Terungkap! Inilah Syekh Silau Laut, Ulama Besar Kakek Ust. Abdul Somad
[PORTAL-ISLAM.ID] Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah bijak ini dinilai sempurna menggambarkan eksistensi Ustaz Abdul Somad dalam menghidupkan dakwah di Indonesia.
Pepatah di atas ingin menegaskan bahwa sifat dan sikap orang renta sangat mensugesti abjad sang anak. Publik di Tanah Air mengenal Abdul Somad berkat ceramahnya yang lugas, sederhana namun sarat hikmah.
Banyak warga muslim menaruh perhatian padanya. Bukan cuma muslim Indonesia, Negara tetangga juga banyak mengagumi ulama kelahiran Asahan, Sumatera Utara ini.
Dibalik ketinggian ilmunya itu, ternyata Ustaz Abdul Somad terlahir dari keturunan seorang ulama besar, yaitu Tuan Syekh Silau Laut. Siapa bahwasanya Tuan Syekh Silau Laut?
Tuan Syekh Silau Laut berjulukan lengkap Syekh Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batubara. Berdasarkan catatan riwayat Silau Laut yang dipublish di http://omtato.blogspot.co.id, Syeikh Silau Laut dilahirkan di kawasan Batubara (sekarang Desa Tanjung Mulia Kecamatan Tanjung Tiram Batubara, Sumatera Utara) pada tahun 1858 atau 1275 Hijriyah.
Ayahnya berjulukan Nakhoda Alang bin Nakhoda Ismail, keturunan dari Tuk Angku Mudik Tampang keturunan dari Tuk Angku Batuah yang berasal dari kawasan Rao (perbatasan Mandailing Natal dengan Sumatera Barat). Gelar ‘nakhoda’ di awal nama ayahnya itu profesinya sebagai Nakhoda di sebuah kapal tongkang miliknya sendiri. Kapal itu digunakannya untuk membawa barang-barang dagangan antarpulau bahkan Malaya (Malaysia).
Ibunya berjulukan Naerat berasal dari Kampung Rantau Panjang (Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang, Sumatera Utara). Beliau yaitu anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu: Abas, Siti Jenab, Abdurrahan, Abdurrahim.
Sejak kecilnya, Abdurrahman dikenal mempunyai sifat pemberani, berkemauan keras, pendiam, cerdas dan tekun belajar. Ketika berumur 6 tahun, orang tuanya memasukkan berguru mengaji pada salah seorang guru di Kampung Lalang Batubara.
Saat itu pribadinya mulai nampak sebagai ciri-ciri anak yang saleh. Sebab selain berguru agama dan mengaji, ia sering pula berkhalwat (mengasingkan diri untuk berzikir mengingat Tuhan Tuhan Maha Pencipta). Ia suka berkhalwat semenjak usia 15 tahun.
Setelah menginjak cukup umur sekitar 17 tahun, Abdurrahman ingin memperdalam ilmu Islam. Dengan memohon izin kepada kedua orang tuanya, ia pun pergi merantau ke kawasan asal para pendahulunya di Minangkabau tepatnya di Bukit tinggi.
Di sana, ia berguru kepada seorang ulama yang cukup dikenal ketika itu berjulukan Syekh Jambek. Di samping ia mempelajari ilmu-ilmu syari'at dan ilmu fiqih, Abdurrahman lebih menekuni ilmu hakikat yaitu tauhid dan tasawuf.
Tak hanya ilmu syariat, Tuan Syekh Silau Laut ketika remajanya juga meminati ilmu beladiri (silat). Untuk mempelajari ilmu bela diri ini ia berguru kepada salah spesialis beladiri yang cukup dikenal di tanah Minangkabau berjulukan Tuk Angku Di Lintau.
Dalam usahanya untuk membekali dirinya dengan ilmu bermanfaat, Syekh Silau Laut juga berguru ke Aceh, namun belum diketahui kawasan dan gurunya tempat ia belajar.
Saat usia remaja itu, Syekh Silau Laut merasa masih kurang puas dengan ilmu yang dimilikinya. Tidak usang setelah ia pulang dari Minangkabau dan Aceh, salah seorang Pakciknya bergelar Panglima Putih membawanya merantau ke negeri Fathani (Thailand). Atas restu kedua orang tuanya, ia pun berangkat untuk menambah ilmu Agama Islam.
Di dalam pelayarannya, Abdurrahman muda (Syekh Silau Laut) memperlihatkan kemahirannya dalam ilmu silat kepada para penumpang kapal. Ia tidak mengetahui jikalau di antara mereka ada rombongan Sultan Kedah yang akan pulang ke negerinya.
Di Negeri Fathani, Abdurrahman muda berguru kepada salah seorang ulama yang cukup dikenal. Ula ini berjulukan Syekh Wan Mustafa dan anaknya berjulukan Syekh Daud Fathani.
Selama berada di sana, Abdurrahman lebih banyak berguru ilmu tauhid, ilmu tasawuf dan ilmu hikmah/ketabiban. Di samping belajar, ia ditugaskan gurunya pula untuk mengajar.
Ketika berada di Fathani, ia didatangi utusan dari Kedah dengan maksud mengundangnya tiba ke negeri Kedah. Alasannya, Sultan Kedah ingin melihat kemahirannya dalam ilmu silat di hadapan Hulubalang, prajurit dan rakyat negeri Kedah.
Abdurrahman muda pun memenuhi ajakan itu dengan terlebih dahulu memohon restu dari gurunya. Sesampainya di negeri Kedah, setelah beberapa hari lamanya diadakanlah program perang tanding untuk menentukan kepala hulu balang kesultanan Kedah.
Abdurrahman yang sengaja diundang untuk perang tanding tersebut, berhadapan dengan Panglima Elang Panas yang berasal dari Siam. Dengan kuasa dan izin Allah, Abdurrahman muda menang dalam perang tanding tersebut.
Lalu, Sultan Kedah pun menawarkannya untuk menjadi Kepala Hulubalang Kesultanan Kedah. Abdurrahman mendapatkan ajuan itu, kemudian ia dinobatkan dan menjabat selama 7 tahun berturut-turut.
Menurut riwayat, dia mendapatkan honor 60 Ringgit setiap bulannya. Dalam perantauannya di Fathani dan Kedah, dia sempat pula berguru di Kelantan.
Abdurrahman menyadari bahwa cita-citanya semula yaitu untuk menjadi seorang ulama yang akan mengembangkan agama Islam dan mengabdikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat negrinya.
Maka dari itu, ia meletakkan jabatannya sebagai kepala hulubalang Kesultanan Kedah kemudian ia pulang kembali ke negeri asalnya di Batubara dijemput Abangnya berjulukan Abbas.
Setelah berada kembali di Batubara, ia mulai mengamalkan ilmunya untuk melaksanakan dakwah dengan mengisi pengajian yang ada di Batubara dan di kawasan Serdang (sekarang Deli Serdang). Beliau dikenal masyarakat dengan panggilan Lebai Deraman.
Ketika berdakwah di kawasan Serdang, ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis Serdang berjulukan Maimunah. Sewaktu berada di Serdang dia mengatasnamakan alamatnya melalui kemenakannya mufti Ahmad Serdang. Dan waktu senggangnya diisinya dengan “berkhalwat” di seberang sungai Serdang (sekarang Sungai Ular).
Pada masa Abdurrahman berdakwah dan menghidupkan pengajian di Batubara dan Serdang. Sebagian besar muridnya ketika itu yaitu nelayan. Para muridnya ini melaporkan bahwa mereka sering diganggu oleh bajak maritim yang bermukim di pulau jemur sehinga mereka tidak kondusif mencari nafkah di Selat Melaka.
Mendengar laporan muridnya, Abdurrahman dan seorang kerabatnya berjulukan HM Zein berangkat membasmi para bajak maritim tersebut dari dari Pantai Cermin, Serdang Bedagai.
Tuan Syekh Silau Laut selain berguru kepada Tuan Baqi dari Langkat, Kedah, Kelantan, dan Fathani, Beliau juga menuntut ilmu ke Makkah selama tujuh tahun. Di Makkah berguru kepada Syekh Daud Fathani, seorang ulama Tareqat Syattariah.
Seusai menimba ilmu di Mekkah, Tuan Syekh Silau Laut kembali ke Sumatera dan mengembangkan Tareqat Syattariah di kawasan Silau Laut hingga wafat pada 2 Jumadil Awal 1360 H atau 28 Februari 1941, dalam usia 125 tahun.
Tuan Syekh Silau Laut dimakamkan di Desa Silau Laut. Di erat makamnya terdapat makam sang istri berjulukan Hj Maryam dan dua anaknya yaitu Syekh Muhammad Ali dan Haji Abdul Latief.
Semasa hidupnya dia yaitu tokoh yang tidak hanya dihormati anggota jamaah Syattariah, namun para darah biru Serdang maupun Asahan memberi perlakuan khusus terhadapnya.
Wujud dari perhatian para penguasa Asahan dan Serdang itu antara lain berupa pembuatan jalan menuju Kompleks Tareqat Syattariah pimpinan Syekh Silau Laut. Awalnya yaitu jalan setapak yang dirintis oleh Sultan Asahan yang kemudian diperlebar dan diperkeras atas pemberian Sultan Serdang.
Seorang pengagum Syekh Silau Laut yang berasal dari Kisaran, Sumatera Utara, Ahmad Fauzi, mengaku telah menyempatkan diri berziarah ke makam Syekh Silau Laut.
Dia bercerita bahwa Syekh Silau sangatlah berjasa dalam mmenyebarkan Islam di bumi Asahan maupun di beberapa negara di Asia. Kisah sejarah dan usaha dia dalam berdakwah sangat banyak.
Tak tangguung-tanggung negara tetangga yaitu Thailand, Malaysia, dan negara lainnya hingga tiba berziarah ke makam Syekh Silau Laut. Ini bertanda bahwa Syekh Silau Laut berpindah tempat dalam menebarkan dan mengajarkan Agama Islam.
Ustaz Abdul Somad juga mengapresiasi kisah perjalanan hidup ulama besar Asahan yang juga kakeknya tersebut. Ulama lulusan Mesir dan Maroko ini mengaku terharu ketika membaca riwayat tersebut.
“Saya Abdul Somad bin Hj Rohana binti Siti Aminah binti Syekh Abdurrahman Silau (Syekh Silau Laut). Senang dan terharu membaca riwayat ini” demikian tulisnya menanggapi riwayat hidup kakeknya tersebut.
Sumber: Sindonews