Ungkap Fakta Wacana Denny Siregar Dan Debu Janda, Ex Wartawan Bbc: Dapat Dipahami Jikalau Mereka Degil


[PORTAL-ISLAM.ID]  Sangat sanggup dimengerti kalau Abu Janda dan Denny Siregar harus menjukkan perilaku tegar dalam mendapatkan kenyataan pahit sesudah mereka mempermalukan diri sendiri. Setelah insiden ILC yang berakhir dengan “buka malu sendiri” itu, mereka mencoba melaksanakan sesuatu yang niscaya akan dilakukan oleh orang-orang yang tidak mau mengambil “musibah” sebagai “tazkirah”. Tidak mengenal konsep “teguran” dari Yang Masa Kuasa.

Abu Janda, sebagai contoh, memelintir insiden ILC itu sebagai “keberhasilan” ia memancing para pendukung khilafah (pendukung Ustad Felix) keluar dari sarangnya dan menyerang dia ramai-ramai. Denny S menyalahkan orang lain di program ILC yang dianggapnya tak becus. Sampai-sampai pengasuh ILC, Pak Karni Ilyas, terpaksa mengeluarkan komentar “kalau tak sanggup menari, jangan lantai disalahkan”.

Cara memelintir “kegagalan” menjadi “keberhasilan” atau memelintir “kegagalan” disebabkan oleh “suasana hostile”, mengatakan bahwa Abu Janda dan Denny mempunyai mental baja. Sayangnya, “baja” di sini lebih pas diartikan sebagai “degil”. KBBI menyebut “degil” sebagai perilaku “keras kepala” atau “kepala batu”.

Sejalan dengan definisi Kamus Besar tadi, maka “batu” atau “besi” tidak gampang dipecahkan kecuali dengan watu atau besi juga. Sebab, “kepala yang keras” dan “kepala batu” tentu isinya watu atau besi. Nah, orang awam menyerupai Anda tak mungkin memecahkan watu atau mematahkan besi. Anda harus lebih dulu menjadi “keras kepala” atau “kepala batu”. Artinya, Anda harus mengganti isi kepala Anda dengan watu atau besi untuk memecahkan kepala batu.

Begitulah kira-kira situasinya kalau Anda sedang menghadapi orang-orang degil.

Kalau tak salah, untuk orang dewasa, “degil” ialah salah satu refleksi dari “over-confidence“ alias percaya diri yang berlebihan. Di dunia sosial-politik, kepribadian “over-confidence” seringkali menjadikan kehancuran saat si pemilik sifat ini menjadi penguasa, pemimpin, atau panutan khalayak. Kalau dia seorang politisi yang sedang berkuasa, dia akan bertindak semberono tanpa perduli dengan masukan dari tim penasihatnya. Kalau di dunia sosial, seorang panutan khalayak akan menciptakan khalayaknya “nyasar” melalui khutbah-khutbah yang isinya menyesatkan.

Untuk anak-anak, “degil” bukanlah sifat yang perlu dikhawatirkan meskipun harus diberi perhatian khusus biar tidak terbawa-bawa ke jenjang usia berikutnya. Anak-anak yang degil masih besar kemungkinan untuk diubah.

Khusus untuk masyarakat Indonesia, pemimpin atau panutan yang kelebihan percaya diri sanggup sangat merugikan “nation character building” (pembinaan aksara bangsa). Mengapa? Karena kita terbiasa dengan etika “makan saja” atau “minum saja” tanpa melihat label halal-haram dari kemasan kuliner atau minuman yang disodorkan kepada kita. Tidak semua orang mau menerapkan slogan “teliti dulu sebelum dibeli”.

Abu Janda dan Denny Siregar ialah dua produsen “makanan sosial” yang banyak pelanggannya. Mereka berpotensi untuk menghancurkan konsumen yang membeli produk mereka kalau mereka berpegang teguh pada kedegilan. Atau, sebaliknya berpotensi membangun aksara bangsa kalau mereka membuang sifat degilnya.

Insiden ILC seharusnya sanggup menjadi pelajaran bagi kedua saudara kita itu. Tetapi, sangat sanggup dipahami mengapa insiden itu sebaliknya menjadi pemicu bagi mereka untuk semakin membatu.

Sebab, bagi Abu Janda dan Denny Siregar, insiden ILC itu ialah problem “life and death” (hidup-mati) bagi mereka. Di dingklik panas TVOne itulah bungkus intelektualitas mereka terbuka, kulit kecendekiawanan mereka terkupas.

Sehingga, peribahasa “sepala mandi, biarlah basah” menjadi pilihan yang terelakkan bagi keduanya.

Penulis: Asyari Usman, ex wartawan BBC
Share Artikel: