatannya saja mentereng, tapi kalau tidak dikelola baik, habislah semua. Bisa bikin melarat.

Bagaimana kartu kredit itu bekerja? Sementereng apa? Siapa penikmatnya?

Untuk memahami ini, mari kita lihat pernyataan Hashim Djojohadikusumo dalam CNBC Economy Outlook (27 Februari 2025) dan CIO Danantara, Pandu Sjahrir. Saya baca beritanya di Kompas dan Reuters. Bedanya dengan banyak pejabat yang bicara mengawang-awang, Hashim dan Pandu bicara angka.

Hashim ini agaknya investor agresif. Dia bilang tiap tahun bakal ada US$20 miliar dari pemangkasan APBN dan US$20 miliar lagi dari co-investment dengan investor asing untuk Danantara.

Total ekuitas: US$40 miliar (Rp640 triliun, kurs Rp16 ribu).

Dari ekuitas itu, dia perkirakan leverage 3-4 kali lipat: US$120 miliar - US$160 miliar (Rp1.920 triliun - Rp2.560 triliun). Leverage investasi adalah strategi menggunakan pinjaman untuk memperbesar nilai investasi dan potensi keuntungan. Misalnya, dengan ekuitas US$40 miliar dan leverage 4 kali, Danantara bisa mengelola hingga US$160 miliar. 

Jika return lebih tinggi dari biaya utang, leverage menguntungkan, tapi jika tidak, risikonya besar. Balonnya meletus! Selanjutnya: bailout terselubung, privatisasi tersembunyi ... Biasanya begitu.

Pandu tidak seagresif Hashim. Hitungannya: dari pemangkasan APBN, Danantara dapat US$20 miliar. Tahun ini, ada dividen BUMN US$5,4 miliar (Rp90 triliun) yang akan masuk Danantara.

Investor asing tidak masuk hitungan di tahun pertama. Ia juga tidak menyebutkan leverage seperti Hashim.

Jadi, total ekuitas Danantara versi Pandu: US$25,4 miliar (Rp406,4 triliun).

Tapi Pandu bocorkan cara main Danantara. Kata dia, modal akan dikelola secara komersial. Penuh kehati-hatian, bahkan cenderung membosankan, katanya.

Tahun pertama, Danantara fokus di dua strategi: 1. Private equity; 2. Pasar utang (debt market).

Beda dengan Hashim, Pandu bilang tahun pertama investasi fokus di dalam negeri dulu, baru kemudian ke luar negeri.

Khusus US$20 miliar akan diarahkan ke tiga sektor sesuai arahan presiden: pengolahan sumber daya alam, pengembangan AI dan digital, ketahanan energi dan pangan.

Saat ini, Danantara masih menghitung cost of capital (biaya modal): bunga pinjaman, bunga obligasi, leverage fee, bagi hasil, dan sebagainya.

Private equity maksudnya Danantara akan membeli kepemilikan di perusahaan swasta. Teknisnya bisa dikombinasikan, misalnya, 60% leverage (utang) dan 40% ekuitas. Tergantung strateginya.

Pasar utang maksudnya menerbitkan atau membeli obligasi negara atau korporasi swasta.

Jadi, Danantara itu ibarat kartu kredit. Aset pengelolaan (AUM) BUMN yang sering diberitakan US$980 miliar (Rp15 ribu triliun) adalah gambaran besar profil keuangannya. Ekuitas US$40 miliar (versi Hashim) dan US$25,4 miliar (versi Pandu) adalah pemasukan yang menunjukkan kemampuan bayar cicilan. Rp1.920 - Rp2.560 triliun adalah kisaran limit kartunya.

Dan ingat, kartu kredit limit Rp2.560 triliun ini sesuai UU BUMN dipegang oleh bukan penyelenggara negara, yang jika rugi pun bukan tergolong kerugian negara, tapi risiko bisnis biasa.

Padahal, sumber modalnya bisa kita lihat sendiri: APBN (hasil efisiensi) dan dividen BUMN (yang dulu tergolong kekayaan negara, sekarang jadi kekayaan Danantara).

Jujur saja, saya curiga Danantara ini semata alat untuk mengalihkan kekayaan negara ke oligarki atau elite bisnis tertentu lewat skema kebijakan dan transaksi yang dilegalkan.

To the point saja: perusahaan atau proyek konglomerat nasional di bidang pengolahan SDA, AI/digital, serta energi dan pangan apa saja yang bakal dibeli sahamnya (atau bisa juga diberi utang berbunga murah) pakai kartu kredit Danantara?

Kenapa saya sebut proyek konglomerat?

Kriteria proyek yang bakal diguyur Danantara adalah yang minimal US$1 miliar (Rp16 triliun). UMKM mana yang punya nilai proyek segitu? Meskipun, soal dampak keuntungan ekonomi tidak langsung terhadap UMKM, masih bisa diperdebatkan.

Saya bukan anti-orang kaya, tapi karena Danantara dikelola secara komersial dan salah satu strateginya adalah private equity, serta seturut aturan konflik kepentingan dalam UU BUMN, maka ada baiknya para petinggi Danantara (termasuk presiden) mendeklarasikan bisnis mereka yang berpotensi bersinggungan dengan investasi Danantara.

Misalnya: Hashim (Arsari) adalah adik presiden---juga utusan khusus bidang iklim dan energi; pemilik ADRO adalah kakak Menteri BUMN (Dewan Pengawas); Pandu adalah direksi TOBA; Rosan punya perusahaan manajemen aset, Recapital. 

Karena Danantara bersifat komersial, maka seperti private equity pada umumnya, pasti ada komisi dan fee bagi eksekutifnya.

Mengelola kartu kredit Rp2.560 triliun tentu saja komisi, fee, dan bonusnya pun bisa triliunan: management fee; performance fee (carried interest); investment bank fee; exit fee.

Cerita tentang Danantara bakal panjang tapi tak selalu cerita tentang perbaikan ekonomi riil rakyat kecil. Kasarnya: transaksi bisnis private equity Danantara bukanlah konsumsi orang miskin! Komisi, bonus, dan fee jumbo yang bakal diperoleh pejabat, eksekutif, dan profesional yang terlibat di dalamnya bukanlah milik orang-orang macam buruh Sritex yang di-PHK itu.

Saya cukupkan dulu untuk sekarang. Sebab, saya 'menghormati' mereka yang tengah berpikir keras mengolah bagaimana kartu kredit ini 'bermanfaat' buat ekspansi bisnis tuan-tuan di sana. Silakan diatur dulu target yang mau diakuisisi, unit bisnis yang mau diekspansi, arus kas yang lagi dibenahi, laba yang sedang 'diatur', saham yang 'digoreng', IRR (Internal Rate of Return) yang lagi 'disesuaikan', beban yang dimundurkan, pendapatan yang diaku lebih cepat, strategi exit yang sedang digodok dan tentu saja naskah 'growth story' yang sedang disebarkan lewat berbagai kanal.

Lebih giat dan cepatlah bekerja, sekaranglah saatnya bisnis-bisnis Anda yang sakit diselamatkan, yang berdarah-darah disegarkan, bunga-bunga pinjaman yang kemahalan dimurahkan, yang pernah ditolak kreditnya kini terbalaskan... 

Semoga tercapai cita-cita dua periode.

Salam.

(AGUSTINUS EDY KRISTIANTO)

*fb
Share Artikel: