KITA BUTUH LEBIH BANYAK JUSUF KALLA
Di negeri yang gaduh dengan janji-janji perubahan, Jusuf Kalla (JK) hadir sebagai tokoh langka: tidak banyak bicara, tapi setiap katanya punya makna.
Tidak tampil flamboyan, tapi setiap tindakannya menyisakan jejak.
Ia bukan presiden. Tapi dua kali jadi wakil presiden, untuk dua tokoh berbeda yang juga dua dunia berbeda: Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo
Bukan karena oportunis, tapi karena semua pihak tahu: ketika keadaan ruwet, JK adalah solusi.
Ketika Maluku berdarah, Poso membara, dan Aceh merintih karena konflik tak berujung, banyak tokoh datang, tapi pulang dengan gagal.
JK berbeda. Ia datang tidak membawa pasukan, tidak membawa proposal bertumpuk. Hanya satu: keinginan menyelesaikan.
Damai Maluku, ia hadir menyatukan pemuka agama.
Damai Poso, ia datang, duduk, dan bertanya: “Mau terus begini sampai kapan?”
Damai Aceh, ia pertemukan dua pihak yang sudah bertahun-tahun tak saling bicara, hingga lahirlah MoU Helsinki 2005.
Dan semuanya selesai.
Bukan dengan kekuasaan. Tapi dengan hikmah dan keberanian mengabaikan ego banyak pihak.
JK tak suka tampil bak pahlawan. Setelah damai, ia tidak membuat film tentang dirinya. Tidak menulis buku pujian untuk dirinya sendiri. Ia kembali ke rutinitasnya: bekerja, membantu, mempercepat.
Dalam banyak sidang kabinet, ia dikenal sebagai tokoh yang selalu tanya: “Apa bisa lebih cepat? Apa bisa lebih hemat?”
Ia tidak terlalu peduli popularitas. Tapi sangat peduli efektivitas.
Di tengah deretan elite yang satu per satu terjerat korupsi, nama JK nyaris tak pernah disentuh skandal besar.
Tidak pernah diperiksa KPK sebagai tersangka.
Tidak pernah muncul dalam laporan LHKPN dengan kekayaan mencurigakan.
Tidak pernah disebut dalam pusaran kasus-kasus korporasi besar yang melibatkan pejabat publik.
Bukan karena tidak punya akses, tapi karena ia tahu batas.
Bisnis keluarganya jalan, tapi tak pernah dilaporkan menyandera kebijakan.
Ia dekat dengan banyak pengusaha, tapi tidak tunduk pada satu kelompok.
Integritas JK bukan karena tak tergoda, tapi karena tahu bahwa kekuasaan tanpa kehormatan adalah kehinaan.
Lahir dari keluarga pengusaha Bugis, JK paham bagaimana membangun.
Ia bukan sosok yang bicara soal kemiskinan sambil duduk di hotel bintang lima. Ia tahu harga semen, tahu logistik, tahu infrastruktur dari lapangan. Itulah sebabnya, ia dihormati bukan cuma di Jakarta, tapi juga di pelosok.
Ketika pejabat lain sibuk beretorika, JK sibuk mencari truk untuk kirim bantuan.
Negeri ini butuh lebih banyak JK. JK sudah sepuh. Tapi setiap kali negeri ini gaduh, namanya kembali disebut.
Ia tak perlu jabatan, karena perannya lahir dari kepercayaan, bukan struktur.
Dan hari ini, ketika banyak tokoh berebut panggung demi kuasa, JK tetap menjadi contoh bahwa kedamaian tidak dicapai dengan teriak, tapi dengan akal, keberanian, dan keikhlasan.
Ia bukan tokoh sempurna. Tapi di zaman ini, ketidaksempurnaan yang jujur jauh lebih dibutuhkan ketimbang kesempurnaan palsu yang korup.
(Nur Fitriyah As'ad)
*sumber: fb