Catatan Wacana Tubuh Siber Dan Sandi Negara
(by Canny Watae)*
Saya merasa heran bin ajaib. Negara ini membentuk Badan Siber dengan meng-attach kiprah ke-Sandi-an negara di dalamnya (sehingga namanya menjadi Badan Siber dan Sandi Negara, BSSN).
Pembuat kebijakan di negeri ini tampak telah sembrono mencampuradukkan misi Sandi Negara dengan kerja-kerja yang menyangkut "siber". Parahnya, siber mengalami penyempitan makna sebagai hanya seputar "hoax".
Lebih parah lagi, ternyata, demi mewujudkan BSSN, pengambil kebijakan ternyata "mengorbankan" Lembaga Sandi Negara yang telah ada sebelumnya (ada semenjak kala revolusi kemerdekaan negara ini) dengan mengubahnya menjadi BSSN. Jadinya ya di atas itu tadi: kiprah kesandian Negara turun status. Dia bukan lagi elemen tunggal pengaman warta dan komunikasi Negara. Dia kini dicampuraduk dengan urusan "Siber" (yang maknanya pun menyempit itu hehhe).
Sejatinya, Sandi Negara itu tidak ada urusan dengan Siber. Kalau dibebani ngurusin Siber, justru, mirip memberi lubang cacing bagi para "peminat" warta diam-diam Negara Republik Indonesia. Sekecil apa pun lubang yang tersedia, pembobol dari kutub selatan pun sanggup leluasa masuk.
Mari membayangkan bawah umur Pramuka tingkat Penggalang berlatih mengirim pesan rahasia. Mereka mengirim pesan ke kelompok lain yang berada di balik bukit memakai kurir. Sebuah kertas dililit melingkar kecil kecil pada sebatang pensil dari ujung atas hingga ujung bawah. Lalu di atas kertas yang membungkus pensil itu sepenuhnya dituliskan pesan. Pesan ditulis dari atas ke bawah. Lalu kertasnya dilepas dari batang pensil, diluruskan hingga benar-benar lurus. Hasilnya: tampak huruf-huruf tak beraturan yang secara biasa tak sanggup dimaknai sebagai sebuah pesan "rahasia". Bisa jadi, malah, tak terlihat utuh sebagai huruf. Melainkan goresan-goresan acak.
Untuk mencapai tujuan, si kurir tidak mendaki bukit. Ia sudah bersumpah tak akan membocorkan cara membaca pesan kalau kalau ia "tertangkap musuh". Dia menentukan jalan memutar walau jarak tempuhnya menjadi 5 kali lipat. Tujuannya: untuk menghindari cegatan "musuh". Ada 5 anak sungai yang harus ia seberangi. Ada 3 pohon besar yang ia panjat, hanya untuk beristirahat di atas semoga ia kondusif dari terkaman hewan buas.
Sesampai di tujuan, kertas itu dililit kembali ke batang pensil. Sama mirip ketika kertas itu ditulisi. Hasilnya, pesan "rahasia" berhasil dibaca. Pesan telah sampai, tanpa bocor ke pihak lawan.
Cara para Penggalang menulis pesan diam-diam dengan kertas dililit pada batang pensil itu, itulah "penyandian" pesan. Teknik bagaimana kertas itu disamarkan sebagai kertas pembungkus kacang yaitu "gimmick" atau "tipuan" (yang merupakan "ilmu lanjutan" dari penyandian). Medium yang ditempuh kertas pesan itu (lereng bukit, sungai-sungai, pohon) plus kurir yang membawanya yaitu "Siber". Tepatnya: sebagian dari Siber.
Mana kala sebuah pesan dilepas dan mengarungi Siber, maka mulai ketika itu pulalah pengirim pesan memikul resiko bocor atau jatuhnya pesan ke pihak-pihak selain tujuan dari pesan itu. Maka dari itu untuk menekan resiko hingga pada tingkat paling minimum, teknik penyandian menjadi hal yang sangat krusial. Agar, apabila toh pesan diam-diam jatuh ke tangan yang bukan merupakan tujuan pesan, isi dari pesan itu sendiri tak sanggup diketahui. Sebaliknya, apabila pesan yang dikirim lawan berhasil dicegat (intercept), maka pesan itu sedapat mungkin diurai (dibongkar) semoga sanggup dipahami. Di sinilah mengapa institusi Sandi Negara itu mutlak harus berkonsentrasi pada murni persandian. Jangan dibebani bahkan dibentuk lebur tupoksinya dengan urusan Siber yang menyangkut lalu-lintas komunikasi umum (publik).
Kalau ditilik dari "keinginan mulia" melindungi ranah dunia maya Indonesia dari serangan Siber (sampai-sampai BSSN ini butuh pendanaan 2T per tahun), nampak-nampaknya akan jadi materi tertawaan. Mengapa? Lha, di masa situs-situs pemerintah berdomain dot go dot id lebih banyak tampil mirip majalah triwulanan mirip ini apanya yang mau dilindungi? Di mana e-government lebih dipahami sebagai asal pemerintah kota/kab, provinsi, kementerian/lembaga sudah punya website yang menampilkan visi-misi doang, bukannya interaksi aktif dengan para pemangku kepentingan..... apanya yang mau dilindungi? Di mana para pejabat lebih banyak mempunyai akun email yahoo dan gmail ketimbang akun resmi dot go dot id (lebih banyak lagi yang tidak punya akun alasannya yaitu belum tahu memakai email), apanya yang hendak dilindungi?
Kalau dilihat dari maraknya kejahatan siber berupa penipuan yang mengakibatkan kerugian uang pada korban, apa relevannya kehadiran BSSN? Bukannya unit-unit "cyber crime" telah ada pada institusi lain? Mengherankan, bukan?
Kalau dibilang untuk antisipasi serangan Siber dalam makna perang warta yang membahayakan keamanan Negara, lha, ini domain Badan-badan Intelijen yang telah ada dalam struktur Negara kita.
Nah, kalau dilihat dari struktur pelaporannya, di mana kepala BSSN melapor eksklusif kepada Presiden (tidak di bawah Kementerian), ternyata, seabrek perangkat Negara yang telah ada di bawah forum Kepresidenan mulai dari Kementerian, TNI/Polri, Badan Intelijen, Kantor Staff Kepresidenan, Komisi Penyiaran, BUMN Telekomunikasi, dan banyak sekali perangkat lain yang seyogyanya sanggup menyajikan warta menyangkut serangan Siber tidak dianggap sanggup memenuhi kebutuhan Presiden. Atau mungkin, kebutuhan Presiden untuk hal yang satu ini bersifat personal?
Saya masih heran.
__
Sumber: dari fb penulis (6/1/2018)