Proyek Infrastruktur Minus Pertumbuhan


Proyek Infrastruktur Minus Pertumbuhan

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara
(Peneliti INDEF)

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 diperkirakan berada diangka 5,05%. Level pertumbuhan ekonomi ini bisa dikatakan stagnan kalau melihat pertumbuhan tahun 2016 yang hampir sama yakni 5,02%. Sepanjang 2017 Pemerintah pun berulang kali melaksanakan revisi sasaran pertumbuhan ekonomi. Faktor utamanya, konsumsi rumah tangga yang jadi motor perekonomian dengan porsi 56% terhadap PDB harus tertunduk lesu dengan tumbuh dibawah ekspektasi. Tutupnya beberapa gerai ritel, tren masyarakat menahan belanja dan mengalihkan uang ke simpanan perbankan jadi mengambarkan konsumsi sedang mengalami tekanan.

Satu-satunya impian tiba dari kinerja ekspor yang memang meningkat hingga 17% dari Januari-November 2017. Tapi disisi yang lain impor juga tumbuh 15,4% membuat pertumbuhan net ekspor tinggal 1,6%. Ini menandakan kualitas ekspor masih rendah lantaran terlalu bergantung pada komoditas mentah, dan daya saing produk industri belum bisa memenangkan persaingan di pasar global.

Jika mengusut taktik Pemerintah tiga tahun kebelakang, mantra sakti pembangunan infrastruktur memang dijadikan sebagai solusi untuk membangkitkan daya saing ekonomi nasional. Laporan Global Competitiveness Index tahun 2017 menyebut bahwa duduk perkara utama daya saing salah satunya disebabkan belum meratanya sarana infrastruktur. Makara tidak perlu diperdebatkan penting atau tidaknya pembangunan infrastruktur dalam konteks pembangunan Indonesia.

Pembangunan infrastruktur pun targetnya cukup ambisius dengan porsi 18,6% dari total belanja di APBN. Jumlah 245 Proyek Strategis Nasional hampir meliputi seluruh infrastruktur dasar, pembangkit listrik, jembatan, jalan tol, bendungan dan pelabuhan. Namun faktanya realisasi pembangunan infrastruktur menurut data Komite Percepatan Pembangungan Infrastruktur gres mencapai 2% dari target. Begitu juga dengan proyek 35 ribu MW gres selesai 2%.

Diskonektivitas Pembangunan

Selain bertujuan mengurangi biaya logistik yang mahal, pembangunan infrastruktur pada hakikatnya juga berfungsi untuk meningkatkan peresapan tenaga kerja. Menunggu efek infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik tentu butuh waktu, tapi kalau indikatornya ialah bisa meningkatkan serapan tenaga kerja tentu bisa dilihat jangka pendek. Anehnya yang terjadi justru peresapan tenaga kerja di sektor konstruksi tahun 2017 per Agustus berkontribusi sebesar 6,73% lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 6,74%. Bahkan di tahun 2016, serapan tenaga kerja sektor konstruksi sempat berkurang 230 ribu orang. Ini menandakan bahwa infrastruktur semakin sedikit menyerap tenaga kerja.

Masalah ini kalau ditarik maka akan timbul dua pertanyaan. Pertama, ketertinggalan infrastruktur memang perlu dikejar, tapi infrastruktur menyerupai apa yang harusnya diprioritaskan? Kedua, adakah yang salah dari denah pembangunan infrastruktur dikala ini? Sebagai citra kesalahan konsep ialah Pemerintah sering membandingkan Indonesia dan China kalau mengacu pada pencapaian infrastruktur.

Jalan tol China sudah sepanjang 280 ribu km, sementara Indonesia gres 820 km. Tapi dibalik kesuksesan China membangun infrastruktur, ada konsep yang harus dipahami terlebih dahulu. China di periode reformasi Den Xiaoping pada tahun 1984 membangun infrastruktur untuk menunjang proyek industrialisasi dengan konsep daerah ekonomi khusus (Special Economic Zone). Infrastruktur yang dibangun bukan untuk mengantarkan orang lebih cepat, tapi mendorong biar biaya logistik barang industri lebih murah.

Sementara pembangunan infrastruktur di Indonesia digenjot dengan kondisi pemanfataan industri manufaktur yang belum siap. Jalan tol dan rel kereta dibangun tapi tidak berkaitan dengan jalur distribusi di daerah industri. Disisi yang lain aneka macam daerah ekonomi khusus dibangun, tapi nasib daerah industri yang existing kurang menerima perhatian. Kondisi ini membuat diskonektivitas pembangunan.

Jika ditelusuri lebih mendalam fenomena stagnanya pertumbuhan ekonomi yang hanya 5% itu juga berasal dari lesunya output industri manufaktur. Lebih dari 14% tenaga kerja terserap di sektor industri manufaktur. Sementara porsi industri manufaktur terhadap camilan bagus PDB terus tergerus dari 27% pada di awal reformasi menjadi 19% di triwulan III 2017. Pertumbuhan industri dalam kurun waktu 1 tahun terakhir pun dibawah pertumbuhan ekonomi. Deindustrialisasi ini terang kondisi yang berbahaya bagi perekonomian nasional.

Tidak ada Jalan Pintas

Dengan tren ekonomi yang tumbuh melambat, di awal tahun 2018 merupakan waktu yang sempurna bagi Pemerintah untuk meninjau ulang seluruh proyek baik yang sudah berjalan maupun sedang direncanakan. Dari 245 proyek strategis nasional harus di penilaian yang benar-benar feasible untuk dikerjakan dan memberi dampak eksklusif ke perekonomian. Sementara untuk proyek yang masih dalam planning atau proses lelang bisa ditunda implementasinya. Bukan hal yang tabu kalau Pemerintah berani memotong jumlah sasaran infrastruktur menjadi lebih realistis.

Sebaiknya hanya infrastruktur yang punya dampak eksklusif ke pendapatan masyarakat yang seharusnya jadi skala prioritas utama. Fokus pada infrastruktur padat karya bisa jadi tema utama pembangunan di 2018. Infrastruktur lainnya bisa dibangun bertahap. Begitu juga proyek pembangkit listrik 35 ribu MW. Sungguh tak masuk nalar bila terus dilanjutkan lantaran perkiraan awalnya memakai pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%. Kondisinya dalam jangka waktu akrab pertumbuhan 7% sulit untuk diwujudkan, produksi listrik terancam oversupply dan justru membebani keuangan PLN. Proyek mubazir menyerupai itu harus dikaji ulang.

Pembangunan infrastruktur juga seharusnya dibarengi oleh industrialisasi. Jika ingin peresapan tenaga kerja meningkat signifikan, jalan satu-satunya ialah dorong pertumbuhan industri. Pemerintah sebaiknya melihat kembali 16 paket kebijakan yang telah dikeluarkan, dan introspeksi kenapa dampak terhadap industri tidak optimal? Kebijakan ekonomi tanpa penilaian hanya melahirkan tumpukan kertas bertuliskan ‘reformasi kebijakan’ tapi bahwasanya tidak mempunyai efek yang diharapkan.

Infrastruktur pun harus mendorong industrialisasi. Yang paling urgen ialah melanjutkan pembangunan infrastruktur industri misalnya pembangunan jalur kereta dari daerah industri ke pelabuhan. Setelah di groundbreaking tahun 2015 hingga dikala ini jalur kereta api ke pelabuhan Tanjung Priok tak ada kabarnya. Padahal ongkos logistik akan terpangkas secara signifikan, dibanding terus memperpanjang jalan tol. Kemudian, percepat pembangunan infrastruktur gas industri sehingga harga gas bagi industri bisa lebih murah sesuai komitmen paket kebijakan.

Belum terlambat untuk berbenah, semua prasyarat untuk menggapai pertumbuhan yang tinggi sudah tersedia tinggal dioptimalkan dalam rangkaian dirijen kebijakan. Momentum pemulihan ekonomi global di tahun 2018 jangan hingga dilewatkan. Kuncinya ialah fokus mensinergikan antara infrastruktur dan industri biar pembangunan infrastruktur jadi katalis pertumbuhan ekonomi bukan malah sebaliknya.

Sumber: Bisnis Indonesia


Share Artikel:

Related Posts :