@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Catat! Ini Delapan Poin Absensi Pemerintah Untuk Lindungi Rakyat


[PORTAL-ISLAM.ID]  Menjelang selesai tahun 2017, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) setidaknya memberi delapan catatan yang membuktikan bahwa negara tidak hadir untuk memberi sumbangan bagi konsumen.

Ketua pengurus harian YLKI Tulus Abadi menuturkan, sudah seharusnya rakyat sebagai konsumen menerima sumbangan dari pemerintah, lantaran konsumen merupakan salah satu pilar utama dalam roda perekonomian.

“Tanpa kehadiran konsumen, roda ekonomi akan lumpuh dan tak akan ada transaksi apapun. Tetapi ironisnya, sebagai salah satu pilar utama, dalam banyak hal, posisi konsumen secara mayoritas justru menjadi subordinat dalam sistem transaksi dan bahkan roda perekonomian secara keseluruhan,” kata Tulus Kamis, 28 Desember 2017.

Lebih tragis lagi, kata Tulus, negara sebagai regulator yang seharusnya menjadi penyeimbang antara kepentingan konsumen dengan pelaku usaha, justru lebih banyak menjadi instrumen untuk melegitimasi posisi subordinat tersebut dan endingnya hak-hak konsumen termarginalisasikan secara signifikan.

“Itulah potret yang paling kentara untuk merefleksikan situasi dan kondisi sumbangan konsumen pada 2017,” ujar dia.

Delapan indikator negara tidak hadir dalam melindungi konsumen dan atau kepentingan publik yang dimaksud sebagai berikut:

1. Terlantarnya puluhan ribu calon jamaah umrah dari aneka macam agen perjalanan umrah, khususnya First Travel. Pada 2017 YLKI mendapatkan 22.655 pengaduan jamaah umrah yang tidak diberangkatkan oleh agen umrah. Terlantarnya puluhan ribu calon jamaah umrah bukti besar lengan berkuasa negara tidak hadir untuk melindungi kepentingan konsumen secara sesungguhnya. Pemerintah hanya piawai memperlihatkan perizinan agen umrah (pre market control), tetapi gagal total dalam pengawasan dan penegakan hukumnya untuk melindungi calon jamaah umrah (post market control).


2. Negara juga tidak hadir dalam konteks pre market control dalam kasus pengembang Meikarta. Bagaimana mungkin proyek skala nasional sebesar Meikarta tapi masih menjadikan duduk kasus pro kontra dalam perizinannya? Atau bagaimana mungkin proyek properti skala nasional tetapi hanya mengantongi perizinan berskala lokal saja? Bahkan tragisnya negara justru berpihak secara kentara pada Meikarta, menyerupai tecermin dalam pernyataan Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan, yang mendukung penuh Meikarta. Padahal ribuan konsumen terjebak pada ketidakpastian status hukumnya terkait promosi Meikarta yang amat bombastis.

3. Dalam konteks pemenuhan hak-hak publik, negara juga justru membuat kegaduhan gres yang kontra produktif bagi kepentingan masyarakat. Setidaknya hal itu tecermin dalam beberapa kasus, antara lain:

Pertama, pendaftaran ulang pemegang kartu prabayar seluler. Kegaduhan ini dikarenakan minimnya informasi dan sosialisasi terhadap kebijakan pendaftaran prabayar tersebut, sehingga menjadikan kecurigaan bahwa pendaftaran dilakukan untuk kepentingan jangka pendek (pemilu) dan atau adanya penyadapan data pribadi milik warga untuk kepentingan komersial dan bahkan politik.

Kedua, kegaduhan terjadi adanya perihal kebijakan penyederhanaan tarif listrik. Masyarakat konsumen listrik panik, lantaran perihal tersebut diduga hanya sebagai kedok untuk menaikkan tarif listrik. Masyarakat sangat khawatir lantaran ketika ini tarif dasar listrik dirasa sangat mahal dan memukul daya beli konsumen.

Ketiga, kegaduhan lain dan melanggar hak-hak publik yakni masalah penerapan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai). Dalam hal ini terdapat dua pelanggaran hak-hak publik, yakni pemaksaan penggunaan non tunai bagi konsumen, khususnya untuk e-toll. Padahal seharusnya konsumen diberikan ruang untuk tetap memakai jalan masuk tunai dalam bertransaksi tol. Pengenaan fee untuk isi ulang juga bentuk pelanggaran hak-hak konsumen. Sekalipun tidak besar, pengenaan biaya ketika isi ulang kepada konsumen yakni bentuk ketidakadilan bagi konsumen. Seharusnya konsumen diberikan insentif, bukan disinsentif. Kegaduhan-kegaduhan itu terjadi oleh lantaran faktor miskinnya konsultasi publik terhadap kebijakan tersebut.

4. Klimaks dari ketidakberdayaan negara dalam melindungi kepentingan konsumen dan kepentingan publik ditandai pula dengan kebijakan yang berorientasi pro pasar (market oriented) terhadap semua kebijakan publik, baik dalam konteks kebijakan tarif dan atau stabilisasi stok kebutuhan pangan. Dalam hal tarif dasar listrik dan atau harga materi bakar minyak, yakni bukti besar lengan berkuasa negara sangat pro terhadap tekanan pasar untuk menaikkan tarif/harga. Di sisi yang lain, kebijakan impor materi pangan menyerupai beras, juga bukti negara ingkar janji untuk tidak melaksanakan impor materi pangan untuk memasok rakyatnya. Ingkar janji, lantaran dalam masa kampanye pilpres Presiden Jokowi tegas menyatakan tidak akan melaksanakan impor materi pangan.

5. Dalam memasok kebutuhan energi sebagai kebutuhan dasar di kelas menengah bawah, negara masih tampak kedodoran. Gas elpiji 3 kg yakni buktinya. Satu tahun ini distribusi gas elpiji 3 kg semakin terdistorsi sehingga masyarakat menengah bawah harus mengantri berjam-jam dan dengan harga yang mahal pula untuk mendapatkan satu tabung gas elpiji 3 kg. Faktor disparitas harga dan distribusi yang kian terbuka menjadi penyebab utama. Apalagi di tengah lemahnya pengawasan. Untuk kebutuhan BBM dengan lebijakan satu harga, pun terbukti hanya elok di atas kertas saja. Dana ratusan milyar hilang sia-sia, lantaran pasokan BBM satu harga justru dirusak oleh penyalur-penyalur lokal yang melibatkan oknum pejabat daerah. Kemunduran serius justru dilakukan oleh Kementerian ESDM, yang membolehkan SPBU swasta menjual BBM dengan kualitas rendah, setara premium. Padahal, produk BBM dengan RON 88/89 sangat jauh dari ideal, lantaran belum lulus euro 1. Sementara regulasi nasional dan standar internasional mewajibkan untuk Euro 4.

6. Trend pengaduan konsumen 2017. Per November 2017, YLKI mendapatkan 301 pengaduan dari konsumen secara tertulis (belum dihitung pengaduan via online). Dari 301 pengaduan, sektor perbankan masih menduduki rating teratas, dengan 24 persen pengaduan. Kemudian disusul pengaduan sektor ketenagalistrikan (PT PLN sebagai teradu) dengan 14 persen. Dan rating ketiga yakni sektor perumahan dengan 11 persen, sektor leasing 8 persen, dan sektor telekomunikasi 6 persen. Tingginya pengaduan sektor perbankan selama 6 (enam) tahun terakhir memperlihatkan pengawasan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) belum optimal. Bisa dikatakan OJK masih gagal untuk meningkatkan performa dan kinerja sektor perbankan dan financial services di Indonesia.

7. Kriminalisasi konsumen oleh pelaku usaha. Hal yang ironis pada 2017 yakni fenomena kriminalisasi konsumen oleh pelaku usaha. Konsumen yang bersikap kritis untuk memperjuangkan haknya justru dikriminalisasi oleh pelaku usaha. Contoh kasus teraktual yakni kasus Acho, pelawak tunggal, yang dijadikan tersangka oleh pengelola Green Pramuka. Dan anehnya pihak kepolisian pribadi cepat memproses laporan semacam ini oleh pelaku usaha. Padahal di sisi yang lain ketika ini justru banyak terjadi pelanggaran pidana oleh pelaku perjuangan dalam ranah hak-hak konsumen, tetapi respon polisi tidak secepat kalau yang terduga melanggar yakni konsumen.

8. Dalam hal kesehatan publik, khususnya dalam konteks preventif promotif, negara juga masih kedodoran. Hal ini ditandai dengan dominannya penyakit katastropik pada pasien BPJS. Dan inilah yang mengakibatkan finansial BPJS mengalami pendarahan serius. Pada 2016 BPJS merugi Rp 9 triliun dan pada 2017 diprediksi merugi Rp 12 triliun. Penyebab utama itu semua yakni sikap tidak sehat. Tingginya acara merokok di kalangan masyarakat sangat mengkhawatirkan. Ironisnya pemerintah masih resah untuk menaikkan cukai rokok, terbukti kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen. Sangat rendahnya cukai rokok akan mengakibatkan harga rokok masih terjangkau bagi anak-anak, cukup umur dan orang miskin. Dalam hal ini pemerintah in konsisten.

Melihat semua ihwal yang terjadi pada tahun ini, Tulus pesimis akan terjadi perbaikan pada tahun 2018 mendatang, bahkan ia melihat malah akan semakin memburuk. Sebab 2018 yakni tahun politik, yang mayoritas infrastruktur politik akan difokuskan pada pencitraan/politisasi untuk kepentingan pemilukada serentak dan pilpres pada 2019.

“Kebijakan yang diambil akan mayoritas sebagai bentuk kamuflase belaka. Konkritnya kebijakan yang berbalut politisasi kebijakan publik (populisme). Boleh jadi pada 2018 negara akan bermanis-manis dengan rakyatnya, untuk tidak menaikkan harga/tarif komoditas publik. Namun, kondisi akan berbalik pasca pilpres, negara akan menggenjot kenaikan aneka macam tarif/harga menyerupai tarif dasar listrik, harga BBM bahkan mencabut subsidi gas elpiji 3 kg,” pungkas dia.