@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Di luar nurul

Ada kalanya kita membaca berita dan terdiam Di luar nurul
Oleh: Nur Fitriyah As'ad

Ada kalanya kita membaca berita dan terdiam, tercekat, bengong, bukan karena tak mengerti, tapi karena terlalu sulit untuk difahami dengan akal sehat.

Terlalu agak lain. Di luar nurul.

Sebuah gerbang permanen milik warga, yang berdiri tegak selama puluhan tahun, dihancurkan, bukan karena rusak, bukan karena membahayakan, tapi karena satu alasan yang tak masuk di akal:

AGAR SOUND SYSTEM BESAR alias SOUND HOREG BISA LEWAT!!!

Iya, Anda tidak salah baca. Bukan ambulans, bukan kendaraan pemadam kebakaran, bukan mobil jenazah.

.....Tapi SOUND HOREG.

Perangkat hiburan yang kini seolah jadi simbol status di banyak hajatan warga. Dan demi melajunya sound tersebut, sebuah simbol batas kampung, yang mungkin menyimpan nilai sejarah dan identitas lokal, justru diruntuhkan begitu saja.

Fenomena sound horeg memang tengah naik daun. Sistem audio super besar dengan dentuman bass yang bisa membuat jantung berdebar dan kaca bergetar, kini jadi andalan dalam berbagai hajatan.

Tapi ketika keinginan untuk terhibur mulai mengorbankan akal sehat dan hak milik orang lain, ini bukan lagi soal budaya, ini soal rusaknya logika sosial.

Bayangkan! Batas dan identitas warga kampung, tiba-tiba diruntuhkan hanya agar sound horeg lewat?
Yang lebih miris, peristiwa itu dilakukan secara ramai-ramai oleh warga yang larut dalam euforia musik, seolah-olah gerbang memang harus digilas demi dentuman irama pesta.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana sebagian masyarakat mulai menempatkan hiburan sebagai kebutuhan primer, bahkan mungkin wajib.

Tak ada pesta tanpa sound besar. Tak lengkap hajatan tanpa dentuman keras yang menggema hingga subuh.

Tapi benarkah itu budaya, atau hanya bentuk modern dari perbudakan sosial di mana orang merasa harus mengikuti trend walau mengorbankan logika dan kenyamanan orang lain?

Siapa yang salah?

Kita bisa menyalahkan warga yang menghancurkan gerbang. Tapi ada akar masalahnya jauh lebih dalam: kurangnya edukasi tentang batas hak pribadi dan hak sosial, minimnya ketegasan aparat dalam menjaga ketertiban lingkungan, serta budaya permisif yang menganggap semua sah asal rame.

Gerbang itu mungkin bisa dibangun kembali. Tapi akal sehat yang sudah digilas apa masih bisa utuh seperti semula?

[VIDEO]