[PORTAL-ISLAM.ID] Pembatalan ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) di PLN tidak bisa dianggap sebagai tragedi “tempat pengajian yang kurang layak”. Memang inilah alasan resmi pihak PLN Disjaya Gambir. Mereka mengatakan, kapasita Masjid Nurul Falah tidak memadai untuk menampung kemungkinan ledakan jumlah pengunjung.
Sebelum klarifikasi resmi PLN yang berintikan soal kapasitas kawasan pengajian itu, beredar kabar bahwa abolisi itu dilakukan oleh pejabat tinggi PLN. Padahal, semua persiapan sudah rampung. Tenda sudah dipasang untuk menampung ribuan pengunjung, termasuk untuk tamu VIP.
Logiskah abolisi ceramah Abdul Somad ini dilakukan dengan alasan kapasitas kawasan pengajian itu?
Sama sekali tidak masuk akal. Kalau kawasan tak cukup, bukankah para pengunjung akan menyadari sendiri bahwa “kurang tempat” pastilah akan menjadi dilema dalam setiap pengajian yang diisi oleh UAS. Tentu sudah berkali-kali terjadi kasus tak cukup tempat. Tetapi pengajian tetap bisa diselenggarakan. Sebab, yang hadir bukan orang-orang yang tidak paham soal kemungkinan mereka tak bisa masuk.
Pejabat tinggi PLN niscaya sudah tahu ihwal jadwal pengajian itu. Sangat tidak masuk nalar bila dikatakan panitia penyelenggara mengundang UAS dan kemudian melaksanakan persiapan tanpa sepengetahuan pimpinan PLN. Dan pimpinan PLN Disjaya Gambir sangat tidak mungkin melaksanakan program besar menyerupai itu tanpa izin dan tunjangan dari Dirut PLN. Tidak mungkin. Hampir mustahil.
Kalau begitu, ada apa?
Hanya satu tanggapan yang paling masuk akal: bahwa kini ini UAS sudah mulai “dimusuhi” oleh para pemegang kekuasaan. Siapakah orangnya? Kita semua tentu sama-sama mencari siapa gerangan. Tapi, kita juga tidak terlalu sulit untuk menebak dengan presisi yang tinggi. Anda semua niscaya bisa memahami siapa mereka.
Lantas, mengapa para pemegang kekuasaan mulai “memusuhi” UAS? Sederhana saja: bahwa UAS dengan gaya ceramahnya dan penolakannya untuk dikooptasi oleh penguasa, menciptakan para pemegang kekuasaan merasa ada “bola salju” yang sedang bergulir ke arah pemangku kekuasaan yang ingin melanjutkan kekuasaan.
Dengan kata lain, UAS berpotensi menjadi “vote getter” untuk pihak yang bakal menjadi lawan penguasa. Kalau UAS dibiarkan menjadi magnet yang bisa menyatukan bunyi pemilih, itu berarti para pemegang kekuasaan harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Saya bahkan yakin pihak pemegang kekuasaan sudah hingga pada kesimpulan bahwa UAS, praktis, sudah mulai “berkampanye” untuk pihak yang berseberangan dengan penguasa. Berkampanye dalam arti luas, tentunya. Meskipun, faktanya, UAS tidak pernah memberikan arahan apa pun juga terkait percaturan politik di Indonesia.
Bagian dari paranoia? Bisa jadi juga! Filosof dan sejarawan Italia masa ke-16, Niccolo Machiavelli, beteori bahwa insan itu selalu punya ambisi dan ingin mencapai ambisinya dengan segala cara.
Dalam terjemahan Inggris, ia mengatakan: “Man rise from one ambition to another. First, they seek to secure themselves against attack, and than they attack others”. (“Manusia itu bangun dari satu ambisi ke ambisi berikutnya. Mula-mula mereka mengamankan diri dari serangan, dan kemudian mereka menyerang orang lain”).
Penulis: Asyari Usman